RS | Part 31

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Bukannya padam, api permusuhan akan akan kian berkobar jika dua belah pihak saling melempar bara panas."

Rintik Sendu
by Idrianiiin

DICAP sebagai duda anak satu sudah biasa bagi Hamzah, tapi dia merasa sangat keberatan kala kata itu disematkan oleh Hamna. Semacam ada bentuk ketidaksukaan, dia merasa ternistakan, padahal dirinya merupakan seorang bujang.

"Deal ya, Na mulai sekarang dan seterusnya jangan panggil saya duda lagi?"

Hamna menggeleng. "Nggak mau janji saya, berabe kalau nggak bisa nepatin."

"Berkilah saja terus!"

"Lagian Aa juga aneh, nggak ingat apa dulu waktu pertama kali kita kenalan? Aa memperkenalkan diri sebagai duda pada saya. Ya jangan salahkan saya kalau hal itu sudah sangat melekat dalam diri Aa."

"Kapan? Perasaan nggak pernah?"

"Tuh, kan mendadak amnesia, perasaan saya nggak punya hutang sama Aa. Nggak usah pura-pura lupa!"

"Saya titip putri saya, ini kartu nama saya. Kalau ada apa-apa kamu bisa langsung hubungi nomor yang tertera di sana?"

"Kenapa harus dititipkan pada saya? Saya sedang bekerja? Saya bukan baby sister apalagi ibunya!"

"Putri saya sudah tidak memiliki ibu."

"Kenapa senyum-senyum? Sudah ingat. Masa mau pikun dini sih!"

"Mulut kamu itu, Na, rasanya pengin saya taliin supaya nggak ngoceh terus."

"Kalau ditaliin pedes dong!"

"Dikira gado-gado kali."

"Yang talinya dua pedes ya, Pak," katanya lalu tertawa puas.

Hamzah geleng-geleng lalu menjitak kening Hamna. "Malah ngelawak ni anak."

"Saya masih kepo," katanya tiba-tiba.

"Kepo apa lagi?"

"Kenapa bisa Aa gagal ke pelaminan sama doi?"

"Masih berlanjut ini?"

Dengan semangat 45 Hamna mengangguk.

"Intinya bukan jodoh saya, sudah itu."

"Ya, kan ada sebab akibat. Nggak mungkin tiba-tiba nggak jodoh, padahal sudah dekat."

"Saya kalah cepat."

Hamna tertawa terpingkal-pingkal. "Ditikung rupanya. Jalur mana, Pak? Sepertiga malam ya!"

Rasa hati ingin sekali dia memasukan Hamna ke dalam karung lalu membuangnya di rawa-rawa.

"Sudah deh, Na, jangan mancing-mancing. Mendadak campur aduk lagi ini perasaan saya."

"Ya itu sih salah sendiri, kenapa harus nyalahin saya!"

"Kamu itu aneh, Na. Dikasih rumah 'bekas' mantan istri diterima dengan senang hati. Bahas mantan sampai ke akar-akarnya, malah ketawa-ketawa sendiri. Saya tahu sih, kita ini nikah mendadak karena keadaan mendesak, tapi kok ya nggak ada cemburu-cemburunya. Saya jadi curiga, kamu itu normal nggak sih?"

Tawa Hamna terhenti seketika, dia langsung menimpuk Hamzah dengan bantal dan cukup brutal. "Ringan banget itu mulut bilang saya nggak normal!"

"Ampun, Na, ampun! Ya wajar dong, saya tanya kayak gitu. Kamu itu nggak ada jaim-jaimnya di depan saya, bar-bar yang ada. Perempuan itu, kan biasanya malu-malu kucing, apalagi depan suami sah. Lha, kamu malah kayak macan betina yang lagi nyari mangsa."

"Nistakan saja saya sampai Bapak puas!"

"Kok jadi marah sih, Na, kan saya cuma nanya."

Hamna mendelik tajam. "Ya Bapak pikir saja sendiri. Siapa yang nggak tersinggung dikatain nggak normal, parahnya sama suami sendiri lagi!"

"Iya, deh, iya, maaf, nggak lagi-lagi. Ini yang pertama dan terakhir."

"Ya sudah deh, sekarang giliran kamu yang cerita."

"Apa yang harus saya ceritakan?"

"Ya apa kek terserah kamu, mau bahas mantan juga nggak papa. Saya akan jadi penyimak yang baik."

Hamna menatap sengit Hamzah. "Saya itu nggak punya mantan."

"Nggak pernah suka sama lawan jenis gitu?"

"Nggak ada waktu buat suka-sukaan. Hidup saya terlalu berharga untuk hal-hal rendah seperti itu."

"Iya pacaran nggak boleh, Na, dilarang agama mending kayak kita langsung nikah."

"Ya nggak gitu juga konsepnya, Pak Duda!"

"Ya terus gimana?"

"Nggak ada terusannya, lha! Bapak banyak nanya banget sih. Keluar sana, siapa tahu ketemu mantan lagi, kan."

"Saya bukan playboy yang punya banyak mantan kali, Na."

"Alah, sok-sokan banget, padahal pemain, kan? Masa iya umur sudah 35 tahun cuma punya mantan dua biji doang. Mustahil!"

"Mantan saya itu cuma satu, ya mantan calon istri yang kabur itu."

Hamna mendelik. "Yang berjasa sampai buat Bapak jadi dosen nggak diakui? Kejam!"

"Dulu saya sama dia itu hts-an, Na, jadi nggak masuk dalam kriteria mantan dong? Kan, nggak ada ikatan juga."

Mata Hamna membulat sempurna. "Gila hts-an berujung asing sampai buat Bapak kalang-kabut dan kabur ke Yogyakarta. Hebat banget itu perempuan, hts-an doang padahal, tapi move on-nya lamaaaa. Ngeri!"

"Sudah ah, Na. Semakin kamu tahu masa lalu saya, kamu bisa semakin mudah menistakan saya."

Hamna menyenggol bahu Hamzah, dia menunjukkan dua jempolnya lalu tersenyum jemawa. "Nge-roasting suami itu bikin bahagia, Pak."

"Dosa kamu, bahagia di atas penderitaan suami sendiri."

"Nggak papa, kan yang menanggung dosa saya sekarang Bapak. Iya, nggak?" Alisnya dinaik-turunkan.

"Ini serius kita mau di hotel doang? Nggak ke mana-mana?" cetus Hamzah mengalihkan pembicaraan.

Hamna menunjuk ke arah jendela. "Di luar hujan, mending rebahan."

"Kalau mau rebahan doang, buat apa jauh-jauh ke Lombok?"

"Sensasinya beda, apalagi biaya ditanggung sepenuhnya sama mertua," jawab Hamna tanpa dosa.

Hamzah geleng-geleng, semakin tidak habis pikir dengan tingkah polah istrinya.

"Video call Haleeza coba, A. Mendadak rindu saya," pintanya.

"Giliran sama Haleeza saja, mulut kamu ringan banget bilang rindu. Apa kalau posisi saya dan Haleeza ditukar kamu akan bisa semudah itu mengatakan rindu?"

"Ya nggaklah, malah saya senang kalau berjauhan sama Bapak. Hidup saya aman, damai, sentosa, dan sejahtera."

Wajah Haleeza seketika tampil di layar. Dengan heboh Hamna mengambil alih gawai suaminya.

"Za apa kabar, Sayang? Baik-baik, kan di sana? Sudah makan belum? Sekolahnya lancar, kan?" cerocos Hamna.

Haleeza mengangguk antusias dan tersenyum lebar. "Za baik, Buna. Papa sama Buna kapan pulang?"

"Jangan pulang sebelum kalian memenuhi syarat dari Mama!" ucap Anggi lalu duduk di sisi Haleeza.

"Papa sama Buna hanya seminggu kok, Za nggak akan lama," tutur Hamzah.

"Za mau oleh-oleh apa?" tanya Hamna.

"Adik bayi ya, Buna," jawabnya polos.

Anggi tak kuasa untuk menahan tawanya. "Cucu Oma memang pintar sekali!"

"Mama jangan kotori otak Haleeza ya," tegur Hamzah tak suka.

"Kok jadi nyalahin Mama sih, Ham? Ya mana Mama tahu."

Hamna meletakkan tangannya hingga melingkari leher Hamzah. "Ibu tenang saja, coming soon. Nggak perlu resah, gelisah, galau, dan merana. Semua aman terkendali di tangan saya."

Bulu kuduk Hamzah meremang seketika, dia langsung menjauhkan tangan Hamna. "Apa-apaan sih, Na!" Lelaki itu bahkan menggeser posisi duduknya, untuk menjauh dari sang istri.

"Bagus! Awas kalau sampai gagal, saya benar-benar akan pecat kamu sebagai menantu."

"Sebelum Ibu pecat, saya akan lebih dulu mengajukan surat resign kalau perlu."

"Assalamualaikum," ucap Hamzah lalu mematikan sambungan video call.

"Gila kamu ya, Na. Nggak boleh kayak gitu, mana dilihat Haleeza lagi!" ujar Hamzah kesal.

"Apaan sih, perasaan saya cuma rangkul Bapak doang. Kenapa? Mendadak panas dingin?" sahut Hamna santai lalu merebahkan tubuhnya.

"Iya tahu, tapi ya nggak seharusnya anak sekecil Haleeza melihat itu. Kamu jangan nodai mata putri saya ya!"

"Yang seharusnya Bapak salahkan itu ya Ibu Anda, kenapa harus mancing-mancing saya. Ya, saya nggak terima, lha, ya sudah sekalian saja saya ladeni!"

"Kamu itu emang nggak pernah mau kalah ya, Na."

"Semua orang juga mau menang, apalagi dalam pertarungan melawan mertua sejenis Ibu Anda!"

Hamzah menjambak rambutnya frustrasi. "Kalau Mama menganggapnya serius gimana? Emang kamu mau kita ditahan di Lombok lebih lama?"

"Selama semua biaya ditanggung Ibu Anda, semua bisa dipertimbangkan."

"Makin kacau kamu, Na!"

BERSAMBUNG

Padalarang, 27 November 2023

Stok sabarnya ditambah lagi ya, Ham. Perempuan sejenis Hamna emang agak langka 😂

Gaskennn guys?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top