RS | Part 30
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Move on adalah seni merawat hati agar senantiasa ikhlas, supaya tetap waras dan hidup dengan bebas."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
HAMZAH membawa nampan berisi makanan yang baru saja diantar oleh pegawai hotel. Mereka memang berencana untuk sarapan di kamar, enggan untuk beranjak dari pembaringan. Rasa lelah masih merongrong tubuh keduanya.
"Ini nggak ditambah obat macam-macam, kan?" tanya Hamna penuh selidik.
"Maksud kamu obat apa sih, Na?" sahut Hamzah heran.
"Ya semacam obat tidur, obat-obat terlarang, dan sejenisnya yang bisa mengancam kemaslahatan hidup saya."
Hamzah menghela napas berat. "Ya kali saya meracuni istri saya sendiri."
"Bukan meracuni, tapi menjebak saya untuk merealisasikan kepentingan Bapak."
Tanpa ampun Hamzah menonyor kening Hamna. "Kamu itu emang korban sinteron, Na. Makanya upgrade tontonan, jangan drama mulu yang dijadikan sebagai bahan hiburan."
"Ya siapa yang tahu coba? Bisa saja, kan Bapak merencanakan hal buruk pada saya, dan sekongkol dengan Ibu Anda. Apalagi kita lagi di hotel, mana nggak ada orang yang saya kenal lagi."
Hamzah geleng-geleng kepala. "Ya sudah jangan makan saja sekalian. Capek saya dicurigai terus!"
Hamna nyengir, lalu memasukan nasi beserta lauknya.
"Gimana? Apa ada efek samping?"
Hamna mengangguk cepat. "Ada, Pak, makin lapar saya."
"Itu sih emang dasar kamunya yang doyan makan!"
"Jangan ngegas mulu dong, Pak. Perasaan semenjak ketemu mantan jadi makin sensitif deh," keluhnya.
"Nggak ada sangkut-pautnya juga!"
"Tahu nggak sih, Pak yang lebih peka dan menyadari perubahan dalam diri kita itu bukan diri sendiri, melainkan orang-orang yang ada di sekitar kita. Contohnya saya, sekarang Bapak makin sensitif dan suka ngomel-ngomel."
"Kamu juga harus tahu, Na kalau pergaulan itu mempengaruhi. Nah, saya banyak bergaul sama kamu, jadi ketularan!"
Detik itu juga Hamna mencubit pinggang Hamzah dengan sangat kuat. "Enak saja tuh mulut suka sembarangan!"
"Pegang-pegang saya denda Rp. 100.000,00 ya, Na."
"Kayak Bapak nggak pernah pegang-pegang saya saja!" ucap Hamna pongah.
Hamzah berdecih. "Babak belur saya setiap kali habis pegang kamu. Pasti selalu ada bagian tubuh saya yang memar dan benjol."
Tanpa dosa Hamna malah tertawa puas. "Itu namanya risiko. Makanya nggak usah modus-modus sama saya!"
"Ya sudah sekarang kita mau ke mana?" tanya Hamzah setelah mereka selesai sarapan.
Hamna bersidekap dada. "Nggak mau ke mana-mana."
"Kita di Lombok satu minggu lho, Na, masa iya nggak ke mana-mana?"
"Mendadak nggak mood saya, kebayang muka Ibu Anda terus. Apalagi kalau ingat voice note yang Ibu Anda kirimkan. Mendidih darah saya!"
"Lebih nggak aman lagi kalau kita cuma diam di hotel," ujar Hamzah berniat untuk mengerjai istrinya.
Hamna langsung menunjukkan bogeman tepat di depan wajah Hamzah. "Mau saya tonjok sebelah mana, hah?"
Hamzah malah tertawa meremehkan. "Nggak takut saya, Na. Dari segi tenaga juga kamu pasti kalah jauh."
"Ngeremehin banget kemampuan saya. Gini-gini jago silat saya, apalagi kalau cuma basmi duda sejenis Bapak. Perkara gampang itu!"
"Bisa nggak sih, jangan sebut saya duda. Jujur saya keberatan, pake banget malah."
"Lha kenapa? Itu fakta."
Hamzah merogoh gawainya, dia menunjukkan foto pernikahan sang adik. "Ini Hanindita Wiratama, adik saya dan yang di sampingnya Haikal, suaminya."
"Kalau itu sih saya tahu, sudah sering lihat fotonya di rumah Aa."
"Nah itu kamu tahu, mereka itu orang tua kandung Haleeza, Na."
"Ah masa? Orang Haleeza itu mirip banget sama Bapak. Kalau mau ngibulin saya yang masuk logika dong, Pak."
"Sekarang masih nggak percaya juga? Tuh lihat, bayi merah yang ada di gendongan Hanin. Itu Haleeza pas masih bayi. Nggak lihat apa, itu Hanin lagi pake baju rumah sakit. Itu foto diambil pada saat dia baru selesai melahirkan dan dipindahkan ke ruang perawatan," terangnya.
"Kalau emang keponakan kenapa manggilnya 'papa' lumrahnya 'om' atau 'amang' gitu. Jangan ngadi-ngadi, Bapak."
"Pada saat Haleeza enam bulan, Hanin dan Haikal mengalami kecelakaan dan mereka meninggal di tempat," katanya sejenak menjeda.
Bayangan Hanin seketika menghampiri, rasa sakitnya masih sangat nyata, padahal itu kejadian sudah sangat lama.
"Kok bisa Haleeza selamat?"
"Haleeza nggak ikut, Na, kebetulan dititipkan sama Mama."
"Terus?"
"Setelah proses pemakaman selesai, keluarga saya dan keluarga Haikal berkonflik karena memperebutkan hak asuh Haleeza. Hampir setahun kita berjuang di pengadilan, sampai akhirnya hak asuh dan perwalian ada di tangan kita."
"Haleeza tumbuh tanpa figur orang tua, saya yang merawatnya. 'Papa' adalah kata pertama yang dia ucapkan saat bisa bicara. Sejak saat itu saya merasa senang dan nyaman dengan panggilan tersebut, sampai akhirnya keterusan sampai sekarang."
"Bukannya Bapak S3 di Yogyakarta, ya? Kok bisa merawat Haleeza."
"Kuliah S3 itu sebenarnya hanya pelarian agar saya bisa move on dari seseorang. Makanya saya sempat menetap di Yogyakarta bersama Mama dan Haleeza, yang mengurus ihwal hak asuh Ayah dan pengacara. Setelah lulus baru kami balik lagi ke Bandung."
"Ibu Anda sampai ngintilin ke Yogyakarta?"
"Iya, karena waktu itu juga lagi hectic soal perebutan hak asuh, kan. Untuk mengamankan Haleeza ya sudah sekalian Mama ikut saya."
"Berhasil move on-nya? Jauh-jauh ke Yogyakarta mana dapat gelar doktor. Nggak lucu dong kalau pulang-pulang masih ingat mantan?"
"Bukan itu point yang ingin saya ceritakan, kenapa kamu suka sekali kalau saya bahas soal mantan!"
"Bukannya suka, tapi ya kepo saja sama mantan yang sudah sangat berjasa hingga membuat Bapak menjadi dosen seperti sekarang."
"Sudah, Na, jangan dibahas lagi. Inti dari cerita saya itu, hanya ingin meluruskan kalau saya belum pernah menikah dan Haleeza merupakan keponakan saya. Tapi, saya minta sama kamu, jangan sampai kasih tahu Haleeza dulu, dia masih kecil untuk tahu kenyataan ini. Kamu bisa jaga rahasia, kan?"
"Iya, tapi nggak gratis. Mulut saya butuh lem supaya nggak ember."
"Perhitungan banget, Na kamu jadi manusia!"
"Bukan perhitungan, tapi ya di dunia ini nggak ada yang gratis bukan?"
"Perlu berapa? Saya transfer sekarang."
"Bukan uang ih."
"Ya terus apa?"
"Terusin cerita yang tadi, soal mantan. Janji saya akan tutup mulut."
"Apalagi yang mau kamu tahu?"
"Semuanya, lha."
"Bingung saya harus mulai cerita dari mana."
"Bilang saja masih belum bisa move on, mendadak terbayang-bayang, kan. Basi banget!"
"Memangnya menurut kamu move on itu apa?"
"Melupakan, lha."
"Bukan, tapi mengikhlaskan."
"Kok gitu?"
"Ya kalau perkara melupakan itu adalah hal yang mustahil. Karena memori kita pasti akan otomatis mengingat setiap momen yang sudah terjadi. Hal wajar kalau masih mengingatnya. Maka dari itu definisi move on versi saya ya mengikhlaskan."
"Jadi sudah benar-benar ikhlas?"
"Sudah."
"Tapi masih susah lupa?"
"Mungkin."
"Bukan mungkin lagi, tapi iya. Soalnya Aa bilang melupakan adalah hal yang mustahil. Siapa sih mantan yang Aa maksud? Kayaknya si mantan calon istri yang kabur nggak sebanding dengan mantan yang ini?"
"Kenapa kamu jadi ngorek-ngorek masa lalu saya?"
"Ya, kan sebagai bentuk tutup mulut. Katanya nggak mau Haleeza tahu soal status kalian yang hanya sebatas om dan keponakan."
"Kamu nggak usah tahu, karena itu masa lalu. Orangnya juga sudah hidup bahagia sama pilihannya, nggak usah dibahas lagi."
"Apa gara-gara doi Aa jadi betah membujang? Sampai jadi jomblo karatan?"
"Mulut kamu nggak ada filternya banget, Na. Kenapa harus 'karatan' sih kata yang dipake!"
"Susah ni, saingan saya masa lalunya," gumam Hamna.
"Ngomong apa kamu, Na?"
"Nggak. Emangnya saya ngomong apa?"
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 26 November 2023
Pembahasan yang paling Hamna senangi ialah saat Hamzah bahas soal 'mantan' 🤣🤣🤝
Gaskennn guys?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top