RS | Part 3
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tidak semua pria tergiur dengan aurat wanita yang dipamerkan secara cuma-cuma."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
BIASANYA pihak perempuan lebih sibuk dalam mempersiapkan pernikahan. Tapi, kali ini cukup lain. Justru pihak mempelai laki-lakilah yang terlihat sangat antusias. Dari mulai pemilihan gedung untuk acara, wedding organizer, catering, sampai perintilan lainnya benar-benar disiapkan dengan begitu matang.
Hamzah memijat pelipisnya saat Anggi menunjukkan nota pembayaran yang harus dia bayar. Nominalnya sangatlah besar, hampir menyentuh angka seratus juta. Bisa dibuat gila dia, kalau mengikuti semua permintaan ibunya.
"Sebetulnya yang ingin menikah itu Mama atau Hamzah?" Pertanyaan itu dia layangkan dengan penuh penekanan.
"Kamu lha, Ham."
Hamzah menghela napas berat. "Kalau begitu Mama harus mengikuti apa yang Hamzah inginkan."
"Menggelar pernikahan sederhana maksud kamu? Mau ditaruh di mana muka Mama?!"
"Hakikat dari pernikahan itu untuk beribadah. Jangan buat Hamzah pusing bisa, kan, Ma?"
"Mama rasa kamu punya uang untuk membayar ini semua. Jangan terlalu perhitungan, toh juga untuk acara kamu sendiri. Pernikahan itu sekali seumur hidup, wajar dong kalau sedikit menguras kantong?"
"Sedikit Mama bilang? Uang sebanyak itu akan jauh lebih bermanfaat kalau Hamzah pakai untuk membeli tanah dan rumah."
"Setelah menikah kamu bisa tinggal di sini, jangan pernah berpikir untuk meninggalkan Mama dan Ayah," putus Anggi tak menerima bantahan.
Hamzah mengelus dada sabar. "Tidak diperkenankan dua ratu menempati satu kerajaan. Hamzah rasa Mama paham akan hal itu."
Anggi menggeleng tegas. "Hanum nggak keberatan untuk tinggal bersama Mama, itu sudah menjadi kesepakatan kami."
"Mungkin sekarang Hanum tidak keberatan, tapi bagaimana dengan nanti? Kehidupan setelah menikah belum dia rasakan. Maka dari itu dia begitu mudah mengiyakan permintaan Mama," sahut Hamzah tak mau kalah.
"Sudah, lha, Ham, jangan terus menerus mendebat Mama. Lebih baik sekarang kamu fitting baju pengantin bersama Hanum. Mama nggak enak sama pihak butik kalau sampai kalian terlambat," titah Anggi.
"Terserah Mama, Hamzah pusing!"
Belum apa-apa dia sudah dibuat migrain. Padahal, pernikahan masih satu bulan lagi, tapi sang ibu sudah berhasil membuat tekanan darahnya ikut meningkat pesat.
"Jangan lupa bayar DP-nya ke vendor, Ham. Mama nggak mau kamu pura-pura lupa ya."
Hamzah berjalan lesu meninggalkan sang mama yang terus mengoceh ini dan itu.
Entah harus sampai kapan dia hidup dibayang-bayangi titah sang mama?
Otaknya seolah menginstruksi untuk pergi dan mengingkari segala hal pinta sang ibu. Tapi hatinya tidak setega itu.
Berdebat dan beradu mulut memang sudah jadi makanan sehari-hari, tapi untuk lebih dari itu dia tak memiliki cukup nyali.
Dia tak mungkin melukai ibunya sendiri, terlebih surga berada di bawah telapak kaki beliau.
"Papa mau ke mana? Za ikut."
Penuturan Haleeza yang tengah bermain bersama Lingga di teras rumah menghentikan langkah Hamzah.
Dia berjongkok untuk menyamakan tingginya. "Za tunggu sebentar di sini, Papa ada urusan sebentar. Pulangnya nanti Papa bawakan ice cream seperti biasa."
"Mau ke mana, Ham? Ini weekend lho," tutur Lingga merasa sedikit heran.
"Fitting baju pengantin, Yah," jawab Hamzah lesu.
Lingga menepuk bahu putranya. "Perasaan yang mau menikah kamu, tapi yang antusias malah Mama. Kamunya justru lesu tak bertenaga."
"Hamzah nggak sejalan sama Mama yang ingin menggelar pesta pernikahan. Ini bukan hanya perkara uang, tapi memang Hamzah nggak menginginkan acara se wah itu."
"Lalu bagaimana dengan keluarga Hanum?"
"Keluarga Hanum nggak komplain apa-apa, mereka justru menerima dengan lapang dada. Semuanya diserahkan sama Mama," keluh Hamzah.
"Ya pastilah, orang semua biaya kamu yang tanggung. Nggak ada orang tua yang bakal nolak, apalagi di zaman sekarang yang apa-apa serba mahal," sahut Lingga.
Hamzah mengangguk setuju. Apa yang dituturkan sang ayah memang benar.
"Hari ini hanya fitting baju, kan? Kalau iya lebih baik bawa Haleeza, supaya mereka bisa dekat dan akrab. Mau bagaimanapun nanti Hanum akan menjadi ibu sambung Haleeza," saran sang ayah.
"Bukan hanya fitting, tapi juga sekalian belanja untuk mahar dan hantaran. Hamzah khawatir Haleeza akan merengek minta pulang, apalagi Ayah tahu sendiri kalau perempuan sudah diajak belanja, pasti suka kalap dan lupa waktu."
Lingga terkekeh kecil. "Uang tabungan masih aman, kan, Ham? Perlu suntikan dana?"
"Sekarang aman, nggak tahu nanti. Kalau Hamzah jadikan KTP Ayah sebagai jaminan nggak papa, kan?" guraunya berusaha untuk tidak membuat sang ayah kepikiran.
Lingga tertawa puas. "Nabungnya tahunan, ngabisinnya sebentar. Itu risiko yang harus ditanggung laki-laki kalau memang mau menikahi seorang gadis."
Hamzah hanya mengangguk singkat.
"Za, Papa pergi dulu ya. Ice cream cokelat seperti biasa, kan?" tanya Hamzah kini beralih pada Haleeza.
Haleeza mengangguk semangat lalu mencium kedua pipi Hamzah secara bergantian. "Makasih, Papa."
Hamzah mengacak gemas puncak kepala Haleeza. "Sama-sama, Sayang."
Setelahnya dia berpamitan pada sang ayah, dan melajukan motor tua antiknya membelah jalanan.
Hamzah sudah berjanjian untuk bertemu di butik dengan Hanum, hal itu dia lakukan supaya dirinya lebih bisa menjaga agar tidak terjadi khalwat serta ikhtilat.
"Maaf menunggu lama," ungkap Hamzah setelah tiba dan mendapati Hanum tengah berdiri di depan pintu masuk butik.
"Enggak kok, aku juga baru sampai."
Hamzah hanya mengangguk, lantas keduanya memasuki butik kenamaan tersebut.
"A Hamzah lebih suka yang mana?" tanya Hanum seraya menunjukkan dua buah gaun yang telah dia pilih.
"Apa tidak ada yang lain?"
Sungguh demi apa pun dia sangat tidak suka dengan dua gaun yang dipamerkan Hanum. Yang satu memiliki belahan dada rendah, sedangkan yang satunya mengekspos bagian punggung.
Bagaimana mungkin dia ingin membangun sebuah surga, jika diawali dengan hal-hal yang tidak Allah ridai. Baru beberapa detik menjadi suami, dia harus menanggung dosa akibat istrinya yang gemar memamerkan aurat.
Nauduzbilahimindzalik.
"Kenapa?"
Hamzah semakin tak habis pikir saat satu kata itu terlontar dari bibir tipis Hanum.
Masih bertanya kenapa?
"Mbak tolong bawa gaun-gaun ini dulu, saya perlu bicara dengan calon istri saya," pinta Hamzah.
Dua pekerja butik itu menurut tanpa kata.
"Ada apa?" seloroh Hanum lalu mendaratkan tubuhnya tepat di sisi Hamzah.
Lelaki itu beristighfar dalam hati, bahkan dia berusaha untuk menjauh agar posisi duduk mereka tidak begitu berhimpitan.
"Kenapa kamu mengindari aku? Aku bau ya?"
Hamzah menggeleng pelan. "Jangan terlalu dekat, kita belum menjadi mahram. Tolong pahami batasan yang saya beri."
"Oh, ok," sahutnya cukup tercengang.
Dia lupa, kalau calon suaminya bukanlah tipikal lelaki yang mudah berdekatan dengan lawan jenis.
"Bisa tolong pilih gaun yang lebih tertutup?" tanya Hamzah langsung pada intinya.
Kening Hanum mengernyit. "Memangnya dua gaun tadi tidak cukup tertutup, bahkan saking panjangnya sampai menyapu lantai?"
Hamzah sedikit memijat pelipisnya. "Gaun itu memang panjang, tapi tidak memiliki lengan, dengan belahan dada rendah, serta bagian belakang yang dibiarkan terekspos. Apa kamu tidak menyayangi tubuh kamu sendiri?"
"Kamu aneh, hampir semua laki-laki menyukai kalau pasangannya berpakaian seperti itu," sangkalnya tak terima.
Dia sedikit sanksi, apakah Hamzah termasuk pria yang normal?
Hamzah menggeleng singkat. "Saya tidak ingin aurat kamu yang notabennya akan menjadi istri saya dinikmati banyak pasang mata. Keindahan itu harus dijaga, jangan diumbar. Kamu paham, kan maksud saya?"
"Dimohon kerjasamanya. Kalau saya menjaga pandangan, kamu pun harus bisa menutup aurat dengan pakaian yang layak."
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 05 November 2023
Ujian menjelang pernikahan Hamzah gini amat ya 😂 ... Udah mah ketemu jodohnya lama, masih diuji juga. 🤣
Lanjut nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top