RS | Part 26
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Pada saat melajang mintanya pasangan, setelah itu berlanjut minta diberi keturunan. Ibarat kata, dikasih hati malah tak tahu diri."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
LAPTOP dan buku berserakan di atas pembaringan, Hamzah tak ingin ambil pusing akan hal tersebut, karena dia tahu Hamna jauh lebih pusing karena mengerjakan tugas kuliahnya.
"Ayolah, A bantuin saya," rajuknya berusaha terus membujuk.
"Kerjakan sendiri, lha, Na."
"Jangan pelit-pelit, ilmu itu harus dibagi supaya bermanfaat," katanya masih terus berusaha.
"Saya mana ngerti sama tugas kuliah kamu, beda jurusan kita."
"Ya sudah bantu ketikin saja kalau gitu, masa ngetik doang harus punya jurusan yang sama."
"Saya lagi mengecek tugas mahasiswa saya, Na," kilahnya.
Hamna memberengut kesal. "Ternyata punya suami dosen nggak ada manfaatnya. Kalau tahu Bapak pelit, nggak bakal mau saya dinikahin secara paksa sama Anda."
"Lha kok jadi bahas yang sudah-sudah sih."
"Ya, makanya bantuin saya. Apa susahnya sih tinggal ngetik doang!"
"Kalau nggak susah berarti kamu bisa mengerjakannya sendiri, Na."
"Jari saya keriting ini ngetik dari tadi."
"Nggak papa, mie juga keriting enak kok, Na."
Saat itu juga sebuah buku melayang dan mendarat tepat di kepala Hamzah. "Rasain tuh!"
"Sakit, Na. Ya Allah, sadis banget sih sama suami sendiri," katanya seraya mengelus bagian kepala yang berdenyut ngilu.
"Za kenapa? Kok bangun lagi, Sayang?" tanya Hamna saat melihat putri sambungnya berada di ambang pintu kamar.
Haleeza berjalan cepat dan duduk di atas pangkuan Hamna. "Za mimpi buruk, Buna."
"Oh, ya? Kok bisa?"
Hanya gelengan lemah yang bocah kecil itu berikan.
Hamzah melirik arloji yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Za tidur lagi ya, ini sudah malam, besok, kan harus sekolah."
"Za takut tidur sendirian di kamar, Papa."
"Ya sudah tidur di sini sama Buna ya," ujar Hamna yang langsung dibalas anggukan.
Tanpa diminta Hamzah merapikan laptop, buku, dan alat tulis lainnya di atas nakas. Dia ikut merebahkan tubuh di samping Haleeza yang tengah berada nyaman dalam dekapan Hamna.
"Jauh-jauh sana, jaga jarak aman!" desis Hamna.
"Ini saya sudah mentok di pinggir, masih kamu minta jauh-jauh juga. Saya harus tidur di bawah gitu?"
"Iya itu lebih bagus!"
Hamna menepuk-nepuk lembut bokong Haleeza, berharap bocah kecil itu akan segera terlelap. Namun, kedua mata bulat Haleeza malah menatap Hamna dengan tatapan yang tak terbaca.
"Za kenapa lihatin Buna terus?" tanyanya.
Haleeza mengecup pipi Hamna singkat lalu berucap, "Kapan, Za punya adik bayi? Kata Oma, Za akan punya adik bayi di perut Buna." Tangan mungilnya meraba perut rata Hamna.
"Oma hanya bercanda, Za, jangan dianggap serius ya."
"Oma bohongin, Za gitu?"
Hamzah ikut angkat suara, "Oma nggak bohongin, Za, Buna bilang mungkin Oma hanya bercanda."
"Nah iya betul apa kata Papa."
Haleeza mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, dia menatap Hamzah dan Hamna secara bergantian. "Terus kapan Za punya adik bayinya?"
"Nanti."
"Nantinya kapan, Buna?"
"Ya kapan-kapan."
"Kenapa gitu?"
"Ya nggak kenapa-napa."
Hamzah berusaha untuk menahan tawa, dia tahu Hamna sudah kehabisan kosakata karena Haleeza yang terus melontarkan banyak pertanyaan. Tapi, dia sama sekali tak ada keinginan untuk membantu Hamna.
"Za mau adik bayi cewek ya, Buna," katanya me-request.
"Ya mana bisa nego kayak gitu, kan yang kasih Allah. Sedikasihnya Allah saja, mau cowok atau cewek, kan sama saja, Za."
"Beda, Buna, kalau cewek, kan bisa temenin Za main boneka dan masak-masakan. Tapi, kalau cowok pasti maunya main bola terus, sama kayak Papa."
"Ya masa anak cowok main boneka, menyalahi kodrat itu namanya, Za," sahut Hamzah enteng.
"Makanya kasih Za adik bayi cewek," ngototnya.
"Kenapa Za pengin adik bayi?" tanya Hamna penasaran.
"Supaya kalau main ada yang nemenin, Za, Buna."
"Kan bisa main sama Buna dan juga Papa. Sama saja, kan?"
Haleeza menggeleng. "Beda, maunya main sama adik bayi."
Hamna memijat pelipisnya. "Kayaknya Ibu Anda sudah terlalu banyak mendoktrin Haleeza. Bapak harus tanggung jawab!"
"Kenapa jadi saya yang tanggung jawab?"
"Iyalah, kan yang buat ulah Ibu Anda, jadi sebagai putra mahkota Aa harus bertanggung jawab."
"Tanggung jawab gimana ni maksudnya?"
Hamna memberi pelototan sadis. "Cuci bersih otak Haleeza yang sudah terkontaminasi, Bapak jangan mikir ke mana-mana!"
"Sebetulnya nggak ada yang salah dari permintaan Haleeza. Malah itu sangat wajar," jawab Hamzah enteng.
"Wajar? Wajib dihajar maksud, Bapak! Mau yang sebelah mana? Tendangan saya masih sangat kuat untuk melenyapkan Bapak!"
Hamzah melipat kedua tangannya lalu dia jadikan sebagai bantal, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar. "Memangnya mau sampai kapan pernikahan kita berjalan seperti ini? Apa kamu tidak ingin menjalani kehidupan normal sebagaimana pasangan pada umumnya? Menikah lalu punya momongan."
"Saya sudah punya Haleeza, itu sudah lebih dari cukup," katanya seraya memeluk Haleeza yang entah sejak kapan sudah terlelap.
"Memangnya kamu tidak ingin memiliki anak yang lahir dari rahim kamu sendiri?"
"Bapak jangan macam-macam ya. Saya baru kuliah, saya nggak mau ambil cuti dengan alasan hamil dan melahirkan. Bapak jangan merusak planning yang sudah saya tata dengan baik!"
"Memangnya salah kalau kuliah dalam keadaan hamil? Banyak kok mahasiswa saya yang bisa melewati fase itu."
"Itu mahasiswa, Bapak, bukan saya. Tolong jangan disamakan!"
Hamzah hanya mengangguk, lalu beralih pada Haleeza, bermaksud untuk memindahkan putrinya ke kamar. Tapi, ditentang keras oleh Hamna.
"Biarkan Haleeza tidur di sini!"
"Sempit, Na kalau tidur bertiga."
"Ya sudah kalau gitu Bapak yang tidur di kamar Haleeza."
"Kenapa jadi saya?"
"Ya suka-suka saya. Kenapa jadi Bapak yang protes!"
Hamzah menghela napas singkat. "Saya nggak akan berbuat lebih sama kamu. Nggak usah sewaspada itu, lagi pula saya sudah membiasakan Haleeza untuk tidur secara terpisah dari usianya tiga tahun. Kamu jangan rusak pola asuh saya."
Setelah mengatakan itu Hamzah langsung menggendong Haleeza.
"Alah, bilang saja modus, jangan bawa-bawa soal parenting deh!"
"Awas kamu, Na. Ngatain saya modus terus!" ancamnya.
Hamna langsung menyembunyikan seluruh tubuhnya di bawah selimut dan beringsut panik.
Hamzah kembali memasuki kamar, dan tanpa rasa bersalah dia langsung merebahkan tubuh di sisi Hamna. Perempuan itu menggulung tubuhnya dengan selimut, berusaha mati-matian untuk mengamankan diri, agar Hamzah tak berbuat lebih padanya.
Sedangkan Hamzah hanya geleng-geleng melihat kelakuan istrinya yang semakin hari, semakin out of the box. Dengan usil dia mematikan lampu kamar, hal itu jelas langsung disambut teriakan membahana Hamna.
"Nyalain lampunya!" pekik Hamna masih bertahan di balik lindungan selimut tebal.
"Mati lampu ini, Na," sahut Hamzah.
"Bohong. Bapak pasti bohongin saya!"
"Makanya buka itu selimut, lihat sekeliling, lampu tetangga juga pada mati semua."
Secara perlahan Hamna menurunkan selimutnya. "Itu ada cahaya terang, kalau mati lampu total, pasti gelap semuanya, lha."
"Itu dari bulan, Na, masa kamu nggak tahu sih. Makanya coba sekali-kali tidur dalam kondisi gelap," kilahnya.
Hamna menggigit pundak Hamzah kencang. "Bapak bohongin saya! Itu lihat dari celah pintu terang juga. Ruang tengah lampunya nyala, Pak Duda!"
Hamzah meringis lalu meraba saklar lampu yang berada tak jauh darinya. Seketika itu juga ruangan menjadi terang benderang. Dia melihat bekas kesadisan Hamna yang meninggalkan rasa perih sekaligus ngilu.
"Kamu kayaknya titisan vampir deh, Na, sakit banget ini."
"Bodo amat! Bapak yang duluan cari masalah sama saya!"
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 25 November 2023
Agak susah emang kalau buat scene Hamna nurut manut sama Hamzah. Kayak bukan Hamna banget gitu yang bisa luluh tunduk patuh. 😂🤣✌️
Gaskennn terus nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top