RS | Part 25
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tidak ada perubahan yang instan, semua butuh proses dan bertahap secara perlahan-lahan."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
RUMAH sudah seperti kapal pecah, mainan Haleeza yang berserakan di mana-mana. Pakaian yang baru saja diangkat tercecer di sofa, bahkan cucian piring pun menumpuk di wastafel.
Wajah lelah sangat terlihat jelas, tapi Hamzah berusaha untuk tidak meluapkan rasa kesalnya pada Hamna ataupun Haleeza yang kini tengah asik bermain. Sekarang, dia sudah benar-benar legal menyandang status sebagai duda dari dua anak gadis.
"Na kalau pakaian yang sudah kering itu dilipat terus masukan ke lemari, atau kalau perlu setrika dulu supaya rapi. Bukan malah kamu biarkan berserakan di sofa, kusut nanti," tegur Hamzah lembut.
"Iya rencananya juga mau saya lipat, A, tapi Haleeza merengek minta ditemani main. Ya, jadi saya prioritaskan putri Anda dulu, supaya nggak tantrum," terangnya.
"Kenapa cucian piring bisa sebanyak itu, Na? Perasaan kita makan di luar, kamu nggak masak juga, kan. Itu bekas apa coba?"
"Itu bekas saya eksperimen, A, coba-coba masak lihat tutorial YouTube. Cobain deh, makanannya ada di meja," ungkap Hamna diakhiri cengiran.
"Kamu nggak tambahin racun di makanannya, kan?"
"Saya pakein sianida, Pak!" kesalnya.
Hamzah hanya geleng-geleng mendengar jawaban Hamna.
"Za main sama Papa dulu ya, Buna mau beres-beres."
"Iya," sahutnya. Bocah kecil itu tengah asik mewarnai kartun kesukaannya.
"Kalau cuci piring itu yang bersih, ini masih licin, busanya juga masih ada," tutur Hamzah yang entah sejak kapan berdiri tak jauh memantau kegiatan Hamna.
"Sejak kapan Aa ada di sini? Saya, kan suruh Aa untuk temani Haleeza main, kenapa malah ngerecokin saya?"
Hamzah mendekat, dia mengambil alih piring yang tengah Hamna bilas. "Nah harus sampai kayak gini, baru kamu simpan di rak."
"Ya sudah Bapak saja yang kerjain kalau gitu."
"Lha, kok jadi saya sih, Na?"
"Kan Aa jauh lebih handal, beda sama saya yang cuma pemula."
"Bilang saja kamu malas, Na!"
"Nah itu Aa tahu, pintar."
"Ya sudah kamu setrika baju sana, siapkan kemeja saya buat besok supaya nggak hectic kayak tadi pagi," titahnya.
"Yakin ni nyuruh saya? Nggak takut bolong lagi kemejanya?"
"Ini kamu lagi menolak titah saya secara halus atau gimana, hm?"
"Bisa jadi begitu."
Suara ketukan pintu dengan dibarengi salam menghentikan perbincangan keduanya. Mereka saling berpandangan.
"Itu suara Mama, Na!"
Wajah Hamna pucat seketika. "Sidak dadakan ini ceritanya, mana rumah kayak kapal pecah lagi. Habis saya sama Ibu Anda!"
Hamna merebut paksa piring dan spons yang tengah Hamzah pegang, tapi karena tangannya licin membuat piring itu meluncur bebas ke lantai hingga pecah berserakan.
"Kena kaki kamu nggak, Na?" tanya Hamzah seraya menunduk, khawatir pecahan belingnya melukai Hamna.
"Urusan kaki gampang yang penting sekarang Aa amankan Ibu Anda dulu. Buruan bukain pintu, makin ngamuk nanti kalau kelamaan nunggu."
"Tapi kaki kamu berdarah itu," tolak Hamzah enggan menuruti pinta Hamna.
"Sudah sana ah, bisa panjang urusannya kalau berhubungan sama Ibu Anda."
"Allahuakbar, Hamzah! Ini rumah atau tempat sampah, hah?!"
Hamna dan Hamzah saling berpandangan, lalu meneguk ludah susah payah. Wajah keduanya pucat pasi seketika.
Anggi menggendong Haleeza. "Za ini kenapa tangan sama kaki kamu spidol semua, Sayang? Hamzah! Hamna!"
"Tuh, kan Bapak sih lelet, kena amuk, kan kita," bisik Hamna pasrah.
"Sudah kamu duduk dulu, saya obati lukanya," pinta Hamzah seraya menuntun Hamna untuk duduk di kursi.
Dengan sigap dia mengambil P3K, lalu berjongkok di dekat kaki Hamna. "Lumayan besar ini, Na lukanya."
"Perih, pelan-pelan, jangan terlalu ditekan," omel Hamna.
Hamzah mendongak. "Ini juga pelan-pelan, Na. Kamu jangan banyak protes bisa nggak sih?"
"Hamna! Hamna! Kamu itu memang tidak bisa apa-apa. Bukannya Hamzah yang kamu urus, ini malah kamu yang diurus Hamzah. Perkara cuci piring saja sampai berdarah-darah. Heran saya!" omel Anggi setelah mengamankan Haleeza di kamar, dan mencuci kaki serta tangan cucunya untuk menghilangkan bekas spidol.
"Sudah ya, Ma, jangan ngomelin Hamna terus," pinta Hamzah setelah selesai membungkus lukanya dengan perban dan plester.
"Salah emang keputusan Mama izinin kalian pindah rumah. Bukannya bener malah makin kacau! Ini apaan lagi, masak ikan sampai gosong begitu. Nggak bisa dimakan itu!"
"Urus istri kamu sana, biar Mama yang bereskan kekacauan ini," tukas Anggi tak terbantahkan.
Hamzah menurut lalu memapah Hamna menuju kamar. "Tumben kamu nggak ngelawan Mama, Na? Habis tenaga?"
"Dosa kalau ngelawan terus orang tua."
Hamzah berdecak. "Alah bohong, pasti kamu kegirangan, kan karena nggak perlu repot-repot beresin rumah. Saya tahu isi otak kamu seperti apa!"
"Jangan terlalu diperjelas, lha, Pak, kesannya saya ini menantu tidak tahu diri banget."
"Bukan kesannya lagi, tapi emang iya, Na. Kamu harus akui itu!"
"Ya, kan lumayan, Pak hemat tenaga dan biaya. Saya tinggal terima beres saja, lagi pula kaki saya sakit ini. Nggak ada iba-ibanya banget perasaan."
"Kalau saya nggak punya rasa iba, nggak mungkin tadi saya capek-capek obatin luka kamu, Na."
"Pamrih itu namanya!"
"Sudah ah, saya mau bantuin Mama dulu. Kasihan kalau beres-beres sendirian," tutur Hamzah.
Hamna menahan tangan Hamzah. "Di sini sajalah, supaya yang ternistakan bukan hanya saya, tapi juga Aa. Yang terkesan durhaka bukan hanya saya, tapi kita."
Hamzah menggeleng tegas. "Kamu istirahat saja, kaki kamu juga masih sakit, kan. Sudah jangan modus pengin berdua-duaan sama saya!"
Hamna berlagak memuntahkan sesuatu. "Ngarep banget. Ogah! Sana pergi!"
Hamzah keluar kamar seraya tertawa puas.
"Hamzah! Hamzah! Bisa-bisanya kamu cekikikan, di saat rumah sudah seperti tempat sampah karena ulah istri kamu yang nggak bisa apa-apa. Sehat kamu?!"
"Hamna, kan masih belajar, Ma. Dia juga belum bisa bagi waktu antara kuliah sama urus rumah. Wajar, apalagi kita juga baru pindahan, kan."
"Kalau sikap kamu terus seperti ini, kamu bisa tertindas, Ham. Bisa semena-mena Hamna sama kamu. Jangan jadi suami takut istri!"
Hamzah menggeleng tak setuju. "Bukan suami takut istri, tapi Hamzah mencoba untuk mengerti dan memahami. Hamna juga pasti capek pulang kuliah, tapi masih harus jemput Haleeza sekolah, terus beres-beres rumah. Semua itu butuh waktu, nggak bisa instan."
"Emang pada dasarnya Hamna yang lebih dominan!"
"Terserah Mama mau berpikir kayak gimana juga. Mama ada apa ke sini?"
"Memangnya nggak boleh Mama mengunjungi anak dan cucu Mama?"
"Boleh, boleh banget malah."
"Terus kenapa kamu tanya gitu? Kesannya kayak Mama nggak boleh ke sini tanpa ada kepentingan yang jelas!"
"Kok Mama jadi suudzan sama Hamzah. Nggak gitu, Hamzah cuma tanya, takutnya ada hal urgent."
"Nih Mama mau anterin makanan, karena Mama tahu Hamna pasti nggak bisa memuaskan perut kamu, kan?" katanya seraya menunjukkan sebuah rantang yang ada di atas meja.
"Cucian piring sudah Mama susun di rak, pecahan belingnya juga tadi sudah Mama simpan di keresek tinggal kamu buang. Mama juga sudah bereskan mainan Haleeza, pakaian kalian pun sudah Mama lipat, tinggal dimasukan ke dalam lemari. Sisanya tinggal nyapu dan ngepel. Biarkan Hamna yang kerjakan. Masa perkara nyapu dan ngepel saja nggak bisa!" cerocosnya.
"Iya, Ma, makasih ya sudah mau repot-repot bantu beresin rumah."
Anggi tak menyahut, dia malah melengos pergi begitu saja.
Hamzah mengembuskan napas lega, lalu kembali ke kamar untuk melihat kondisi Hamna.
"Bisa-bisanya kamu tidur pulas, disaat saya tengah kena sidang. Hamna, Hamna!" gumamnya benar-benar tak habis pikir.
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 24 November 2023
Konon katanya sidak mertua ini sangat mengerikan, dan selalu datang di waktu yang tidak tepat. 🤣😂✌️
Masih mau digasskeun?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top