RS | Part 22
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Cinta itu sukar untuk diungkapkan, tapi nyata kala dirasakan."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
TEPAT saat Hamna bangun dari sujud, samar-samar dia mendengar pintu yang dibuka. Tapi, dia masih teguh pendirian untuk menuntaskan salatnya terlebih dahulu.
Di sana Anggi meletakkan nampan berisi makanan serta minuman, tak lupa juga ada dua buah paper bag yang dia simpan di atas nakas samping pintu.
Saat mendengar pintu akan kembali ditutup, dengan kecepatan kilat Hamna berlari menghampiri mertuanya. Tanpa memedulikan salatnya yang harus terpaksa dia batalkan.
"A Hamzah bantuin saya!" pekiknya berusaha untuk menahan tangan sang mertua yang sudah bersiap untuk kembali menutup rapat pintunya.
"A Hamzah!" teriak Hamna dengan suara yang lebih keras, berharap sang suami segera menuntaskan salatnya.
Dengan kekuatan penuh Anggi menutup pintu kamar sang putra. Mengabaikan teriakan Hamna yang mengaduh kesakitan, karena kerudungnya menyangkut di antara celah pintu.
Hamzah yang baru saja selesai salat dibuat kaget, saat melihat kepala Hamna berhimpitan dengan pintu.
Mana posisinya miring pula.
"Allahuakbar! Kenapa bisa kayak gini, Hamna? Ya Allah!" tanya Hamzah cemas dan bergegas menghampiri istrinya.
"Kepala sama leher saya sakit, kelamaan miring, mana kerudung saya nggak bisa ditarik lagi. Ini gimana Aa?"
Dengan cepat Hamzah mencari gunting, lantas segera membantu Hamna. "Ada yang sakit? Rambut kamu aman, kan? Nggak kepotong, kan?"
Hamna tak menjawab. Dia lebih memilih untuk menghampiri cermin, melihat sisi kanan hijabnya yang sudah compang-camping.
Antara iba dan ingin tertawa, Hamzah bingung dengan apa yang saat ini dia rasakan. Tapi, sebisa mungkin dia berusaha untuk menahan tawanya.
"Kenapa bisa kerudung kamu sampai terhimpit pintu, hm?"
"Itu semua karena ulah Ibu Anda!" adunya begitu menggebu-gebu.
"Mama? Kok bisa?"
"Masa Aa nggak denger apa-apa sih? Tadi saya teriak-teriak manggil nama Aa."
"Saya nggak denger apa-apa, Na."
"Bapak, kan cuma salat, kenapa mendadak budeg!"
"Serius, Na saya nggak denger apa-apa."
Hamna menunjuk ke arah nakas lalu berkata, "Tadi Ibu Anda menyimpan itu semua. Saya mencoba untuk menjegal agar bisa keluar, tapi tenaga saya kalah kuat dan malah berakhir kayak tadi."
Hamzah bergegas mengambil apa yang ada di atas nakas. "Mau makan sekarang, Na?"
"Sebenernya saya sudah sangat lapar, tapi saya harus salat isya dulu. Yang tadi batal karena saya berusaha untuk kabur dari kamar ini."
"Ya sudah kalau gitu makan dulu, supaya salatnya nanti khusyuk."
"Saya mau salat dulu, kalau kekenyangan malah suka jadi malas salat."
Hamzah mengangguk singkat.
Hamna bergegas mengambil wudu, dia keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan ciput ninja sebab kerudungnya yang compang-camping dia buang ke tempat sampah.
Hamzah menyerahkan paper bag berisi mukena pada Hamna. Tanpa kata dia langsung mengambil alih, lalu menggunakannya. Tak butuh waktu lama bagi Hamna untuk menuntaskan kewajibannya. Untuk perkara salat, dia memang secepat kilat.
Tanpa melepas mukena Hamna langsung melahap soto tangkar beserta nasi putih yang masih mengepulkan asap. Mereka menikmati hidangan masing-masing dengan sangat lahap.
"Isi paper bag yang satunya lagi apa, A?"
Hamzah tak menjawab, dia lebih memilih untuk menyerahkannya langsung pada Hamna.
Tanpa pikir panjang, Hamna membongkar paper bag tersebut. Dan dia merasa malu saat melihat isi di dalamnya, dengan kecepatan kilat Hamna langsung memasukannya lagi.
"Kenapa, Na?"
"Nggak, nggak papa!"
"Saya ganti baju dulu," katanya lalu kembali ke kamar mandi seraya menenteng paper bag tadi.
Di sana terdapat piyama tidur, lengkap dengan dalaman serta kerudung. Ternyata mertuanya itu cukup baik juga, masih ingat untuk memberinya pakaian ganti.
Setelah selesai, dia kembali menghampiri Hamzah yang tengah duduk selonjoran di ranjang.
"Sini tidur, Na."
"Nggak mau. Masa saya harus tidur satu ranjang lagi sama Bapak sih!"
"Ya terus kamu mau tidur di mana?"
Hamna menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Ya di sini, lha."
Hamzah menghampiri Hamna, menarik tangan istrinya untuk menuju ranjang. "Kamu tidur di sini, biar saya yang tidur di sofa."
"Kenapa nggak dari tadi sih, Pak," katanya lalu merebahkan tubuh dengan tenang.
"Kamu nggak berniat untuk berbagi apa, Na? Saya kedinginan ini butuh selimut," protes Hamzah setelah merebahkan tubuh di sofa.
"Saya juga kedinginan, Pak."
Hamzah berdecak. "Lha kamu enak, mana tidur di ranjang pakai selimut pula. Beda sama saya, sudah mah di sofa, nggak pakai selimut lagi. Nggak kasihan apa kamu sama saya?"
"Sebenarnya sih saya kasihan sama Aa, tapi ya saya juga butuh selimut ini."
"Kalau debat sama perempuan emang nggak akan pernah menang!"
"Nah bagus, itu Aa sadar diri."
Hamzah mencoba untuk memejamkan matanya, tapi beberapa saat kemudian suara teriakan Hamna memekakkan telinga.
"Aaaakkkh!" teriak Hamna saat lampu kamar tiba-tiba padam.
Dia sangat takut dengan kegelapan.
"Nggak usah lebay deh, Na, cuma mati lampu doang," ujar Hamzah tenang.
"Saya nggak biasa tidur dalam keadaan lampu mati."
"Iya saya tahu, makannya saya ngalah sama kamu. Saya terbiasa tidur tanpa penerangan, tapi saat sudah menikah dengan kamu, saya harus kembali beradaptasi."
"Kenapa Bapak malah ngomel-ngomel sih. Saya beneran takut ini!"
"Nggak papa, Na, kan ada ada saya di sofa."
"Orang nggak kelihatan juga, gimana kalau Bapak kabur?"
"Kamu lupa kalau pintu kamarnya dikunci Mama? Saya nggak akan ke mana-mana."
Setelah itu hening. Hamna benar-benar tidak bisa terlelap, dia hanya meringkuk di bawah lindungan selimut tebal.
"Tidur ya, Na, saya temani. Nggak papa, kan?" tanya Hamzah setelah ikut merebahkan tubuh di sisi Hamna.
Hamna hanya mengangguk kecil.
"Gelisah banget kayaknya kamu, Na. Setakut itukah sama kegelapan?"
"Saya nggak biasa."
Hamzah merengkuh tubuh Hamna, dia berusaha untuk menenangkan istrinya. "Ada saya, kamu nggak usah takut ya."
"Ayah kapan pulang? Kenapa lama banget? Ini sudah ba'da isya," tutur Hamna.
"Mungkin lagi di jalan, Na. Nanti juga kalau sudah pulang pasti langsung bukain pintu kamar kita kok. Sudah jangan banyak ngoceh, mending kamu tidur."
Hamzah melantukan sebuah shalawat, berharap dengan cara tersebut bisa membuat Hamna terlelap. Cukup lama, sampai akhirnya deru napas Hamna mulai terdengar teratur.
Dia elus kening Hamna yang berkeringat dan menghapus peluhnya. Sedikit ragu Hamzah membuka kerudung yang Hamna pakai, dia kasihan melihat Hamna kegerahan.
Urusan Hamna yang besok pagi akan mengamuk biarkan dipikirkan nanti, yang penting sekarang istrinya bisa tidur dengan tenang.
Tangan Hamzah sudah terasa pegal karena dijadikan bantal oleh Hamna. Mana kantuk belum kunjung datang, dia malah asik memainkan surai Hamna.
"Damai banget kalau lihat kamu tidur, Na. Nggak tahu besok pagi bagian tubuh saya yang mana lagi yang akan memar-memar karena ulah kamu," gumamnya.
Hamna melenguh dalam tidurnya, dia semakin melesakkan diri pada dada Hamzah yang kini mendadak berdetak kencang.
"Kenapa jantung saya malah disko malam-malam sih, Na. Kurang kerjaan sekali!" desis Hamzah pelan.
Hamzah berusaha untuk menjauhkan kepala Hamna. Ini sudah tidak benar, dia tidak bisa tidur jika terus bertahan dalam posisi sedekat ini dengan Hamna. Jantungnya tidak bisa diajak kompromi.
Dia memutar tubuh untuk membelakangi Hamna, berusaha untuk memejamkan matanya. Tapi, ternyata tidak semudah itu, karena kini tangan Hamna sudah melingkar apik di pinggangnya.
"Tolong jangan seperti ini, Na. Saya nggak siap kalau harus mengidap penyakit jantung di usia muda," monolognya.
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 23 November 2023
Bab kali ini sedikit mengandung gula, hati-hati jangan senyum-senyum sendiri 🤣😂✌️
Masih mau digasskeun?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top