RS | Part 21

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jalan takdir sudah digariskan, tak usah terlalu dipikirkan. Tugas kita hanya menjalani kehidupan."

Rintik Sendu
by Idrianiiin

HAMNA sudah misuh-misuh karena terjebak di dalam ruangan hanya berdua dengan Hamzah. Dia benar-benar ingin segera keluar, apalagi hari sudah akan memasuki waktu malam. Mana dia tidak memiliki pakaian ganti lagi. Hamna benar-benar dibuat frustrasi!

"Ambil wudu, Na, sudah azan magrib ini," titah Hamzah yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Hamna menghentakkan kakinya kesal. "Masa saya harus salat tanpa pakai mukena lagi sih, Pak. Mana badan saya gerah lagi, saya belum mandi!"

"Ini darurat, yang penting aurat kamu tertutup sempurna. Insyaallah salatnya sah," jawab Hamzah.

Lagi pula Hamna kebetulan sedang menggunakan gamis serta kerudung segiempat, bahkan kaus kaki pun terpasang apik melindungi kakinya.

"Saya itu nggak biasa pakai kerudung lebar-lebar begini. Masa iya saya juga harus tidur gamisan sih, Pak. Nggak enak banget asli!" keluhnya.

Semula Hamna melilitkan kerudungnya di leher, karena kepentingan untuk salat, Hamzah memintanya untuk memanjangkan kerudung tersebut hingga menutup dada.

"Ambil wudu dulu ya, Na, waktu magrib singkat. Nanti ba'da isya Ayah pulang kerja. Kamu jangan khawatir, Ayah pasti akan bantuin kita."

Akhirnya Hamna pun menurut. Dia berdiri tepat di belakang Hamzah, suara takbir langsung mengalun indah. Hamna cukup terkesan dengan bacaan Hamzah yang fasih serta menenangkan, sampai tidak sadar ucapan salam sudah menguar.

Bukannya menyalami Hamzah, Hamna malah rebahan di atas sajadah. "Saya lapar A Hamzah, ini mau sampai kapan kita dikurung di sini," katanya seraya memeluk perut yang keroncongan.

Hamzah menarik kepala Hamna agar berada di atas pangkuannya. Dia elus puncak kepala Hamna lembut. "Sabar ya, Na, kita puasa dulu sebentar. Saya juga sama lapar, tadi siang kita hanya makan seblak dan lemon tea."

Hamna mendongak melihat wajah teduh Hamzah. "Kenapa sih Ibu Anda bisa sekejam itu? Padahal, kan yang tersiksa bukan hanya saya, tapi anak kandungnya juga."

"Namanya juga lagi emosi, Na, beliau gelap mata sampai melakukan berbagai macam cara."

"Nggak bisa apa kita kabur lewat jendela? Lewat apa gitu, yang penting bisa keluar dari kamar ini."

"Semua jendela di rumah ini menggunakan kunci, Na. Kita nggak bisa lewat sana, kuncinya Mama yang pegang semua. Mau dobrak pintu pun, pasti akan percuma, pasalnya saya nggak ada tenaga lebih. Kita, kan belum makan."

Hamna berdecih. "Aa lemah, dobrak pintu saja nggak bisa!"

"Bukan lemah, tapi sayang juga kalau pintu kamar saya sampai rusak. Mama akan semakin murka pada kita. Sudahlah kita jangan banyak berulah dulu, tunggu Ayah pulang saja ya, Na," bujuknya.

"Kalau saya mati kelaparan gimana?"

Hamzah malah menjitak kening Hamna. "Nggak mungkinlah, kamu ini terlalu berlebihan."

"Biasanya juga Ayah pulang jam lima, ini kenapa mendadak jadi ba'da isya? Sekongkol kali sama Ibu Anda."

"Ayah ada lembur, Na."

Hamna menghela napas panjang.

"Saya mau tanya sesuatu deh sama Aa," katanya berhasil menghentikan kegiatan Hamzah yang tengah mengelus-elus puncak kepala Hamna yang masih tertutup hijab.

"Apa?"

"Kenapa dari sekian banyak tamu yang ada, Aa memilih saya sebagai mempelai pengantin pengganti?"

"Ya, karena hanya kamu yang saya dan Haleeza kenal."

"Nggak ada alasan lain gitu?"

Hamzah sejenak berpikir. "Saya pun nggak tahu, yang pertama kali terbersit di dalam benak saya ya nama kamu. Saya merasa kamu bisa membantu saya, dan saya pun percaya kalau dengan kamu Haleeza akan mendapat kasih sayang yang tulus."

Hamna manggut-manggut. "Berarti alasan Aa menikahi saya karena Haleeza. Karena saya dekat dengan putri kesayangan Anda."

"Mungkin bisa jadi begitu. Kamu juga kenapa bisa mendadak berubah pikiran? Padahal pada saat saya menawarkan kesepakatan itu, kamu langsung menolaknya mentah-mentah."

"Karena rumah yang Aa janjikan. Rumah saya kebakaran, dan itu karena keteledoran saya yang lupa mematikan kompor. Saya merasa bersalah karena sudah membuat Ayah dan Ibu kehilangan rumahnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban saya menyetujui ajakan Aa untuk menikah."

"Bukan karena ingin saya biayai kuliah?"

"Ya itu juga sebenarnya. Saya ingin membuat orang tua saya bangga. Setidaknya dengan gelar S1 saya bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik, dan bisa membantu mereka dalam hal ekonomi. Saya tahu Aa seorang dosen, mungkin dengan jalur orang dalam saya bisa lulus dengan mudah. Setidaknya ada yang membantu saya saat mengerjakan tugas kuliah dan skripsi nantinya."

"Itu namanya kamu memanfaatkan saya!"

"Bapak juga memanfaatkan saya. Impas dong, kita?"

"Iya deh terserah kamu. Terus apalagi yang membuat kamu berubah pikiran?"

"Saat Aa mengiming-imingi akan mencukupi semua kebutuhan saya. Jujur saya sangat tergiur, karena saya sudah lelah bekerja tapi uangnya kerapkali habis entah ke mana. Lumayanlah, bisa dijajani seumur hidup sama Bapak Dosen," katanya diakhiri kekehan.

"Katanya kamu berubah pikiran karena saya memiliki tujuan yang jelas, ternyata itu hanya alibi kamu saja, Na."

Hamna menggeleng seraya memainkan jari-jemari Hamzah. "Ya karena itu juga. Aa, kan tahu hidup saya itu gamang nggak punya tujuan, setidaknya kalau sama Aa hidup saya lebih terarah."

"Kalau kamu sudah selegowo itu menerima pernikahan ini, kenapa kamu masih memberi jarak pada saya? Pake acara minta pisah kamar, lha, jangan sentuh-sentuh, lha, dan masih banyak lagi."

Kesadaran Hamna yang semula tercecer mendadak berkumpul seluruhnya. Dia pun bangkit dari pangkuan Hamzah dan menjauh.

"Bisa-bisanya Bapak mengambil kesepakatan elus-elus kepala saya, di saat saya tidak sadar. Terus apalagi tadi, saya tidur di pangkuan Bapak. Allahuakbar! Kok bisa sih!" monolognya.

Hamzah memutar bola mata malas. "Baru nyadar kamu, Na? Kalau sudah nyaman bilang saja, nggak usah gengsi dan jual mahal. Lupa apa tadi kamu pakai acara mainin jari-jari saya segala."

Hamna bergidik ngeri. "Nggak, itu bukan saya! Nggak tahu siapa, pokoknya yang tadi itu bukan saya!"

Hamzah bangkit dan melipat sajadahnya. "Kamu itu emang aneh bin ajaib, Na."

Hamna berdecak. "Itu efek lapar kali, Pak, jadinya nggak fokus. Makanya kasih saya makan, ini lambung saya sudah beneran perih tahu!"

"Berkilah saja terus!"

"Aa nggak punya teman yang bisa dimintai tolong apa? Ayah kayaknya masih lama ini," oceh Hamna sudah guling-guling di atas pembaringan.

"Nggak ada."

"Papa! Buna!" suara Haleeza mengambil fokus keduanya.

Dengan cepat Hamna berlari mendekat ke arah pintu. "Za bantu, Buna, perut Buna sakit ini belum makan dari siang."

"Oma ada di luar, Za?" tanya Hamzah.

"Oma lagi keluar, Papa, beli makanan katanya."

Hamzah dan Hamna saling berpandangan sejenak.

"Za cari kunci pintu kamar Papa ya, biasanya ada di laci dekat meja tv," tutur Hamzah.

"Kunci kamarnya dibawa Oma, Papa. Za disuruh Oma buat jagain pintu kamar Papa," adunya.

"Oma sudah lama perginya, Za?" Kini Hamna yang bertanya.

"Selesai salat magrib, langsung pergi, Buna."

"Dobrak pintunya sekarang," pinta Hamna.

"Saya nggak yakin bisa melakukannya, Na."

"Ya harus bisa, lha. Jangan lemah kalau jadi laki-laki!"

"Kamu sih enak, Na tinggal ngomong doang. Kamu kira dobrak pintu dari dalam itu gampang apa? Mana saya sendirian lagi."

"Emang dasarnya Aa itu nggak mau keluar dari kamar ini, kan? Senang, kan karena bisa lama-lama satu ruangan sama saya. Dasar modus!"

"Kamu itu suudzan terus sama saya, Na!"

"Ya, Bapak emang patut untuk saya curigai dan waspadai!"

BERSAMBUNG

Padalarang, 22 November 2023

Hamzah sama Hamna itu akurnya bentar, adu mulutnya berjam-jam 😂🤣 ... Agak lain emang pasutri satu ini.

The real Tom & Jerry 😅

Ini ngapa jadi double up mulu dah 😂 ... Semoga nggak bosan deh 🤣

Gaskennn terus???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top