RS | Part 2

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Saking tidak bebasnya, untuk perkara pasangan pun harus dicarikan."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

MENJADI Dosen Program Studi Fotografi dari Fakultas Seni Media Rekam adalah impian terbesar Hamzah. Di mana sekarang dia sudah bergelar sebagai Doktor setelah menempuh pendidikan Pascasarjana S3 di ISI Yogyakarta.

Dr. Hamzah Wiratama, S.sn, M.B.A, itulah gelarnya. Menjadikan pendidikan sebagai obat sekaligus pelampiasan dari kepahitan yang dialami. Dia tidak hanya menghadiahi sang ibu gelar S2, bahkan kini dirinya sudah berstatus sebagai Dosen PNS di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di kota Bandung.

Dari segi karier dan pendidikan sangatlah cemerlang, tapi perihal pasangan kurang begitu diuntungkan, bahkan cenderung selalu disudutkan. Namanya juga hidup, tidak selalu sejalan sesuai dengan yang diharapkan.

"Kenalkan, Ham ini namanya Hanum Mudrika Sirais usianya 25 tahun. Sarjana Akuntansi dan saat ini bekerja di salah satu bank swasta," tutur sang ibu begitu antusias.

Saat Hanum menyodorkan tangan untuk saling berjabatan, Hamzah justru menangkupkan tangannya di depan dada. "Hamzah Wiratama."

Hanum sedikit canggung karena uluran tangannya tidak disambut dengan baik. "Salam kenal."

Hamzah hanya mengangguk dan sedikit tersenyum.

Anggi, yang merupakan sang ibu terus mempromosikan putranya. Segala hal-hal baik dipaparkan, berbeda dengan Hamzah yang lebih fokus pada Haleeza yang tengah duduk manis di pangkuannya.

Percayalah, Hamzah tidak sedikit pun tertarik dengan Hanum yang begitu dibangga-banggakan oleh sang mama. Tak dapat dipungkiri dari segi visual, Hanum memang sangat cantik dengan rambut hitam yang dibiarkan tergerai, wajah yang begitu menunjang dengan penciptaan sempurna.

Tubuh lenjang nan ramping bak model, dengan style yang begitu modis dilengkapi stiletto yang jika digunakan untuk berjalan, bisa memunculkan irama khas.

Semua keindahan itu seolah sirna di mata Hamzah. Dia tidak suka dengan perempuan yang begitu mudah memamerkan keelokan diri secara cuma-cuma. Keindahan yang seharusnya dijaga dan hanya boleh dilihat oleh seseorang yang berhak itu, sudah dinikmati banyak pasang mata.

"Za ini adalah Mama Hanum, calon istrinya Papa Hamzah," ungkap Anggi begitu bahagia.

Mata bocah kecil itu mengerjap beberapa kali, lalu menatap Hamzah yang tengah mengukir senyum tipis. Dia seolah bertanya dan memastikan. Apakah perkataan sang nenek benar?

"Hai, Cantik," sapa Hanum hendak mengelus gemas pipi Haleeza.

Di luar dugaan Haleeza justru memalingkan wajahnya dan memeluk leher Hamzah cukup erat. Dia memang cukup sulit akrab dengan orang baru.

Hamzah mengelus punggung sang putri kecil. "Kenapa, Sayang?"

Haleeza menatap manik teduh Hamzah. "Za mau pulang, Papa."

Kening Hamzah mengernyit. "Lho, kenapa?"

Gadis kecil itu hanya menggeleng pelan.

"Maafkan putri saya, Hanum. Dia memang tidak mudah akrab kalau dengan orang baru," tutur Hamzah merasa tidak enak, terlebih saat mendapati mimik wajah Hanum yang sedikit berubah.

"Enggak papa, saya paham," balasnya berusaha untuk mengerti. Dia memang orang baru, jadi sangat wajar kalau mendapat sambutan kurang baik dari Haleeza.

"Za sama Oma dulu yah, kita beli ice cream," ajak Anggi seraya membujuk sang cucu agar mau digendong olehnya.

Haleeza menolak keras, dia semakin mengeratkan pelukannya. "Za nggak mau, Oma!"

Anggi sedikit menggeram. "Sebentar, Sayang, nanti kita ke sini lagi. Oma janji."

"Jangan paksa Haleeza, Ma. Apa tidak masalah kalau ada Haleeza di tengah-tengah kita, Hanum?" tegur Hamzah seraya meminta izin pada perempuan yang duduk di hadapannya.

"Enggak masalah, Mas."

"Ya sudah kalian Mama tinggal dulu, kalau sudah selesai hubungi Mama, Ham," ujarnya pada sang putra.

Hamzah hanya mengangguk.

"Dari cerita Tante Anggi, Mas Hamzah seorang dosen yah?" cetus Hanum mencoba untuk mencairkan suasana karena Hamzah tak kunjung buka suara.

"Ya."

"Pernah kuliah S2 di Jerman, kan?"

"Ya."

"Sudah berapa lama jadi dosen?"

"Hampir dua tahun."

Hanum manggut-manggut seraya menikmati hidangannya. "Cukup lama juga ternyata."

"Ya."

Hanum meneguk ludah susah payah, kala untuk ketiga kalinya dibalas dengan jawaban singkat.

Baru kali ini, dia merasa ditolak oleh seorang laki-laki. Meskipun tidak secara gamblang, tapi dari respons yang Hamzah berikan sudah sangat terlihat jelas.

"Kamu menerima perjodohan ini?" tanya Hamzah setelah cukup lama terdiam.

"Saya rasa tidak ada alasan untuk menolak."

"Za mau pulang, Papa," rengek Haleeza berhasil memotong obrolan di antara keduanya.

"Tante Hanum punya cokelat lho, Za mau?" seloroh Hanum berusaha untuk menarik perhatian Haleeza seraya memamerkan dua batang cokelat.

Dia tak langsung mengambilnya, yang dilakukan pertama kali justru menatap wajah Hamzah. Seolah meminta saran dan juga persetujuan.

Hamzah mengacak gemas puncak kepala Haleeza. "Kalau Za mau ambil," tuturnya.

"Terima kasih Tante," ungkap Haleeza saat sudah mengambil alihnya.

Hanum sedikit bisa bernapas lega. Setidaknya bocah kecil itu tidak lagi menunjukkan ketidaksukaannya.

"Kembali kasih, Cantik."

"Papa mau?" tawarnya lucu.

Hamzah terkekeh pelan. "Za lupa ya, kalau Papa nggak suka manis, hm?"

Haleeza malah tertawa seraya menepuk jidatnya.

"Lho kenapa, Mas?" tanya Hanum ikut larut dalam obrolan.

"Saya pun kurang tahu alasan jelasnya, tapi memang itu sudah jadi kebiasaan sedari kecil."

Hanum mengangguk paham. "Kalau saya sangat suka yang manis-manis, kecuali janji manis," guraunya.

Perkataan Hanum justru mengingatkan Hamzah pada sosok di masa lalu. Tapi, dengan cepat dia menggeleng untuk mengenyahkannya.

"Mas terlihat sangat dekat dan menyayangi Haleeza. Apa tidak merasa risi kalau orang-orang mengira Mas seorang duda?" selorohnya sedikit berhati-hati.

"Saya memang duda anak satu," sahut Hamzah begitu santai.

Mata Hanum membulat sempurna. "Kata Tante Anggi Mas Hamzah masih single, Haleeza ini-"

"Haleeza adalah putri saya," potong Hamzah cepat. Dia tak ingin Haleeza mendengar sesuatu yang tidak seharusnya bocah kecil itu ketahui.

Suatu saat nanti Hamzah pasti akan memberitahu Haleeza akan status mereka, dan juga siapa orang tua kandungnya, tapi tidak untuk sekarang. Haleeza masih terlalu kecil untuk mengetahui fakta pahit akan kerasnya realitas.

"Kalau kamu berubah pikiran dan menolak perjodohan ini silakan. Saya tahu, perempuan berpendidikan dan memiliki karier cemerlang seperti kamu pasti akan keberatan jika harus menikah dengan seorang duda anak satu seperti saya."

"Apa ini merupakan cara Mas menolak perjodohan?"

Hamzah menggeleng. "Tidak, saya justru memberikan kamu kebebasan untuk memilih, karena saya tidak bisa mendapatkan hak itu."

"Maksud, Mas?"

Hamzah sedikit terkekeh. "Bukan apa-apa, tidak usah terlalu dipikirkan."

"Oh, ya jangan panggil saya, Mas. Saya bukan orang Jawa, saya Sunda tulen," imbuhnya.

Panggilan itu cukup mematik rasa trauma, dan membuat dia teringat pada seseorang.

"Saya akan tetap melanjutkan perjodohan ini, sekalipun Mas seorang duda anak satu. Em, maksud saya A Hamzah?"

"Saya harap kamu tidak menyesal dengan pilihan tersebut. Panggilan itu terdengar lebih ramah di telinga saya."

Seolah ditantang, Hanum menatap lekat bola mata Hamzah. "Tentu saja tidak akan pernah, A Hamzah."

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 04 November 2023

Fyi, Hamzah ngambil S1 Program Studi Fotografi, gelarnya Sarjana Seni (S.sn). Dilanjut S2 Manajemen Bisnis, gelarnya Master in Business Administration (M.B.A). Dan S3 Program Studi Fotografi, gelarnya Doktor (Dr). Sekarang dia jadi Dosen di Fakultas Seni Media Rekam ... Begitu yah, teman-teman ☺️

Patah hatinya Hamzah manjangin nama, bukan meratapi nasib dan sibuk ngelap air mata 😂🤧

Gimana Part 2 nya? Mau dilanjut atau cukup? 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top