RS | Part 14
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tak usah banyak menuntut, cukup contohkan untuk membuat seseorang menjadi sosok yang penurut."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
TATA BOGA menjadi jurusan yang Hamna ambil untuk pendidikan S1-nya. Dia memilih secara acak, tidak benar-benar memilih berdasarkan minat dan bakat. Kala ditanya perihal alasannya oleh Hamzah pun jawaban Hamna sangatlah nyeleneh.
"Alasannya sederhana, supaya menjadi menantu idaman ibumu."
"Saya bertanya serius, jangan bergurau terus."
"Bapak ini cerewetnya ngalahin perempuan, suka kepo urusan orang lain juga. Ya sudah sih, nggak usah banyak tanya yang penting saya kuliah dan lulus jadi sarjana."
"Saya bertanya seperti ini karena saya khawatir kamu salah pilih dan malah menyesal di kemudian hari. Kamu harus pikirkan matang-matang dahulu, saya nggak mau sampai kamu tertekan saat menyadari salah pilih jurusan. Saya bicara seperti ini, karena saya pernah mengalami, dan saya tidak ingin kamu merasakan hal yang sama."
"Nggak usah banyak khawatir, hidup itu harus dinikmatin. Susah emang kalau nikah sama yang lebih tua, mikirnya terlalu jauh ke depan."
Lamunan Hamna buyar seketika kala lengkingan suara Haleeza menyapa rungunya.
"Buna!"
"Iya, kenapa?"
"Hari ini jadi, kan anterin, Za sekolah?" tanyanya penuh semangat.
Hamna tersenyum lebar. "Jadi dong, Buna nggak mungkin ingkar janji sama Za."
Haleeza tertawa lalu naik ke atas pangkuan Hamna, mencium pipi Hamna secara bergantian lalu berkata, "Makasih ya, Buna sudah mewujudkan mimpi, Za."
"Mimpi?"
Haleeza mengangguk semangat. "Berangkat sekolah dianter Buna, nggak cuma sama Papa. Kayak temen-temen, Za yang lain."
Hamna menangkup gemas wajah Haleeza lalu memeluknya erat. "Mulai sekarang dan seterusnya Buna yang akan anterin Za sekolah."
"Janji?" Bocah kecil itu mengacungkan jari kelingkingnya.
Hamna menyambut baik, dan menautkan jari mereka. "Janji!"
"Sudah siap-siapnya, Na?" tanya Hamzah di balik pintu kamar.
Hamna menurunkan Haleeza lalu menuntunnya untuk menghampiri Hamzah yang berada di ambang pintu. "Sudah."
"Ya sudah, yuk sarapan dulu."
Hamna menahan tangan Hamzah dan menggeleng kuat. "Kalau sarapan di rumah, yang ada kita telat karena pastinya saya akan terlibat perdebatan lagi dengan Ibu Anda. Langsung berangkat saja ya?"
Hamzah mengangguk setuju, dia pun tak ingin ada keributan di pagi hari. Sudah cukup semalam saja, jangan ditambah lagi.
"Za nggak papa, kan kalau kita sarapan di luar? Makan bubur?" tanya Hamna.
Haleeza langsung mengangguk patuh.
Saat melewati meja makan, suara sang ayah lebih dulu menyapa rungu. "Nggak sarapan dulu?"
"Sarapan di luar, Yah, lagi pengin cari suasana baru."
"Bukan cari suasana baru, tapi pemborosan itu namanya!" sambar Anggi.
"Nggak boros, Ma, toh nggak setiap hari juga," sangkal Hamzah.
"Kamu semenjak nikah jadi suka membantah Mama, Ham!"
Hamzah menghela napas singkat lalu berucap, "Kan Mama yang minta Hamzah untuk menikah. Kenapa sekarang seolah menyudutkan Hamzah?"
"Mama memang meminta kamu untuk menikah, tapi bukan dengan dia!" sahutnya seraya menunjuk Hamna.
Hamna yang sedari tadi menahan emosi dan mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata pedas pun akhirnya berujar, "Iya saya tahu, kok, tahu banget malah, tipikal menantu idaman Ibu, kan yang kabur itu. Yang bikin malu keluarga, bukan seperti saya yang sudah menyelamatkan wajah keluarga Ibu dari rasa malu."
"Bangga sekali rupanya kamu ini, padahal hanya dijadikan sebagai pengganti!"
"Saya memang hanya pengganti, tapi Ibu harus akui bahwa yang berhasil menyandang status sebagai istri sang putra mahkota adalah saya, bukan menantu idaman Ibu yang tak tahu diri itu. Siapa namanya, A? Mendadak amnesia saya."
Anggi berkacak pinggang dengan mata melotot tajam. "Kamu ya! Berani sekali melawan saya!"
"Berani, Bu, apa sih yang saya takuti dari Ibu. Sama-sama makan nasi juga, kan?" sahut Hamna santai.
"Sudah ya, Na, cukup. Jangan diperpanjang lagi, kita akan benar-benar kesiangan kalau kamu terus menanggapi Mama," ujar Hamzah memohon.
"Ibu Anda yang memulai, saya hanya menanggapi. Apa itu salah?"
Ingin rasanya Hamzah menjawab, 'Salah, Na, itu adalah suatu kesalahan yang fatal.'
"Nggak salah, tapi lebih baik kamu diam ya. Yuk, berangkat sekarang," jawabnya.
Hamna melirik sinis ke arah suaminya.
Hamzah tak menghiraukan, dia lebih memilih untuk menarik paksa Hamna untuk segera meninggalkan rumah. Tidak akan ada ujungnya kalau perdebatan di antara Hamna dan Anggi terus dibiarkan.
"Apaan sih! Sekarang Bapak jadi sering curi-curi kesempatan. Nggak usah pake pegang-pegang, kan bisa!"
"Nggak bisa, Na. Nggak bisa. Kamu itu kalau nggak diseret paksa, pasti akan terus ngoceh sampai mulut kamu berbusa. Pengang kuping saya kalau setiap hari harus mendengar hal-hal semacam itu."
"Ya itu salah Bapak, jangan salahkan saya!"
"Salah saya di mana lagi, Na?"
"Saya, kan sudah kasih opsi untuk pindah rumah. Itu adalah solusi supaya hidup Bapak aman, tentram, sejahtera."
Hamzah menghela napas berat. "Untuk masalah itu nanti kita bahas lagi."
"Kenapa nggak sekarang saja supaya semuanya tuntas."
"Saya sudah terlibat kesepakatan dengan Mama, akan tetap tinggal di sini meskipun sudah menikah."
"Kenapa kayak gitu?"
"Ya, karena itu permintaan Mama."
"Seharusnya Bapak tolak, lha. Kalau menantu dan mertua hidup dalam satu atap, pasti salah satu diantaranya ada yang makan hati setiap hari. Terkhusus saya, yang kebetulan dapat mertua Titisan Dayang Sumbi."
Hamzah menggeleng pelan. "Jangan bicara seperti itu di depan Haleeza, Na. Mau bagaimanapun beliau adalah ibu kandung saya, mertua kamu juga. Jangan dibiasakan. Itu kurang baik, Na."
Hamna berdecih. "Apa kabar dengan Ibu Anda? Bapak menuntut saya untuk berlaku baik padanya, tapi yang beliau lakukan justru sebaliknya? Sikap saya tergantung dengan sikap beliau. Jangan salahkan saya kalau berlaku kurang ajar, karena beliau pun mencontohkan hal yang demikian."
"Kalau Bapak ingin saya dan Ibu Anda akur sebagaimana sepasang ibu dan anak. Seharusnya Bapak yang berusaha untuk meyakinkan beliau, karena itu tugas Bapak, bukan saya. Bapak telah memilih saya, itu artinya Bapak bertanggung jawab atas diri saya."
"Sekarang justru saya yang terkesan tengah mengemis restu. Saya rasa itu tidak adil, karena kondisinya saya ini korban dari musibah yang Bapak alami. Saya rasa Bapak bisa memahaminya?!"
Setelah mengatakan hal tersebut Hamna menarik tangan mungil Haleeza menuju mobil, dan duduk di kursi belakang. Meninggalkan Hamzah yang tengah berkawan geming.
"Buna sama Papa berantem?" tanyanya polos.
Hamna menggeleng pelan. "Nggak."
Haleeza hanya manggut-manggut saja.
"Za jangan salah sangka ya, Buna sama Papa baik-baik saja kok."
Lagi-lagi Haleeza mengangguk singkat
Karena Hamzah yang tak kunjung menaiki mobil, Hamna pun menyalakan klakson hingga tak lama dari itu Hamzah langsung duduk di balik kemudi.
"Duduk di depan, kan bisa, Na. Saya bukan sopir."
"Saya, kan makmum, bukankah makmum memang berada di belakang imam?"
"Kita akan melakukan perjalanan, bukan sedang menjalankan ibadah."
"Ya suka-suka saya, lha, mau duduk di mana pun. Kok jadi Bapak yang ribet!"
Hamzah tak menyahut, dia lebih memilih untuk memasangkan sabuk pengaman lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 17 November 2023
Update malam-malam, masih ada yang melek, kan? 🤧🤭 ... Kalau ada typo bantu koreksi ya 😉
Gasken ke bab selanjutnya nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top