RS | Part 12

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Memenuhi ekspektasi orang lain memang tidak akan ada habisnya, malah akan membuat lelah diri sendiri."

-Rintik Sendu-
by Idrianiiin

JIKA Roro Jonggrang meminta untuk dibangunkan seribu candi dalam satu malam, dan Dayang Sumbi meminta untuk dibuatkan telaga serta perahu dalam semalam, untuk syarat menikahinya.

Lain cerita dengan Hamna yang justru menerima banyak syarat dari sang mertua untuk bisa mendapatkan restu, padahal dia yang berkorban, tapi malah dia yang kini tersudutkan.

"Ibu A Hamzah itu sepertinya titisan Dayang Sumbi," oceh Hamna berhasil menghentikan kegiatan Hamzah yang tengah mengecek tugas mahasiswanya.

"Maksud kamu?"

Dengan kesal Hamna menghampiri meja kerja Hamzah dan menunjukkan catatan yang tadi sore dia dapatkan dari sang mertua.

Syarat Menjadi Menantu Idaman.

1. Berpendidikan Minimal S1.
2. Wanita Karier.
3. Piawai Memasak.
4. Pintar Beres-beres Rumah.
5. Bisa Mengurus anak dan suami.
6. Santun, Lemah Lembut, & Beretika.
7. Tidak Suka Mendebat Orang Tua.
8. Patuh & Taat Pada Aturan.
9. Harus Bisa Memberi Keturunan.

"Sekelas Dayang Sumbi sama Roro Jonggrang saja hanya minta satu syarat, lha ini sembilan. Apa Ibu A Hamzah sehat?!"

"Nanti saya bicarakan sama Mama ya, kamu jangan emosi dulu, ok?" pintanya setelah melepas kacamata baca.

Hamna berkacak pinggang. "Seenak jidat minta jangan emosi. Bapak bisa ngertiin posisi saya nggak sih?!"

Hamzah berdiri, sedikit ragu dia memegang kedua pundak Hamna yang naik turun, bermaksud untuk menenangkannya. Namun, Hamna salah paham, dan malah menunjukan taring serta pelototan.

"Duduk dulu ya, tarik napas, buang. Rileks," ujarnya seraya mendorong punggung Hamna agar duduk di tepi ranjang.

Mereka duduk saling berhadapan. "Perlu saya ambilkan air putih?" tawarnya.

"Nggak!"

Hamzah mengangguk paham. "Coba ceritakan pelan-pelan, jangan pakai emosi."

"Tiga hari lalu jari saya teriris, lalu besoknya jari saya pun terkena pecahan beling, tadi pagi punggung tangan saya kena minyak panas, terus tadi sore dengan tanpa dosanya Ibu Anda menghadiahi catatan biadab itu. Bapak pikir saya akan terima-terima saja kalau setiap hari ditindas dan diperlakukan tidak layak?!"

"Bapak mengemis belas kasihan dari saya supaya mau menikah dengan Bapak. Tapi, kenapa setelah saya menyetujuinya, Ibu Anda tidak mampu memperlakukan saya layaknya manusia? Kalau tahu akan seperti ini. Saya tidak akan pernah mau menjadi pengantin pengganti untuk Bapak!"

"Saya tidak sudi mengemis restu dari titisan Dayang Sumbi!" Dadanya naik turun, sangat terlihat jelas bahwa perempuan itu benar-benar kesal dan meradang.

Hamzah yang semula iba, mendadak ingin tertawa mendengar julukan yang Hamna sematkan untuk ibunya, Titisan Dayang Sumbi. Memang benar-benar istrinya ini, sedang dirundung amarah pun masih sempat-sempatnya melawak.

Hamna mencubit kesal pinggang Hamzah sangat kencang. "Bapak ini nggak ada iba-ibanya sama sekali sama istri. Bukannya apa kek, ini malah ngetawain!"

"Na lepas, Na, sakit tahu. Saya denda kamu karena sudah berani pegang-pegang saya," gurau Hamzah.

Hamna menurut lalu bersidekap dada. "Bodo amat! Nggak peduli saya!"

"Mari ikut saya, kita bicarakan ini sama Mama ya."

Hamna menggeleng dan menatap sengit. "Ogah! Bapak saja sana!"

"Jangan panggil bapak terus dong, Na. Ini saya berasa lagi bujuk anak gadis yang tengah merajuk kalau kamu terus seperti itu. Saya bukan ayah kamu."

"Suka-suka saya, lha. Ini mulut saya, kok Bapak yang ribet!"

Hamzah menghela napas singkat. "Kamu jangan terlalu menanggapi Mama, biarkan saja. Kalau terus ditanggapi, malah akan semakin menjadi."

"Bapak sih enak tinggal ngomong doang. Yang ngalamin, kan saya. Bapak seharian ngajar di kampus, sedangkan saya full 24 jam di rumah. Dipantau Titisan Dayang Sumbi yang nggak punya hati."

"Iya saya tahu, terus sekarang mau kamu bagaimana?"

"Pindah rumah, titik nggak pake koma!"

Hamzah hanya diam terpaku.

"Bapak kenapa malah diam?!"

"Na kalau untuk pindah rumah saya rasa belum bisa dalam waktu dekat ini. Tapi, insyaallah nanti kita akan tinggal di rumah yang terpisah dengan Mama."

"Nantinya itu kapan? Nunggu saya stress dulu gitu? Bapak kira makan hati tiap hari itu enak? Nggaklah!"

Hamzah pun inginnya segera angkat kaki, agar bisa berumah tangga dengan mandiri, tapi apa boleh buat jika dia sudah terlibat kesepakatan dengan sang ibu. Dan dia tak mungkin meninggalkan rumah dalam waktu sekarang-sekarang ini.

"Bapak itu sudah tua, sudah jadi pemimpin rumah tangga, dosen pula. Tapi, kenapa terlalu tunduk patuh pada Ibu Anda yang selalu merecoki urusan kita. Tidak bisakah, Bapak bersikap tegas pada beliau?!"

"Saya bukannya nggak bisa mengambil sikap, Na. Saya hanya tak ingin memperkeruh keadaan. Kita bisa saja pindah sekarang, tapi bukankah ini akan menambah masalah baru? Saya tidak ingin ada keributan di antara istri dan juga ibu saya sendiri."

"Bukannya saya tidak bisa mengerti posisi kamu, tapi posisi saya pun serba salah. Di satu sisi saya berkewajiban untuk membuat hidup kamu nyaman dan tenang. Tapi di sisi lain, saya pun tak mungkin abai karena mau seburuk apa pun Mama, beliau tetap ibu kandung saya. Saya wajib berbakti pada beliau."

"Saya tahu, tapi saya capek kalau makan hati terus. Setiap apa yang saya lakukan selalu salah di mata Ibu Anda. Saya diam di kamar, diomeli habis-habisan. Saya bantu-bantu beliau dikomentari, karena Ibu Anda selalu beranggapan kalau saya ini tidak bisa diandalkan. Saya pusing!"

Hamzah tertegun saat melihat sudut mata Hamna mulai mengeluarkan cairan bening. Tak lama dari itu suara isakan mulai menguar. Entah dorongan dari mana, Hamzah spontan memeluk Hamna dan mengelus lembut punggung istrinya.

Hamna tak menolak, dia justru menenggelamkan wajahnya di dada bidang Hamzah. Rasa dongkol dan kesal seolah menghilangkan akal sehatnya, hingga dia tidak sadar sudah melakukan kontak fisik, meskipun hanya sekadar pelukan.

"Maafkan saya ya, Na, bukannya membuat kamu bahagia malah membuat kamu terluka atas perlakuan tidak baik Mama. Maafkan saya, Hamna, saya sudah gagal menjadi pelindung untuk kamu."

Hamna mendongak dan menatap Hamzah beberapa saat. "Saya ingin ke rumah Ibu dan Ayah. Aa tidak usah mengantar saya pulang, saya hanya ingin menenangkan diri."

Hamzah menggeleng kuat. "Saya tidak akan mengizinkan kamu pergi, Na."

Sontak Hamna pun menarik jauh tubuhnya dari rengkuhan Hamzah. "Itu namanya Bapak dzalim terhadap istri sendiri!"

"Pernikahan kita belum ada genap seminggu, masa iya kamu sudah minta dipulangkan? Apa kata orang tua kamu nantinya? Saya sudah berjanji di hadapan Ayah dan jug---"

"Saya hanya pulang satu atau dua hari. Janji nggak akan lebih dari itu," potong Hamna cepat.

"Ya sudah malam ini dan besok kita menginap di rumah orang tua kamu ya. Sekarang kamu siap-siap dulu, saya mau izin sama Mama dan juga Ayah," ungkap Hamzah.

Hamna mengangguk patuh. Setidaknya dia bisa sejenak terbebas dari intimidasi sang mertua.

Hamzah mengelus puncak kepala Hamna lembut sebelum meninggalkan kamar. Hal itu berdampak tidak baik bagi detak jantung Hamna yang tiba-tiba berdebar tak keruan.

"Masa iya masih muda sudah terindikasi penyakit jantung sih. Nggak beres ini!" monolognya lalu bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh wajah.

Dia menatap cermin yang tertempel di dinding, meraba dadanya yang masih saja berdetak kencang. Ada apa dengan dirinya?

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 15 November 2023

Sebenarnya iba sama Hamna, tapi dari cara dia bercerita kok bawaannya malah ngakak 😂🤣✌️

Cukup dulu bab kali ini, disambung lagi di bab berikutnya. Bukan begitu? 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top