RS | Part 10
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tugas kita sebagai manusia hanya berbuat baik, tak usah terlalu memikirkan ihwal timbal balik."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
UNTUK kali pertamanya Hamna makan bersama dengan keluarga Hamzah. Dia cukup menikmati, terlebih hidangan yang tersaji memang sangat memanjakan lidah.
Dia akui, bahwa masakan mertuanya lezat tiada tanding, tapi mulut pedasnya pun tak mau kalah saing.
"Ditambah lagi, Na, yang banyak supaya kenyang. Jangan sungkan-sungkan," tutur Lingga begitu ramah.
Hamna mengangguk. "Iya, Pak, ini juga sudah lebih dari cukup. Alhamdulillah kenyang."
"Panggil Ayah kayak Hamzah, kayak sama siapa saja. Kamu, kan mantu Ayah, Na," ujarnya.
Hamna tersenyum lebar. "Baik, Yah."
Meskipun dia dikaruniai ibu mertua yang kurang baik dan teramat julid, tapi setidaknya ada ayah mertua yang tulus dan mampu menerimanya dengan baik. Setidaknya itu bisa jadi obat sekaligus pelipur lara.
"Za mau tambah ayam goreng lagi, Mama," pintanya pada Hamna.
"Boleh, mau dada atau paha?"
"Haleeza lebih suka sayap, Na," jawab Hamzah memberitahu.
Hamna manggut-manggut lalu mengambilkan potongan ayam sesuai instruksi Hamzah.
"Perkara sederhana saja kamu salah, memang dasarnya kamu itu nggak tahu apa-apa!" omel Anggi jutek.
"Saya ini orang baru dalam keluarga Ibu, jadi wajar kalau banyak yang tidak saya tahu. Harusnya Ibu memaklumi, bukan malah menghakimi."
"Benar apa yang Hamna katakan, seharusnya Mama tidak perlu mempermasalahkan hal sesederhana itu," imbuh Lingga.
"Apa?! Mau ikut bela istri kamu juga, Ham? Berani banget kamu sekarang ngelawan Mama!" ujar Anggi saat melihat Hamzah yang akan angkat suara.
Hamzah menggeleng lemah. "Hamzah bukan mau bela Hamna ataupun membangkang sama Mama. Tapi memang apa yang Hamna dan Ayah bilang itu benar."
Anggi bangkit dari duduknya. "Puas kamu karena sudah merebut simpatik anak dan suami saya, hah?!"
"Saya tidak merebut hak Ibu atas anak dan suami Ibu."
Anggi berdecih. "Lama-lama kamu besar kepala kalau dibela terus!"
Hamna mengukir senyum tipis. "Kalau saya dibela, itu artinya saya benar. Kalau saya salah, pasti akan ditegur."
Anggi tak lagi menjawab, selera makannya sudah hilang. Dia berlalu meninggalkan meja makan.
"Maafkan saya, Yah masih pagi sudah membuat kegaduhan," tutur Hamna sedikit tidak enak.
Lingga mengangguk maklum. "Biasanya Hanin yang berani mendebat Mama, sekarang ada kamu yang kembali ambil peran itu. Nggak papa, sudah biasa juga. Jangan dimasukin ke hati omongan Mama ya, Na."
Hamna hanya manggut-manggut saja.
"Mama itu sebenarnya baik, tapi memang omongannya saklek dan pedas," imbuh Hamzah.
"Pada dasarnya semua orang juga baik, tapi ada syarat dan ketentuan khusus yang harus dipenuhi."
"Lambat laun Mama pasti akan bisa menerima kamu, saya akan berusaha untuk meyakinkan beliau kalau memang pilihan saya tidak salah," katanya diakhiri sunggingan.
"Jangan kasih makan saya janji, nggak akan kenyang soalnya. Muak yang ada!" sahut Hamna disambut gelak tawa Lingga.
"Janji mau semanis apa pun ujungnya pahit juga ya, Na."
"Nah iya bener itu, Yah."
"Mama, Za mau minum," ucap Haleeza meminta perhatian, karena dia merasa diabaikan oleh orang-orang dewasa di sekelilingnya.
"Manja banget cucu Opa, sekarang apa-apa manggilnya Mama. Papanya dilupain tuh," komentar Lingga.
Hamzah tersenyum tipis. "Itu artinya pilihan Hamzah jatuh pada orang yang tepat, Pa."
Lingga terkekeh. "Aura-aura pengantin baru memang sangat kental terasa. Duhh, seharusnya Ayah nggak usah makan di sini, berasa jadi nyamuk."
"Aura apaan, Yah? Aura Kasih atau aura mistis," sahut Hamna.
Lingga menyemburkan tawanya. "Istri kamu nggak mempan dikasih kata-kata romantis, Ham. Agak lain emang."
"Kata-kata romantis nggak bikin kenyang, nggak bisa juga dijadikan jaminan. Saya lebih tertarik dengan transferan," kelakarnya.
"Kode keras minta nafkah itu, Ham."
"Iya, nanti saya transfer," sahut Hamzah santai.
Hamna menggeleng singkat. "Bercanda doang itu."
"Serius juga nggak papa. Itu, kan memang hak kamu dan sudah jadi kewajiban untuk saya."
"Ya sudah kalau maksa, nanti saya kirim nomor rekening saya ya, Paksu."
"Paksu?"
"Pak Suami."
Hamzah geleng-geleng. "Nama panggilan kamu itu aneh-aneh, Na. Dari mulai 'bapak' lha, 'kakang' lha, terus sekarang 'paksu'. Besok-besok apalagi?"
"Suka-suka saya lha!"
Lingga tersenyum penuh arti, dalam hati dia merasa bersyukur atas hadirnya Hamna di tengah-tengah keluarga mereka.
"Rumah ini jauh lebih hangat semenjak ada kamu, Na," cetus Lingga sumringah.
Dia merasa melihat sosok Hanin ada dalam diri Hamna. Perangainya yang riang dan ceria, mampu menghangatkan suasana.
"Bukan hangat, berisik lebih tepatnya," koreksi Hamzah.
Hamna mendengus. "Ish, nyebelin banget sih A Hamzah!"
Lingga dan Hamzah menguarkan tawa, melihat ekspresi sebal yang Hamna tunjukan.
"Za jangan panggil Kak Na dengan sebutan Mama ya," pintanya.
Mata bulat Haleeza mengerjap pelan. "Kenapa?"
"Kak Na berasa tua. Baru 20 tahun masa sudah dipanggil Mama sama anak usia 5 tahun. Padahal Kak Na nikah baru sehari lho."
"Terus Za harus panggil apa?"
Hamna berpikir sejenak lantas kemudian berucap, "Buna aja ya, Za. Supaya nggak terlalu mencolok, dan beda dari yang lain."
Dengan polosnya Haleeza mengangguk patuh.
"Biasanya panggilan 'buna' sepasang dengan panggilan 'buya' bukan begitu, Ham?"
Hamzah mengangguk pelan. "Iya, tapi Hamzah merasa nggak cocok dengan panggilan tersebut. Kalau Hamna mau dipanggil dengan sebutan 'buna' ya nggak papa. Hamzah nggak usah ikut-ikutan."
"Terserah kalian sajalah, atur-atur. Sudah pada dewasa juga, kan?"
"Kenapa minta dipanggil 'buna' padahal, kan sama saja?" seloroh Hamzah penasaran.
"Ya pengin saja. Buna itu singkatan dari Bunda Hamna, lagi pula terlalu standar kalau hanya dipanggil 'mama' ataupun 'bunda'. Saya mau yang anti-mainstream dan beda dari yang lain. Kepo banget sih, mau tahu terus!"
"Kepo sama istri sendiri memangnya salah?"
"Nggak salah, tapi ya Aa nggak perlu tahu semuanya juga, kan?"
Hamzah mengangguk patuh. "Oke, terserah kamu."
"Za mau ikut Buna sama Papa nggak? Kita jajan ice cream," ajaknya begitu antusias.
Haleeza mengangguk semangat. "Mau, Buna, mau!"
Hamna mengacungkan dua jempolnya. "Kita makan ice cream cokelat, terus nanti jajan di pinggir jalan, oke?"
Haleeza berjingkrak kesenangan. "Horeee!"
"Kamu berasa punya dua anak gadis, Ham," tutur Lingga.
"Gelar duda anak dua bukan sesuatu yang memalukan juga, kan, Yah. Bukan begitu A Hamzah?"
Hamzah hanya berdehem lalu meneguk kopi hitam tanpa gula buatan sang ibu hingga tandas.
"Kita harus list jajanan apa saja yang nanti akan kita beli. Yuk, Za ikut Buna ke kamar buat ambil pulpen sama buku catatan," ajak Hamna tanpa dosa seraya menggandeng tangan anak sambungnya.
Hamzah memijat pelipisnya. "Risiko menikahi perempuan yang masih muda mungkin ini ya, Yah. Inner child-nya masih menggebu-gebu."
Lingga tertawa puas. "Kamu sudah komit dengan Hamna, ya kamu harus bisa menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Lagi pula, mau sedewasa apa pun seorang perempuan, pasti akan tetap memiliki inner child. Sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab ya kamu harus bisa memenuhi hal tersebut."
"Iya juga sih, Yah."
"Kalian masih dalam tahap penjajakan, dan sebelumnya kalian pun tidak begitu mengenal. Maka manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk saling mengenal pribadi masing-masing."
Hamzah mengangguk paham.
"Hamna itu masih muda, jiwa anak-anaknya pasti masih ada, tapi dia cukup dewasa dengan pemikirannya."
Lagi-lagi Hamzah mengangguk setuju.
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 13 November 2023
Backingan Hamna bukan main, ayah mertuanya sendiri cuy 🤣😅 ...
Masih mau lanjut guys?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top