RS | Part 9

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

PENASARAN dengan apa yang ditonton sang istri, Hamzah pun mengintip layar gawainya. Dia tersenyum saat mendapati Hamna tengah melihat potongan dari kajian online yang bertebaran di sosmed.

"Kamu ini nonton kajian tapi kok senyum-senyum sendiri. Kenapa sih, Na?" tanyanya.

Hamna pun melirik sekilas, melepas headset bluetooth yang menempel apik di telinga lalu berkata, "Saya lagi scroll reels eh nemu video ini. Aa mau dengerin nggak?"

Hamzah pun mengangguk, lalu Hamna menyalakan dengan volume yang besar. Mereka menyaksikan potongan kajian berdurasi 1 menit tersebut secara bersama-sama.

"Kalau ditontonnya bareng sama Mama pasti seru ya, A?" ocehnya saat setelah selesai menyaksikan video singkat tersebut.

"Bukan seru, tapi nyari penyakit namanya."

Hamna tertawa tanpa dosa. "Berasa ada yang bela kalau saya nonton ceramahnya Mamah Dedeh. Cocok banget kalau beliau diangkat jadi duta pembela menantu-menantu kurang beruntung."

"Aa nggak menapik fakta, pada nyatanya menantu dan mertua emang nggak bisa hidup berdampingan kalau dua-duanya sudah beda aliran. Kamu dulu pernah bilang, kan 'Mama itu baik, tapi ...,' baiknya mertua itu selalu diikuti dengan kata 'tapi'. Betul?"

"Iya emang, kenapa? Aa kesinggung?"

Hamzah menggeleng. "Nggak, karena Aa sadar kalau Mama sama kamu sama-sama keras kepala dan ngeyel. Aa nggak ada di pihak mana pun. Repot, kalau dihadapkan dengan pilihan antara istri atau ibu. Kalian punya tempat masing-masing, dan seharusnya nggak usah saling bersinggungan satu sama lain."

"Ngomong doang sih gampang, tapi praktiknya? Aa kayak nggak tahu Mama aja, kentara banget beliau itu takut kesaing sama saya. Padahal, saya juga sadar diri, sekarang saya lebih suka ngalah, kan sama Mama?"

Hamzah mengangguk paham. "Iya, sekarang kamu kalau diomelin Mama lebih banyak manut-manut, nggak nyela kayak dulu pas awal-awal kita nikah. Tapi, itu juga kalau kamunya lagi sadar, kalau lagi kesambet nggak jarang kalian suka tempur dan adu mulut."

Hamna meringis kecil. "Emang bowleh sejujur itu, A?"

Hamzah terkikik dibuatnya. "Jujur jauh lebih baik."

"Untung saya hanya diuji oleh mertua, nggak diikuti oleh pengikutnya," ujar Hamna.

"Pengikutnya gimana, Na?"

"Semacam ipar, bibi, dan uwa yang punya sifat sejenis kayak Mama. Satu aja ngerusak mental, apalagi kalau banyak. Alhamdulillah, masih bersyukur saya."

Hamzah menahan senyumnya seraya geleng-geleng kepala. "Udah, Na, udah, kamu jangan terlalu ambil hati omongan dan omelan Mama."

Dia pun mengangguk tanpa ragu. "Aa aja bahagia. Seneng, kan punya istri keras kepala dan ngeyel kayak saya? Kenapa Mama yang repot," sahut Hamna begitu jumawa.

"Bahagia, Na, bahagia banget saya punya istri kayak kamu."

"Antara ekspresi muka sama ucapan nggak sinkron. Kelihatan kepaksa banget bilang bahagianya!"

"Emang harusnya ekspresi muka saya bagaimana, Nona?"

Dipanggil 'nona' mendadak salting Hamna. Memang paling bisa, sekarang Hamzah sudah tahu cela untuk membuatnya baper dan mati kutu.

"Tahu ah!" Akhirnya hanya dua kata itulah yang keluar dari mulut perempuan hamil tersebut.

Hamzah geleng-geleng kepala. "Saat saya menjawab qobul, saat itu juga saya sudah menerima kamu secara sepaket. Saya terima cerewetnya, saya terima ketusnya, saya terima judesnya, saya terima ngeyelnya, saya terima keras kepalanya, saya terima---"

"Ish, kok yang diterima yang jelek-jelek semua sih. Emang nggak ada yang bagusan dikit apa dari diri saya?!" potong Hamna sebal.

"Justru yang paling pertama harus saya terima ya kekurangan yang ada pada diri kamu, kalau saya bisa menerimanya berarti saya sudah berhak untuk menerima segala kelebihan kamu," terangnya.

"Ini tuh termasuk dalam kalimat 'tidak langsung', bilang aja secara gamblang, kalau saya nggak ada lebihnya, kan?"

"Bukannya kamu ya, Na yang suka sekali menggunakan kalimat 'tidak langsung', kenapa sekarang jadi menyudutkan saya?"

"Kapan? Perasaan nggak pernah."

Hamzah pun berdecak. "Baru aja tadi bilang gini, 'Pulang kuliah tapi di rumah nggak ada apa-apa, mana lapar lagi.' itu apa coba? Padahal saya tahu kalau maksud kamu minta dimasakin, kan. Apa susahnya sih bilang, 'Aa minta tolong masakin bisa?' kadang saya tuh heran. Kok perempuan suka banget kayak gitu."

"Kalau saya langsung to the point, kesannya saya nyuruh-nyuruh suami," sangkalnya.

"Kamus perempuan itu memang sukar untuk dipahami, sekalipun sudah dibaca berulang kali."

"Makanya jadi suami harus peka, Aa!"

Hamzah mengangguk patuh. "Siap, Nona, saya akan berusaha untuk lebih peka lagi."

"Oh, ya tadi paket saya baru datang lho. Saya beli sesuatu untuk Aa," katanya begitu sumringah.

Hamzah memasang wajah antusias, walau pada nyatanya dia tidak begitu suka hal-hal semacam ini. Namun, guna membahagiakan sang istri, apa pun akan dilakukan.

"Apa itu?"

"Tunggu sebentar," katanya lalu mencari sesuatu yang ada di dalam nakas samping tempat tidur.

"Kemeja, lagi?" tanyanya saat sudah membuka paket yang diberikan Hamna.

Hamna mengangguk semangat. "Aa nggak suka ya?"

"Bukannya nggak suka, tapi harus banget ya warnanya ungu seperti ini? Kamu salah beli kali, ini kemeja perempuan, kan?"

Sebuah gelengan Hamna berikan. "Itu bukan warna ungu, tapi warna lilac. Bedain atuh, Aa, terus itu juga kemeja cowok. Dari modelnya aja udah kelihatan ih."

"Sejak kapan kamu suka warna-warna feminim seperti ini? Perasaan dulu nggak deh, malah koleksi baju kamu didominasi warna-warna gelap semua."

"Nggak tahu, lucu aja. Saya pengin lihat Aa pake kemeja ini besok ya."

"Ini, kan belum dicuci, Na."

"Bukan baju baru namanya kalau dicuci dulu."

Mereka memang memiliki banyak sekali perbedaan, termasuk dalam hal sekecil ini pun. Hamna yang jika beli pakaian baru langsung dipakai, sedangkan Hamzah yang harus selalu dicuci dahulu. Dan biasanya muncul perdebatan dari sesuatu remeh seperti ini.

"Jangan berdalih kalau ini bagian dari ngidam ya? Hamil udah tujuh bulan, masa iya masih ngidam," cetus Hamzah menatap penuh waspada.

Dia sudah sangat trauma dengan segala bentuk ngidam Hamna yang selalu berhasil membuatnya pusing kepala.

"Nggak, sok tahu banget sih. Ya, kepengin aja gitu lihat Aa tampil beda. Cakepnya nambah atau nggak."

Hamzah mendelik. "Nggak usah modus pake segala muji-muji saya ya, Na."

"Enggak ih, kepedean!"

Hamna menempelkan kemeja tersebut di depan tubuh sang suami. "Coba Aa tebak berapa harganya?"

Lelaki itu menggerutu dalam hati. Dia paling malas kalau sudah ditanya seperti ini. Dijawab kemurahan istrinya suka mendadak marah, dijawab tidak tahu malah jauh lebih parah, biasanya untuk mengamankan diri dia memilih untuk menebak dengan harga tinggi.

"Hm, kayaknya sih 200-an ya?"

Hamna menggeleng seraya tersenyum. "Aa salah ih, ini tuh under 100 lho. Bahannya bagus, kan? Saya dapat diskon potongan harga tahu, A."

"Oh, ya? Pinter banget sih istri Aa kalau cari diskonan," pujinya.

Hamna semakin melebarkan senyumnya. "Jangan lupa besok dipakai buat ngajar ya?"

Hamzah menurut dan mengangguk.

Membahagiakan seorang istri itu sederhana, asal kita tahu celanya. Itulah yang selalu dia usahakan, meskipun masih meraba-raba dan tidak betul-betul tahu 'kamus perempuan'. Namun, sebisa mungkin dia belajar dan berusaha lebih keras, agar mood sang istri yang naik turun senantiasa stabil.

BERSAMBUNG

Padalarang, 04 Januari 2024

Alhamdulillah akhirnya bisa up juga setelah libur berhari-hari 🤧 ... Maaf ya, guys lagi agak hectic emang, terus juga dikejar dl untuk merevisi naskah Banafsha. Jadi, tolong dimaklumi ya ☺️

Btw, Banafsha versi cetak lagi OPOR nih. Kuyy, yang mau order bisa langsung hubungi aku ya 🤭☺️

Kalau ada typo tolong dikasih tahu.

Supaya konsisten dan berasa punya tanggung jawab. Aku target lagi ya, hehe 🤭

Part 10 = 20 VOTE + 20 KOMENTAR

Masih mau digasskeun?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top