RS | Part 5

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

ANGGI geleng-geleng kepala melihat kekacauan di rumah anak serta menantunya. Barang-barang dibiarkan berserakan begitu saja di lantai. Dia yang memang tidak biasa, mendadak dilanda rasa pening.

"Ini kalian lagi ngapain sih, hah?"

"Kita lagi declutturing sekaligus organizing, Ma," sahut Hamzah.

"Untuk apa? Rumah tangga baru jalan setahun lebih juga. Emang sebanyak apa barang dan perabotan kalian?"

"Supaya kita lebih mudah nyari barang, Ma, terus juga supaya lebih tertata rapi agar setiap barang memiliki 'rumah' masing-masing perkategorinya."

Anggi mengangguk singkat lalu berucap, "Tapi kasihan lho, Ham istri kamu ini lagi hamil besar, malah kamu minta buat beres-beres. Nyuruh orang atau kamu kerjain sendiri, kan bisa."

"Nggak papa, Ma, kata dokter juga harus lebih banyak gerak dan jangan rebahan atau duduk terus. Kegiatan bersih-bersih rumah juga jadi salah satu bentuk ikhtiar supaya aku bisa lahiran normal," sahut Hamna membela sang suami.

Ada sedikit rasa bersalah yang menyusup di hati Hamna, tapi hal semacam ini sudah jadi kesepakatan bersama. Hamzah akan lebih merasa lega kala dia dinistakan oleh ibu kandungnya, ketimbang harus melihat sang istri yang disudutkan.

Hamna merupakan tanggung jawabnya, dan dia memiliki kewajiban untuk menjaga nama baik istrinya. Itulah mengapa dia selalu berusaha agar sang istri, tidak lagi merasakan pahitnya dimusuhi oleh mertua sendiri.

Perkara diomeli sudah biasa bagi Hamzah, dia tak terlalu menganggapnya sebagai suatu masalah.

"Tapi jangan sampai kelelahan ya, Na, inget lho, kamu itu hamil kembar. Setahu Mama lebih gampang merasa capek," sela Anggi penuh perhatian.

"Insyaallah aman kok, Ma, kalau emang udah capek aku mau langsung istirahat."

Anggi pun mengangguk paham, dia tak tinggal diam, tangannya sangat gatal untuk segera membereskan kekacauan. Alhasil mereka bertiga saling bekerja sama untuk merapikan barang-barang yang ada.

Setelah melakukan pemilahan (declutturing), barang disimpan ke dalam box organizer yang memang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh Hamzah. Barang dibagi ke dalam beberapa kelompok seperti, simpan (keep), donasi (donation), jual (sell), dan buang (trash).

"Yang itu jangan dibuang atuh, Aa, saya mau pakai nanti," larang Hamna saat melihat suaminya hendak memasukkan beberapa wadah ice cream bekas pakai ke dalam box bertuliskan trash.

"Dari dulu kamu itu selalu bilang mau dipakai nanti, tapi sampai barangnya berdebu dan numpuk di bawah kabinet meja kompor nggak pernah kamu sentuh. Heran saya sama hobi kamu yang suka sekali koleksi wadah plastik bekas tapi nggak kunjung dipakai. Buat apa sih, Na?"

"Suatu saat pasti akan kita butuhkan, jadi nggak usah dibuang ya."

"Ini sampah, Na, kita punya cukup banyak tupperware untuk kamu gunakan. Nggak harus menyimpan ini semua," sangkal Hamzah.

"Kamu ini, Ham, nggak pernah berubah dari dulu. Kalau beres-beres suka banget asal buang, dasar!"

Mendengar hal tersebut, Hamna merasa ada yang membela. "Nah bener tuh apa yang Mama bilang, A Hamzah itu kalau lagi beres-beres mode sadisnya keluar. Dulu juga pernah tuh cilor aku dibuang, padahal baru dimakan satu biji doang."

"Itu salah kamu, Na, sudah tahu masih mau dimakan tapi kenapa kamu letakkan asal di lantai? Ya saya ngiranya itu memang jatuh dan belum sempat kamu buang, jadi saya inisiatif lebih dulu."

"Anak pertama kalau lagi beres-beres emang gitu, Na. Pokoknya kalau barang itu nggak berguna bagi dia, ya opsi paling tepat ialah dengan cara membuangnya," cetus Anggi.

"Dulu juga pernah tuh, saya lupa naro kunci rumah. Ehh, bukannya dibantu buat nyariin, malah diceramahin panjang lebar dong. Setelah saya putus asa, itu kunci baru dikasih ke saya, nggak lupa dengan dibarengi kultumnya."

"Kamu yang sembarangan, kunci rumah malah kamu simpan di dalam keresek hitam berisi sampah. Untung nggak langsung saya buang, harusnya kamu bilang makasih sama saya, Na," bela Hamzah.

"Itu bukan keresek sampah ya, A Hamzah. Isinya jajanan saya, belum habis semua malah Aa buang ke tong sampah. Sumpah, itu ngeselin banget!"

"Ya salah kamu, sudah tahu masih mau dimakan tapi sampah bungkusnya malah kamu satukan sama jajanan yang belum kamu buka sama sekali. Jorok tahu."

Anggi berdecak seraya menutup kedua telinganya. "Ini kenapa kalian malah ribut depan Mama sih?"

"Makanya kamu harus bisa lebih rapi lagi, jangan terlalu berantakan, Na."

"Aa tuh yang rapinya keterlaluan, apa-apa harus tertata sempurna!"

"Lha, malah berlanjut. Udah ah, Mama mau pulang, kalian selesaikan ini semua berdua lengkap dengan adu mulut kalian juga harus selesai sekarang. Za, Oma pulang dulu ya, Sayang," ujar Anggi lebih memilih untuk pamit undur diri.

Sebelumya dia menyempatkan untuk berpamitan pada sang cucu yang tengah asik menonton serial Upin dan Ipin, tanpa sedikit pun terusik dengan perdebatan yang tengah dilakoni orang tuanya.

"Aa beresin sendiri deh, mendadak hilang mood saya!" katanya lalu bangkit berdiri.

"Mendadak hilang mood atau karena Mama udah nggak ada, hm?"

"Dua-duanya!" sahut Hamna lantas ikut bergabung bersama Haleeza.

"Za dapet keripik singkong ini dari siapa? Kok Buna nggak tahu."

Haleeza menoleh sekilas. "Tadi Za beli di pinggir jalan sama Oma. Enak, kan Buna?"

"Enak sih, tapi kurang pedas, Za."

"Ini, kan rasa balado, Buna."

"Gitu ya?"

Haleeza hanya manggut-manggut saja. "Kapan sih Buna Ipin punya rambut? Kasihan tahu kalau botak terus."

"Lebih bagus botak tahu, Za, dulu, kan pernah tuh si Ipin ada rambutnya eh malah serem menurut Buna."

"Iya, ya, Za sampai lupa. Ish, itu Kak Ros-nya marah-marah terus. Nanti kalau adik bayi kembar lahir, Za nggak akan kayak Kak Ros deh, Buna. Za janji."

Hamna mencomot keripik singkong lalu mengunyahnya secara rusuh. "Pinternya anak, Buna. Nanti adik bayinya Za jaga dengan baik ya?"

Haleeza mengangguk mantap. "Siapp, Buna."

Hamzah geleng-geleng melihat interaksi di antara istri serta putrinya. Mereka itu memang satu selera, baik soal makanan maupun tontonan. Keduanya lebih cocok menjadi kakak beradik dibanding sepasang ibu dan anak.

Namun, dia merasa sangat bersyukur karena kehadiran Hamna menambah warna baru di hidup Haleeza. Meskipun dia harus lebih banyak mengelus dada, kala sifat kekanak-kanakan Hamna muncul bersamaan sebagaimana Haleeza.

Dia akan mendadak jadi seorang duda beranak dua.

"Upin sama Ipin kasihan ya, Buna," katanya seraya melirik ke arah Hamna.

"Kasihan kenapa, Za?"

"Mereka cuma punya Oma sama Kak Ros, nggak punya Papa sama Buna kayak Za."

Hamna sedikit termenung, dia pun tersenyum lembut seraya mengelus puncak kepala Haleeza. "Justru Upin sama Ipin itu anak yang spesial. Orang tua mereka ada, tapi nggak di sini, melainkan di surga sama Allah dan para malaikat."

"Gitu ya?"

Hamna mengangguk singkat lalu merangkul bahu Haleeza penuh sayang.

"Surga itu apa sih, Buna?"

"Surga itu tempat paling indah yang kekal abadi, hanya orang-orang terpilih yang bisa menempatinya. Pokoknya kalau kita di surga, mau apa pun pasti ada, masyaallah banget deh, Za."

"Kalau gitu Za mau ke surga."

"Aamiin tapi nanti, nggak sekarang."

"Kenapa gitu?"

"Emangnya Za tega mau ninggalin Buna sama adik bayi?"

Haleeza menggeleng kecil. "Za mau ke surganya bareng Buna sama adik bayi juga kok."

Tanpa sepengetahuan Hamzah berbisik tepat di samping telinga Hamna, "Secara nggak langsung Haleeza mau ngajak kamu mati sama-sama itu, Na."

Hamna mendelik dan mencubit keras pinggang sang suami. "Sembarangan!"

Sang dalang, justru tertawa terpingkal-pingkal. Mengabaikan wajah masam Hamna yang sudah seperti singa yang siap untuk menerkam.

Hamna mengecup gemas kedua pipi Haleeza. "Sudah ah, jangan bahas surga terus. Sekolah Za sekarang gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana, Za seneng punya banyak temen."

BERSAMBUNG

Padalarang, 11 Januari 2023

Maaf banget ini baru sempat up, aku baru check lapak ini soalnya, dan ternyata sudah memenuhi target dari beberapa hari lalu. 🙃😅

Yuk diramaikan dulu kolom komentarnya, insyaallah besok double up kalau ramai. 🤭✌️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top