RS | Part 4
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
ORANG-ORANG kerapkali mendamba sosok pendamping yang sempurna, tanpa cacat dan cela. Seakan lupa, dan tidak berkaca bahwasannya dia pun memiliki sisi kurang yang mungkin tidak bisa dengan mudah diterima oleh pasangannya kelak.
Pernikahan bukan ajang tentang berlomba-lomba untuk terlihat bahagia dan sempurna, seolah ingin memamerkan pada khalayak ramai ihwal kata 'ideal' yang kerapkali diagung-agungkan.
Karena nyatanya 'ideal' saja tidaklah cukup. Pondasi rumah tangga harus dikokohkan setiap harinya, dirawat dengan penuh kasih dan cinta, agar tercipta sakinah, mawadah, dan warahmah tentu saja.
"Meng-organize barang adalah sebuah tutorial menyusahkan diri sendiri," komentar sang istri yang lebih memilih untuk duduk nyaman di sofa seraya menonton televisi.
"Menyusahkan saya, tapi memudahkan untuk kamu."
"Saya, kan nggak nyuruh!"
Hamzah menghela napas singkat. "Memang, tapi saya bosan kalau setiap pagi harus mendengar suara teriakan kamu, cari inilah, itulah, apalagi kalau kita pas sama-sama hectic."
Hamna mengelus perut buncitnya sebelum berujar, "Aa, kan tahu saya ini orangnya berantakan."
"Maka dari itu saya yang mencoba untuk membenahi, supaya kita sama-sama enak. Nggak harus ribut dan adu mulut hanya karena hal sepele."
"Iya, iya, deh, terserah Aa saja toh yang ribet juga Aa, kan?"
Hamzah mengangguk singkat. "Iya, kamu lebih baik duduk manis di sana. Yang anteng, jangan tantrum dan ganggu saya."
Seketika itu juga Hamna mendelik tajam. "Emangnya saya bocah apa? Tantrum Aa bilang?!"
"Ada yang salah?"
Hamna mendengus sebal. "Amit-amit jabang bayi, jangan sampai anak-anak saya mirip bapaknya. Nyebelin banget emang Aa ini!"
Tanpa dosa Hamzah malah tertawa puas. "Malah bagus kalau mirip bapaknya, jadi orang-orang nggak akan mempertanyakan itu anak siapa. Yang bahaya itu kalau anak-anak saya mirip tetangga, bukan begitu?"
"Enak saja, ya harus mirip saya, lha. Saya yang ngandung selama sembilan bulan, ngelahirin mereka, terus nyusuin juga. Saya yang lebih banyak berjuang, berkorban, dan berkontribusi!"
"Makanya kamu jangan kentara banget kalau ada hal yang nggak disukai dari saya. Biasa-biasa saja," sahut Hamzah enteng.
"Nggak segampang itu kali!"
"Ya, sudah kalau gitu siapkan mental dari sekarang kalau benar anak-anak saya plek ketiplek Hamzah banget."
"Dih, ngarep!" sahutnya seraya melempar keripik kentang yang tengah dia nikmati.
Hamzah memungut keripik kentang yang jatuh tepat di depannya, lalu membuang ke tempat sampah. "Kamu ini, Na, kalau emang mau ngasih ya disuapi suaminya, bukan malah dilempar asal kayak gitu. Caranya gini nih, Na," katanya tanpa izin memegang tangan kanan Hamna lalu memasukan dua potong keripik kentang ke dalam mulutnya sendiri.
Hamna mendelik tak terima. "Dihh, modusnya bisa banget ya. Mana jorok lagi!"
"Membersihkan jari dengan cara seperti ini termasuk sunnah, Na. Bukan jorok," ralat Hamzah diakhiri cengiran khas.
"Sunnah kalau itu tangan sendiri, ini, kan tangan saya A Hamzah!"
"Protes mulu perasaan kamu, Na."
Dengan sebal Hamna mencubit pinggang suaminya. "Makanya jangan modus terus!"
Hamzah mengaduh kesakitan, dan memegang bekas kekejaman sang istri. "Ini termasuk tindak KDRT tahu, Na. Saya bisa visum."
Hamna mendelik tajam. "Bodo amat, nggak peduli saya!"
"Haleeza mana? Katanya mau dianterin pulang sama Mama, kok belum datang juga sampai sekarang."
"Mama biangnya sore, ini masih termasuk siang, Hamna."
"Saya bilang juga apa, lebih baik kita jemput ke sana. Aa sih manggut-manggut saja pas Mama bilang beliau yang nganter, lama, kan. Saya sudah kangen tahu sama Haleeza."
Hamzah meneguk air dingin yang ada di meja terlebih dahulu lalu berujar, "Saya itu kasihan lihat kamu kelelahan habis foto maternity. Lagi pula kamu baru bangun tidur, Na, salat Zuhur saja telat karena saya nggak tega buat bangunin kamu yang kelihatan pules banget. Ini baru jam dua, biarin atuh Haleeza di rumah Mama dulu, nanti jam lima saya jamin Haleeza sudah ada rumah."
"Ish, itu, kan minum saya kenapa celamitan banget sih. Aa nggak jijik apa minum bekas orang lain? Heran deh!" protes Hamna malah salah fokus.
Bukannya menanggapi ucapan sang suami, dia justru mengomel atas tindakan yang dilakukan oleh suaminya.
"Sunnah, Na, sunnah."
"Ngeri saya kalau Aa berdalih di balik kata sunnah terus."
"Emang kenapa? Ada yang salah?"
Hamna mengangguk semangat. "Ada banget, lha, sekarang lagi musim tuh laki-laki yang nggak cukup sama satu perempuan terus nikah diam-diam, dengan dalih mengamalkan sunnah."
"Astagfirullah, kamu ini sembarangan banget, Na. Sunnah itu ada banyak, kenapa pikiran kamu malah condong ke sana?"
"Isi otak laki-laki kebanyakan, kan kayak begitu, perempuan dan nafsu yang diutamakan."
Hamzah menggeleng tegas. "Dari sekarang sampai seterusnya istri saya akan tetap satu, dan itu hanya kamu."
"Oh, ya?" sahutnya seraya memasukan keripik kentang ke dalam mulut.
Tentu saja dia langsung mengangguk mantap.
"Kalau gitu pijitin kaki saya atuh, kok mendadak pegel ya?"
Hamzah mengangkat satu alisnya. "Ish, ternyata ujung-ujungnya minta pijit. Sudah muter ke sana-kemari bahas ini, bahas itu, tahunya minta dipijitin. Dasar kamu, Na, emang paling bisa modusin saya."
"Nggak modus ih, kaki saya seriusan pegel."
Hamzah menurut, dia turun dari sofa dan duduk lesehan di atas lantai. Lalu mulai memijat kaki istrinya. "Ini kaki kamu bengkak atau gimana, Na? Perasaan dulu nggak sebesar ini deh."
Tanpa ampun Hamna menggeplak bahu suaminya. "Efek hamil itu, jadi melar semua tubuh saya!"
Hamzah terkekeh pelan. "Maaf, kirain bengkak, kalau emang iya mau saya rendam pakai air hangat supaya kamu lebih nyaman."
"Agak bawah dikit, A, pake tenaga juga jangan dielus-elus doang," komplainnya.
"Yang ini? Segini cukup?" tanyanya memastikan.
Hamna mengangguk, dia semakin menyadarkan tubuhnya pada sofa, bahkan matanya sudah terasa berat lagi. Semenjak hamil, dia jadi mudah sekali mengantuk.
"Assalamualaikum, Ham, ini Mama," teriak Anggi seraya mengetuk pintu.
Kedua mata Hamna terbuka sempurna. "Ada Mama di luar," ujarnya heboh.
Hamzah bangkit dari posisi duduknya, hendak membuka pintu tapi ditahan oleh Hamna.
"Apa?"
Mata Hamna menatap ke sekeliling, di mana banyak barang-barang yang berserakan karena kegiatan berbenah Hamzah yang belum tuntas.
Hamzah membantu Hamna untuk berdiri, lalu meminta istrinya untuk duduk lesehan di lantai. "Cosplay jadi mantu idaman yang suka beres-beres dulu sana. Saya mau buka pintu."
Hamna tersenyum dan menunjukkan dua jempolnya. "Mantap Suamiqu!"
Sedangkan Hamzah hanya geleng-geleng melihat kelakuan istrinya.
Namanya juga rumah tangga, harus saling melengkapi dan menutupi kekurangan, bukan? Begitulah, Hamna yang piawai sekali berlakon supaya terlihat idaman di mata mertuanya.
Beruntunglah dia karena memiliki suami seperti Hamzah yang begitu pengertian dan sangat peka. Bahkan, jadi garda terdepan agar istrinya dipandang baik oleh sang mama. Hal semacam ini, sudah jadi kebiasaan yang entah sampai kapan akan terus berulang.
"Katanya mau antara Haleeza sore, Ma?" cetus Hamzah saat sudah mempersilakan ibunya masuk.
"Haleeza minta pulang, jadi Mama anterin deh."
Pandangan Hamzah kini beralih pada putrinya.
"Za kangen sama Buna, Papa," katanya lantas berlalu begitu saja untuk menghampiri Hamna.
Haleeza langsung memeluk Hamna, mendaratkan banyak kecupan di wajah ibu sambungnya. "Za kangen berat sama Buna."
Hamna terkekeh kecil. "Buna juga sama."
"Perasaan ni ya, setiap kali Mama ke sini, rumah kalian itu selalu berantakan. Kamu juga, bantuin Hamna itu lagi beres-beres, jangan malah asik nonton tv sendiri," tegur Anggi.
Hamna mati-matian menahan tawa. "Nggak papa kok, Ma."
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 07 Desember 2024
Tutorial jadi menantu idaman secara instan begitu, ya, Na? Dengan cara menistakan suami sendiri. 😂🙏
Makasih udah kasih aku jeda satu hari 🤣🤭 ... Selamat membaca deh 🤗
Part 5 = 15 VOTE+ 15 KOMENTAR
Gaskennn?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top