RS | Part 3

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

HAMNA menggigit bibir bawahnya saat baru saja keluar dari kamar mandi. Dia mendadak malu untuk bertemu Hamzah, hanya karena hal sepele dia sampai menangis tersedu-sedu.

Yang tadi itu bukan dia banget!

"Aa," panggilnya meminta perhatian Hamzah yang tengah men-setting kamera.

"Kulan, Geulis," sahutnya seraya menoleh ke sumber suara.

Tungkai Hamna semakin terkunci rapat, terlebih saat mendengar sahutan lembut nan halus dari suaminya. Biasanya dia akan kegelian atau merinding, tapi kenapa sekarang malah blushing.

Jika di Jawa punya 'dalem' yang bisa membuat kaum hawa menjerit kesemsem. Maka di Sunda pun ada 'kulan' yang bisa berdampak serupa. Setiap daerah memang memiliki ciri khas tersendiri, bukan?

"Muat dressnya? Nyaman? Nggak buat perut kamu sakit, kan? Napasnya lancar? Nggak engap lagi?" tanya Hamzah beruntun.

"Satu-satu atuh kalau nanya, bingung saya mau jawab yang mana dulu!"

Hamzah terkekeh lalu menarik tangan istrinya. "Coba kamu duduk di tengah ranjang, kepala kamu bersandar di headboard."

Hamna menurut tanpa banyak protes.

Hamzah hanya mengambil dua gambar sebagai uji coba, lalu dia menghampiri Hamna. "Rambutnya kalau diikat bagus kayaknya, Na. Kuncir kuda ya kayak Haleeza."

Hamna menyerahkan sisir serta ikat rambut yang ada di nakas samping tempat tidur, dan dengan telaten Hamzah menata apik rambutnya.

"Saya mendadak curiga sama Aa, cosplay jadi MUA bisa, jadi fotografer apalagi, nggak usah ditanya itu, terus sekarang mendadak jadi hair do juga. Ada berapa perempuan yang jadi bahan uji coba?"

Hamzah tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu ini, Na, ya nggak ada, lha. Kalau soal ngiket rambut doang sih gampang. Lupa kamu, saya ini punya anak perempuan, ya wajar kalau saya bisa melakukannya."

"Haleeza, kan lebih suka pake kerudung. Jangan coba-coba ngibulin saya deh!"

"Saat usia Haleeza dua atau tiga tahun gitu, dia lebih suka kunciran daripada kerudungan. Jadi, saya belajar pelan-pelan dan ngikutin tutorial dari Mama."

"Iya, deh, iya. Ngomong-ngomong kapan Haleeza pulang? Perasaan sekarang sering banget nginep di rumah Mama."

"Haleeza lagi aktif-aktifnya, Na, Mama khawatir kalau terlalu lepas tangan dan biarin kamu handle Haleeza sendirian. Mama takut kamu kecapekan, mana kamu hamil kembar, jadi kayaknya emang Haleeza akan stay lebih lama di rumah Mama."

"Padahal saya nggak papa, saya kesepian tahu. Biasanya pulang ngampus main sama Haleeza, akhir-akhir ini udah nggak. Aa juga sibuk banget di kampus, pulangnya telat mulu. Baru sekarang nih dapet jatah libur."

"Maaf ya, Na, saya coba atur waktu lagi supaya punya banyak waktu sama kamu. Nanti Haleeza juga kita jemput ya," sahut Hamzah menghibur.

Hamna pun mengangguk singkat.

"Hasil USG minggu lalu jenis kelaminnya perempuan semua, beda sama waktu pertama kali kita USG jenis kelamin dua bulan lalu."

"Mau sepasang ataupun satu gender ya harus disyukuri. Yang penting itu kalian sehat sampai lahiran nanti," sahutnya menenangkan.

"Mama gimana? Kalau saya gagal memberikan beliau cucu laki-laki apa nggak marah?"

Hamzah merangkul pundak Hamna. "Mau perempuan, mau laki-laki sama aja, Na. Mereka adalah darah daging kita, cucu Mama. Kamu nggak usah mengkhawatirkannya."

Hamna menatap perutnya dan mengelus lembut. "Saya takut Mama akan kembali nggak suka sama saya, atau parahnya akan membenci anak-anak saya."

Dikecupnya pelan pelipis sang istri. "Hilangkan pemikiran seperti itu. Saat mendengar kabar kehamilan kamu aja Mama senangnya bukan main, kan? Beliau sampai mengadakan syukuran besar-besaran. Terkait gender, nggak usah kamu bawa beban."

"Sudah ah, katanya mau foto. Kenapa malah mendadak melow. Kamu duduk bersila di tengah-tengah ranjang coba, tangannya megang perut sama hasil USG ya."

Hamna pun menurut sesuai instruksi.

"Lihat kamera, senyumnya mana, Na."

Perempuan itu pun menarik lepas kedua sudut bibirnya. Hamzah menatap puas, saat melihat hasil yang cukup memuaskan.

Dia meletakkan kamera pada tripod, lalu men-settingnya sejenak. Setelah selesai barulah dia ikut naik ke atas ranjang.

Merebahkan tubuh tepat di depan Hamna, dengan kepala ditopang oleh salah satu tangan, sedangkan tangan lainnya memegang perut buncit sang istri. Dia mengalihkan pandangan ke arah kamera dan tersenyum lebar ke sana.

"Masih kuat duduk bersila? Pegel nggak? Mau ganti posisi dulu?" tanyanya.

"Aman, cuman punggung saya agak sedikit panas aja. Tapi nggak papa kok."

Tanpa disuruh Hamzah langsung mengelus punggung istrinya, setelah memastikan sang istri merasa cukup nyaman barulah mereka melanjutkan sesi pemotretan.

"Mau foto kayak orang-orang, Aa berdiri di belakang saya, terus tangannya pegang perut saya," pinta Hamna.

Hamzah mengangguk setuju, dia menuntun Hamna untuk turun dari ranjang. Mencari spot yang sekiranya cocok, dan pilihannya jatuh pada pojok ruangan samping jendela. Seperti biasa, dia men-setting kameranya terlebih dahulu, lalu mulai untuk ber-pose.

Berbagai macam gaya mereka lakoni, hingga entah sudah berapa banyak potret yang keduanya abadikan. Saat ini mereka tepar di ranjang, terlebih Hamna yang memang mudah sekali merasa lelah.

"Foto maternity-nya lebih banyak yang nggak pake kerudung ya. Ada yang pake kerudung, tapi pake legging ketat, mana boleh kalau dipajang di ruang tengah," ungkap Hamna seraya melirik ke arah Hamzah.

"Kan kamu yang mau, Na, katanya kalau pake abaya sama kerudung lebar baby bump kamu nggak akan terlihat jelas."

"Foto maternity lagi aja nanti, pas usia kehamilan saya udah delapan bulan. Pake abaya juga pasti akan keliatan jelas. Mau, kan, A?"

Hamzah mengangguk pelan. "Boleh, asalkan kamunya sehat."

"Kamu jangan kelamaan tidur terlentang kayak gini, nggak baik. Miring kiri coba, itu posisi yang paling dianjurkan dokter," titah Hamzah seraya membantu istrinya untuk mendapatkan posisi ternyaman.

Dia menopang bagian tubuh belakang Hamna dengan bantal, bahkan di antara dua kaki istrinya juga sengaja diletakkan bantal.

"Nanti kita beli bantal khusus untuk ibu hamil ya, supaya tidur kamu lebih nyaman. Seiring dengan bertambahnya usia kehamilan, kamu pasti akan semakin merasa nggak nyaman saat tidur," tutur Hamzah begitu perhatian.

"Terserah Aa aja."

"Kamu istirahat dulu kalau gitu, saya mau bereskan peralatan fotografi saya."

"Makasih ya, Aa udah mau mewujudkan konsep maternity impian saya," katanya begitu sumringah.

"Iya sama-sama, Na."

Sebelum beranjak, dia mendaratkan kecupan singkat di kening istrinya terlebih dahulu. "Baca doa dulu jangan lupa."

Hamna mengangguk dan balas mengecup salah satu pipi sang suami.

"Kalau satu nggak adil, Na, yang kiri iri ini. Masa cuma kanan doang," gurau Hamzah.

"Kok ngelunjak sih!"

Hamzah tertawa melihat wajah merah Hamna yang tengah menahan malu.

"Sudah sana keluar, saya mau tidur!"

Bukannya mempercepat berkemas, dia malah asik melihat Hamna yang semakin salah tingkah.

Satu hal yang sangat dia sukai semenjak sang istri berbadan dua, Hamna jadi lebih mudah tersipu. Dan jelas saja, itu merupakan hal langka. Di mana dulu sangatlah susah untuk bisa menjinakkan istrinya.

Lemparan bantal melayang tepat di wajah Hamzah. "Mukanya bisa biasa aja nggak sih?!"

Bukannya marah, Hamzah malah tertawa terpingkal-pingkal. Memang agak lain pasangan suami istri ini.

BERSAMBUNG

Padalarang, 05 Januari 2024

Nyatanya hobi lempar-lempar Hamna memang sudah mendarah daging. Jadi harap bersabar ya, Ham. 😂✌️

PART 4 = 15 VOTE & 15 KOMENTAR

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top