RS | Part 27

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

HAMNA menghidangkan hasil masakannya tepat di depan sang mertua dan juga sang suami, yang tengah asik berbincang sembari memantau Hamizan yang tengah terlelap  nyaman.

"Hasil percobaan yang ke berapa ini, hm?" tanya Hamzah bergurau.

Hamna pun mendaratkan cubitan tepat di pinggang Hamzah, yang justru tertawa dengan begitu puasnya. "Tinggal cobain aja bisa? Nggak usah dicela!"

"Saya hanya tanya lho, buka nyela," ralatnya.

Hamna mendengus kasar. "Nyebelin banget sih!"

Sedangkan Anggi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak dan menantunya yang kadang akur, kadang ribut layaknya Tom and Jerry.

"Tepungnya kurang kriting, Na, kamu smoothing dulu kali sebelum dihidangkan," cetus Hamzah setelah mencoba ayam geprek buatan Hamna.

Tanpa ampun Hamna pun melempari wajah Hamzah dengan guling kecil sang putra. "Serius atuh, A Hamzah!"

"Menurut Mama kalau dari segi rasa lebih mendingan, ketimbang yang udah-udah. Benar apa kata Hamzah tepungnya kurang kriting, sambal bawangnya juga kurang berani, Na. Kalau mau kasih bumbu jangan ragu-ragu, supaya rasanya juga nggak malu-malu," tutur Anggi jauh lebih berbobot.

Hamna menghela napas panjang. "Ternyata nyari resep yang pas susah."

"Kalau mau hasil makanan kamu berciri khas ya memang harus bekerja lebih keras. Mau Mama bantuin nggak?" tawarnya.

Hamna menggeleng cepat. "Saya masih mau berusaha sendiri, Ma, tapi kalau memang sudah benar-benar buntu baru deh minta bantuan Mama. Nggak papa, kan?"

Anggi pun mengangguk paham. "Apa nggak sebaiknya kamu fokus kuliah sama urus Hamizan dulu, Na? Kalau masalah bangun bisnis bisa dipikirkan nanti, fokus ke skala prioritas dulu bisa?"

Hamna melirik ke arah Hamzah sekilas, lalu dia pun berucap dengan begitu tenang, "Saya ingin mewujudkan sembilan syarat yang dulu pernah Mama ajukan. Jika ditunda lagi, akan semakin lama saya menjadi sosok menantu idaman Mama."

Anggi terdiam cukup lama, sampai akhirnya dia merengkuh sang menantu. "Tanpa kamu mewujudkan sembilan syarat itu pun, kamu sudah menjadi menantu idaman Mama, Na. Maaf karena selama ini Mama sudah dzolim sama kamu. Memberatkan posisi kamu sebagai menantu, lupakan soal itu ya, Na."

"Saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk mewujudkan syarat tersebut. Mama nggak perlu minta maaf, karena sekarang saya sadar untuk bisa mendapatkan suami seperti A Hamzah memang butuh perjuangan. Saya ingin melayakkan diri saya sebagai istri dan juga menantu sesuai dengan apa yang Mama dan A Hamzah harapkan."

"Saya berusaha untuk membenahi diri saya secara perlahan, bukan hanya untuk Mama dan A Hamzah semata, melainkan untuk kebaikan saya juga. Sebelum menjadi al ummu madrasatul ula untuk putra dan putri saya. Saya harus menjadi al mar'atus shalihah terlebih dahulu untuk suami saya. Saya pun ingin mewujudkan cita-cita Mama yang sudah saya rusak, karena ketidakmampuan saya untuk memenuhi standar idaman," tukas Hamna.

Hamna mengurai pelukannya, dia genggam lembut tangan sang mertua. "Bantu Hamna untuk berbenah dan berproses ya, Ma?"

Anggi mengangguk haru, matanya sampai berkaca-kaca karena tidak menyangka akan berada di posisi seperti sekarang. "Rasanya nggak adil kalau hanya kamu yang melayakkan diri sebagai menantu idaman, kalau Mamanya masih angin-anginan sebagaimana sekarang. Bantu Mama untuk melayakkan diri supaya jadi mertua idaman untuk kamu ya, Na?"

Hamna tersenyum begitu lebar. "Diratukan oleh putra Mama saja sudah lebih dari cukup, tapi kalau memang Mama maksa ya Hamna nggak bisa nolak atuh."

Sepasang mertua dan menantu itu saling melempar tawa, bahkan pelukan di antara keduanya pun kembali terjalin erat.

"Na di mata saya kamu itu istri yang ideal dan teguh pendirian. Nggak perlu jadi idaman, karena apa pun yang ada pada diri kamu, baik dulu, sekarang, maupun nanti akan senantiasa saya cintai dengan sepenuh hati. Saya bukan suami yang sempurna, saya pun banyak cacat dan celah. Biarkan rumah tangga kita berjalan sebagaimana mestinya, selagi itu nggak keluar dari ajaran agama," tutur Hamzah menghampiri Hamna lalu mengelus lembut puncak kepala sang istri.

Hamna mengangguk tanpa ragu. "Makasih banyak ya, A."

Hamzah pun menangkup wajah Hamna dan mendaratkan kecupan singkat di keningnya. "Kita saling berbenah dan berproses bersama. Saling menggenggam hingga Jannah ya, Na?"

"Aamiin ..., aamiin ..., insyaallah ...."

"Sudah ah sedih-sedihannya mending lanjut bahas yang lain aja," tutur Anggi mencairkan suasana.

"Jadi, kapan mau launching kedainya?" lanjut Anggi begitu antusias.

Hamna dan Hamzah terkekeh kecil.

"Peletakan batu pertama aja belum, Ma, gimana mau launching. Kita baru deal soal tanah, pembangunannya belum masih dalam tahap desain tempat," jawab Hamzah kemudian.

"Ada yang perlu Mama bantu?"

"Bantu doa sudah lebih dari cukup, iya, kan, Na?"

Hamna pun mengangguk kecil. "Iya, Mama terima beres aja insyaallah dalam waktu dekat Hamna bisa kembali menambah pencapaian dalam memenuhi standar menantu idaman Mama."

"Iya deh iya ..., kamu sudah memenuhi point 3-9 tinggal point satu dan dua. Sudah lebih dari setengahnya, sudah layak menyandang status menantu idaman."

"Point 3-8 belum benar-benar Hamna penuhi, Ma, karena ya kadang masih suka ngegas, nggak nurut juga, apalagi soal mendebat dan nggak mau ngalah, masih cukup sulit itu. Yang terpenuhi ya baru point sembilan, Hamizan wujud nyatanya."

"Mengubah karakter memang bukan sesuatu yang mudah, tapi dari cara berpikir kamu sekarang, tutur kata, dan tingkah laku kamu sama Mama sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dan itu Mama anggap sebagai sebuah progres nyata, pencapaian luar biasa. Sekarang, cukup fokus ke point satu dan dua, ya?"

"Kuliahnya yang rajin supaya bisa lulus tepat waktu dan menyandang gelar sarjana, bukan untuk Mama melainkan untuk diri kamu sendiri. Perempuan itu harus cerdas dalam hal pendidikan dan juga emosional, supaya seimbang. Jadikan itu sebagai modal paling mendasar dalam menjalani peran sebagai seorang istri sekaligus ibu."

"Menjadi wanita karier bukan hal wajib sebetulnya, karena setelah menikah tanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan kamu ya Hamzah. Tapi, sebagai seorang perempuan jangan sampai kita bergantung penuh sama laki-laki, karena suami itu titipan yang punya masa berlaku. Entah diambil Allah, ataupun diambil perempuan lain."

"Kalau finansial kita stabil, kita nggak akan susah dan kelimpungan di kala dua kemungkinan terburuk itu terjadi. Niat Mama baik, tapi memang cara menyampaikan Mama jauh dari kata baik, hingga membuat kamu tersinggung pada saat itu," tutur Anggi panjang lebar.

"Mama ini doain Hamzah kok yang buruk-buruk, harus banget ya diperjelas seperti itu," sanggah Hamzah tak terima.

Anggi menggeleng kuat. "Bukan doain, tapi ya Mama mau mendidik Hamna untuk menjadi wanita independen, supaya kamu juga nggak risau kalau sampai dipanggil duluan sama Allah. Tapi, kalau sampai kamu kepincut perempuan lain, berurusannya langsung sama Mama!"

"Ish, Mama ini terlalu jauh pikirannya."

"Suami Hamna ini tipikal orang yang nggak mudah jatuh cinta, sama perempuan juga jual mahalnya nggak kira-kira. Nggak mungkinlah berani main wanita, sama yang dulu aja move on-nya lama. Iya, kan?" sahutnya dengan alis yang terangkat satu.

"Insyaallah satu untuk selamanya, hanya kamu yang akan menyandang status sebagai istri saya, Nona."

BERSAMBUNG—

Padalarang, 29 April 2024

Maaf banget lama up 🙏 ... Semoga suka dan ada yang masih menunggu kelanjutan dari kisahnya Hamna & Hamzah ... 🤭☺️

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top