RS | Part 23
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"SEMUA keperluan Hamizan sudah saya kemas dalam tas. Saya akan ambil alih Hamizan setiap kamu ada kelas, paham?"
Hamna yang tengah memompa ASI menoleh seketika. "Iya ih, Aa bawel banget perasaan."
"Kamu ini harus diingatkan berulang kali supaya nggak ngeyel. Saya nggak mau kamu repot, belajar sambil ngemong bayi itu nggak mudah, Hamna."
"Putra saya itu shalih, nggak rewel juga. Selagi ASI-nya tercukupi, pampers-nya nggak penuh, semua aman terkendali."
Hamzah menghela napas singkat. "Saya mampu untuk membayar pengasuh, bahkan Mama pun dengan sukarela menawarkan diri untuk mengasuh Hamizan selama kamu kuliah. Kenapa kamu selalu memilih pilihan yang menyulitkan diri sendiri sih, Na? Nekad nggak ambil cuti, padahal saya sudah menawarinya dari jauh-jauh hari. Sekarang, ditambah pula dengan keputusan kamu yang ingin membawa Hamizan ke kampus. Ayolah, Na, jangan terlalu memaksakan diri, kan bisa?"
Hamna menghentikan kegiatannya, dia menaruh ASIP ke dalam box yang memang diperuntukkan untuk menyimpan ASI. "Saya ingin membesarkan Hamizan dengan kedua tangan saya sendiri, tanpa ada bantuan siapa pun termasuk Mama ataupun pengasuh. Sesekali mungkin boleh, tapi jangan sampai keseringan. Lagi pula, bukan hanya saya yang membawa anak ke kampus, ada beberapa mahasiswi lain juga yang melakukannya. Nggak ada larangan juga, kan? Selagi putra saya nggak mengganggu proses belajar mengajar, semua bisa dikondisikan."
"Na, saya yakin kamu sangat kerepotan. Ini sudah jalan tiga bulan lho," sangkal Hamzah.
Hamna menarik tangan Hamzah dalam genggaman. "Saya hanya butuh dukungan dari Aa, bukannya Aa sudah janji mau jadi support system terbaik saya, kan? Saya ingin lulus tepat waktu dengan hasil yang baik juga. Cita-cita saya ingin jadi wanita karier yang nggak mengesampingkan peran sebagai ibu serta istri sebagaimana menantu idaman Mama. Bantu saya untuk mewujudkan impian itu bisa?"
Senyum Hamna kian melebar. "Saya sudah mencari tempat strategis untuk membuka kedai ayam geprek yang dulu pernah kita bahas. Dananya sudah ada, kan?"
"Itu planning lima tahun ke depan, sekarang kita baru ada di tahun kedua pernikahan. Lulus kuliah dulu, bisa? Baru setelahnya kita fokus bangun bisnis bersama."
"Bisa, tapi bukankah lebih cepat lebih baik ya?"
"Nggak harus buru-buru, kita bisa matangkan planning terlebih dahulu. Kita fokus sama kuliah kamu, dan juga Hamizan ya."
"Saya butuh pelarian, saya butuh kesibukan. Hati saya dirong-rong rasa bersalah kalau kurang kegiatan. Saya merindukan putri kita, A Hamzah," cicitnya melirih.
Refleks Hamzah pun membawa Hamna dalam pelukan. "Kita bisa menemui putri kita kalau memang kamu mau. Bu Hamidah dan Pak Bima pun nggak keberatan soal itu, kan. Kapan kamu mau ke sana?"
Hamna menggeleng lemah. "Kalau saya menemuinya, saya yakin akan berat untuk meninggalkan dia lagi. Saya nggak mau jadi manusia yang nggak amanah, saya wajib mempertangungjawabkan apa yang sudah saya putuskan."
"Tapi ini justru merusak mental kamu. Saya nggak mau kamu kenapa-kenapa," ujarnya semakin mengeratkan rengkuhan.
Hamna mendongak, dia memaksakan diri untuk tersenyum. "Selagi Aa ada di samping saya, insyaallah semua akan baik-baik saja."
Dihapusnya air mata di kedua sudut netra Hamna. "Saya akan selalu ada untuk kamu, jangan khawatirkan soal itu. Jadi kapan kita buka kedai ayam gepreknya, hm?" tanya Hamzah mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Dia tak ingin terlalu lama menyaksikan gurat kesedihan di wajah sang istri.
"Aa ada uangnya emang?"
"Ada, saya sudah mempersiapkan itu dari semenjak kita membuat planning bersama."
Hamna terkekeh kecil lalu menghadiahi kecupan singkat di pipi Hamzah. "Memang terbaik ya suami saya ini. Terima kasih."
Hamzah mematung beberapa saat, sangat kentara sekali kalau dia cukup terkejut dan tidak menduga sang istri yang anti akan sentuhan, bisa melakukan hal tersebut.
"Sesuai dengan pembahasan kita dulu, nama kedainya 'Geprek Mitoha' tapi sekarang ditambah nama saya. 'Geprek Mitoha ala Buna' bagus nggak?"
"Mama ngamuk itu kalau nanti kedainya launching. Nggak ada nama lain apa, Na?"
Hamna menggeleng keras. "Kedai itu bukti nyata perjuangan saya untuk mewujudkan sembilan syarat dari Mama."
Hamzah geleng-geleng kepala. "Kamu ini masih aja mengingatnya. Kamu sudah jadi menantu idaman, nggak perlu ada lagi pembuktian."
"Itu adalah janji saya sama Aa dan juga Mama. Pembahasan kita di Lombok waktu itu, memang harus diwujudkan. Saya nggak mau hanya jadi sekadar rencana dan wacana belaka."
Hamna menggandeng tangan Hamzah menuju papan tulis berukuran sedang yang memang sengaja mereka pajang di kamar. Di sana tertempel apik planning yang mereka buat sekitar dua tahun lalu di Lombok saat menikmati liburan bersama.
Tak ketinggalan Hamna pun menempelkan kertas pemberian sang mertua yang sudah lumayan lecek di sana. Dia menunjuk benda tersebut lantas tersenyum ke arah sang suami.
Syarat Menjadi Menantu Idaman.
1. Berpendidikan Minimal S1.
2. Wanita Karier.
3. Piawai Memasak.
4. Pintar Beres-beres Rumah.
5. Bisa Mengurus anak dan suami.
6. Santun, Lemah Lembut, & Beretika.
7. Tidak Suka Mendebat Orang Tua.
8. Patuh & Taat Pada Aturan.
9. Harus Bisa Memberi Keturunan.
"Nomor satu dan dua insyaallah coming soon, point tiga sampai delapan masih saya usahakan, dan saya baru bisa mewujudkan point kesembilan. Agak melenceng sebenarnya, karena Aa tahu sendirilah gimana saya dulu?" katanya diakhiri kekehan.
"Syarat paling bontot yang juga paling kamu tentang, tapi tahunya sekarang malah itu yang pertama kali kamu penuhi."
"Nggak usah diperjelas bisa? Malu saya."
"Nyatanya itu syarat paling mudah, bukan?"
Tanpa ampun Hamna langsung menghadiahi sang suami cubitan. Bukannya mengaduh kesakitan, Hamzah justru tertawa terpingkal-pingkal.
"Pulang dari kampus kita ke makam Haleeza seperti biasa ya, A," cetus Hamna beberapa saat kemudian.
"Boleh."
Setiap hari Jumat tiba, sebisa mungkin mereka menyisihkan waktu untuk sekadar berziarah ke makam Haleeza, Hanin, serta Haikal yang saling berdampingan.
Sakitnya kehilangan tak bisa mereka tepis begitu saja, terlebih saat menyaksikan potret keluarga kecil yang sudah menempati 'rumah' yang sesungguhnya.
Tempat peristirahatan abadi, yang acap kali dihindari sebagian orang.
"Malah bengong, kenapa Nona?"
Hamna menggeleng kecil lantas berkata, "Nggak kebayang aja kalau kita ada di posisi Hanin dan Haikal. Masih bisa bersama, bahkan saling berdampingan padahal maut sudah memisahkan keduanya."
Dirangkulnya bahu sang istri lembut. "Saya masih menginginkan kebersamaan yang nyata bersama kamu, Na. Walau saya nggak bisa pungkiri itu, karena terkait ajal kita nggak pernah ada yang tahu, bukan? Tapi, saya selalu berdoa semoga kita senantiasa bersama, dan juga diberi waktu lebih lama untuk saling membahagiakan satu sama lain."
"Aamiin," sahut Hamna penuh harap.
Hamzah beralih untuk mengelus area bawah mata Hamna. "Kantung mata kamu makin hitam aja, Na. Capek pasti, kan harus begadang terus. Ikuti saran ya supaya istirahat kamu cukup?"
"Pompa ASI lebih banyak supaya kalau Hamizan nangis tengah malam bisa Aa yang tangani sendiri? Nggak ah, kasihan Aa atuh. Sudah mah seharian ngajar di kampus, masa iya di rumah harus begadang juga buat jaga anak. Aa nggak usah berlebihan, toh cuma kantung mata aja kok yang hitam."
"Makin hari kamu semakin dewasa dan mandiri, sebetulnya saya bersyukur tapi saya juga takut, Na."
Alis Hamna terangkat satu. "Kok takut?"
Hamzah pun mengangguk. "Takut kamu nggak membutuhkan saya lagi."
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 29 Maret 2023
Alhamdulillah akhirnya up juga ya, semoga suka deh 🤭☺️
Gaskennn nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top