RS | Part 22

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

KONON katanya seiring dengan bertambahnya rasa cinta, perempuan akan semakin emosional. Marahnya merupakan tanda sayang, cerewetnya pun kerap kali diartikan sebagai bentuk perhatian.

Betulkah demikian?

Bahkan tak jarang juga, suka sekali memancing keributan. Dengan kata lain, perempuan tidak suka kedamaian, biang onar, dan tentu saja penguji kesabaran para suami.

Sebuah fakta, yang acap kali disangkal oleh kebanyakan kaum hawa.

Termasuk Hamna.

"Ini masih pagi lho, Na. Bisa direm dulu ngomel-ngomelnya?"

"Nggak bisa!"

Hamzah menghela napas singkat. "Kenapa, Nona? Ada apa, hm?"

"Aa bilangin dong sama Mama, jangan asal ngambil anak saya tanpa izin. Saya panik, pas bangun anak saya tiba-tiba hilang, tahunya digondol Mama. Bilang dulu, kan bisa!"

Hamzah menarik tangan Hamna, meminta istrinya untuk duduk sejenak. "Tenang dulu sebentar, bisa?"

Hamna menggeleng kuat.

Dielusnya lembut puncak kepala Hamna yang tak tertutup hijab. "Mama nggak mau ganggu tidur pulas kamu, tadi putra kita nangis. Digendonglah sama Mama, terus sekalian dimandiin juga."

Hamna menatap penuh rasa tidak percaya. "Kalau nangis, pasti saya yang paling dulu dengar."

Hamzah tersenyum begitu manis. "Kamu kecapekan, Na, akhir-akhir ini sering begadang, kan. Jam tidur kamu berkurang, tadi juga tidur kamu pulas banget. Jangankan Mama, saya aja nggak tega buat bangunin kamu."

"Yang minta Mama buat nginep di sini kamu, kan? Katanya kamu belum mampu untuk merawat putra kita, tanpa bimbingan Mama karena kamu yang masih awam dan harus banyak belajar. Lantas, sekarang kenapa kamu malah seperti ini?"

"Tapi nggak harus sampai memonopoli anak saya, kan bisa?!"

"Memonopoli gimana maksud kamu?"

"Setiap kali anak saya nangis, Mama suka ngambil alih, padahal kondisinya Hamizan sedang ada dalam gendongan saya. Pagi-pagi buta, anak saya suka hilang tiba-tiba, apa-apa Mama yang ngelakuin, termasuk mandiin, bahkan perihal ganti popok pun saya nggak dikasih jatah. Itu anak saya, kenapa porsi saya jauh lebih sedikit."

"Saya meminta Mama tinggal sementara di sini, hanya untuk sekadar membantu sekaligus mengajari saya. Bukan malah jadi seperti ini, A Hamzah!" terang Hamna begitu menggebu-gebu.

"Iya, iya, nanti saya bilang ke Mama ya. Sudah ah, jangan marah-marah terus. Sabar," sahutnya.

Hamna bersidekap dada dan menatap sengit ke arah Hamzah. "Aa selalu belain Mama. Prioritas Aa itu sebenarnya saya atau Mama?"

"Kamu cemburu sama Mama?"

"Ini bukan tentang cemburu, tapi tentang prioritas. Sudah selayaknya seorang suami mendahulukan istrinya, ketimbang ibunya."

Hamzah terkekeh kecil, dia kecup kening sang istri sebentar lantas berujar, "Keliru itu. Kamu dan Mama memiliki hak yang sama, dan saya memiliki kewajiban untuk memenuhi hak kalian berdua. Ini bukan tentang prioritas, atau siapa yang harus lebih dulu saya dahulukan, bukan perkara yang pertama dan kedua."

"Sebagai anak saya berkewajiban untuk berbakti pada ibu saya, karena ada hak Mama yang harus saya tunaikan. Dan sebagai seorang suami, saya pun berkewajiban untuk memenuhi hak kamu sebagai istri. Sebisa mungkin saya berusaha untuk adil, baik dalam hal sikap ataupun cara saya dalam men-treatment kalian."

"Sekarang coba kasih tahu saya, di mana letak kekeliruan saya hingga kamu merasa tersisihkan seperti sekarang? Apa saya belum mampu untuk memenuhi kewajiban saya sebagai suami?" tukasnya begitu lembut, bahkan senyum di bibir Hamzah tidak mengendur sedikitpun.

"Saya mau Mama pulang. Sekarang!"

"Ada lagi?"

"Nggak!"

Hamzah bangkit dari duduknya, dia gandeng tangan Hamna lalu berkata, "Kita temui Mama sekarang kalau gitu."

"Kita? Ya, Aa sendiri, lha!"

"Kok jadi saya? Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu perbuat. Yang minta Mama tinggal di sini, kan kamu, terus sekarang kamu mau Mama pulang berarti kamu juga yang harus bilang."

Hamna menghempaskan tangan Hamzah. "Tuh, kan nyebelin. Makin buruk nanti reputasi saya sebagai menantu, kentara banget ngusirnya."

"Sebelum pulang dari rumah sakit, kan saya sudah menanyakan hal ini secara berulang. Apakah kamu yakin mau kembali tinggal satu atap sama Mama, dan waktu itu dengan mantap kamu bilang 'sangat yakin' bahkan nggak merasa keberatan. Padahal, saya juga sudah menjelaskan risiko serta konsekuensi yang harus kamu tanggung atas pilihan tersebut, tapi lagi-lagi kamu tetap teguh pendirian. Sekarang, kamu berubah pikiran. Mau Mama pulang, tanggung jawab sendiri bisa, kan?"

Hamna memutar bola matanya sebal.

"Asem banget tuh muka, senyum dikit bisa, kan, Nona?" godanya.

Hamna mendelik tajam. "Nggak!"

Bukannya tersinggung, Hamzah malah tertawa dengan begitu puasnya. "Masyaallah, makin ngambek makin cantik lho."

Hamna berlagak memuntahkan sesuatu dari mulutnya. "Mendadak mual saya!"

Tanpa izin Hamzah memeluk pinggang Hamna, hal itu jelas membuat sang istri menegang seketika.

"Nona nggak perlu cemburu, apalagi sama Mama. Walaupun Nona nggak piawai dalam hal berbenah, masak pun nggak pintar-pintar banget, apalagi soal ngurus anak. Tapi, saya akan tetap dan selalu menjadikan Nona istri satu-satunya, nggak ada yang lain. Nona yang pertama untuk selamanya," bisik Hamzah tepat di samping telinga Hamna.

Dikecupnya singkat pipi sang istri, tak ketinggalan dia pun berulang kali mengelus sayang puncak kepala Hamna. "Yuk temuin Mama."

Hamna tak berkutik sedikitpun, dia benar-benar dibuat mati kutu. Kedua tungkainya mendadak lemas tak bertulang dengan dada yang berdebar kencang.

"Malah bengong. Jadi, buat minta Mama pulang?" tanyanya.

Hamna menatap lekat pada sang suami. "Saya nggak bisa seperti Mama yang multitasking. Bisa beres-beres rumah, masak, sambil ngerawat anak. Semakin lama Mama tinggal di sini, semakin kelihatan kurangnya saya sebagai istri dan juga menantu. Saya takut Mama mencari menantu baru untuk menggantikan posisi saya," lirihnya lantas menunduk dalam.

Diangkatnya dagu sang istri lembut. "Dapat pemikiran seperti itu dari mana, hm?"

"Banyak kasus perceraian disebabkan oleh ikut andilnya mertua, dan saya khawatir akan hal tersebut."

"Na, dengerin saya. Kita sudah melalui masa itu, kan? Dulu pada saat awal-awal pernikahan kita diuji dengan hal tersebut, tapi buktinya kita bisa bertahan sampai sekarang. Pernikahan itu tentang komitmen dan kemauan, di mana saat kita sudah bersepakat untuk menjalani biduk rumah tangga bersama, maka kita pun harus memiliki kemauan untuk mempertahankannya. Komitmen nggak akan selaras, kalau kemauan kita sudah beda jalan."

"Fokus kita sekarang, hanya mengukuhkan kemauan agar nggak goyah dan berlainan arah. Paham, Sayang?"

Hamna mengangguk pelan. "Saya over thinking sekaligus insecure," adunya berterus terang.

"Nggak usah banyak pikiran, inget kamu itu lagi menyusui. Kalau stres bisa memengaruhi produksi ASI. Kamu tahu sendiri, kan kalau Hamizan itu mudah sekali lapar. Coba kasih tahu saya, apalagi yang mengganjal hati kamu?"

Pasca melahirkan perempuan kerap kali merasa gundah serta gelisah secara berlebihan. Jika, bukan suami yang memberikan support system terbaik lantas siapa lagi?

Sebisa mungkin dia berusaha untuk memahami, mencari tahu banyak hal perihal perempuan, meski tak dapat dipungkiri belajar kamus perempuan jauh lebih rumit dan menyulitkan.

BERSAMBUNG—

Padalarang, 19 Maret 2024

Lagi-lagi up nya lama 🙃 ... Mohon dimaklumi ya guys, akunya lagi sibuk sama dunia nyata, sampai lupa ada tanggung jawab di dunia halu.

Semoga suka deh sama bab ini, sampai ketemu di bab selanjutnya. Lancar-lancar ya puasanya, mohon maaf jika ada salah-salah kata. 🙏☺️

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top