RS | Part 18
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"KAMU tahu nggak, Na, kalau kita sabar dalam menerima takdir, Allah akan gantikan pahala dari rasa sabar itu dengan nikmatnya surga, tanpa hisab pula. Kamu mau nggak kayak gitu?"
"Masa iya? Aa tahu dari mana?"
"Dari kajian atuh, Na."
Hamna manggut-manggut paham. "Terus? Apa ini ada hubungannya sama pembahasan kita yang tadi. Aa belum ngasih tahu saya lho, tadi katanya mau menyampaikan sesuatu sama saya. Apa?"
Hamzah termenung beberapa detik, dia menarik sedikit kedua sudut bibirnya lantas berucap, "Tapi kamu harus janji dulu sama saya, kamu nggak akan marah, kecewa, apalagi sedih saat tahu apa yang hendak saya sampaikan."
Hamna berdecak pelan. "Belum juga dikasih tahu masa udah disuruh janji sih. Nggak mau ah, curang itu namanya."
"Ya udah kalau gitu nggak akan saya kasih tahu."
Hamna memutar bola matanya malas. "Apaan sih, nggak asik banget. Istrinya baru selesai lahiran bukannya apa kek, dikasih hadiah, dikasih kata-kata romantis, ini malah dibuat mati penasaran. Ngaco emang A Hamzah."
"Kamu ini emang agak susah ya kalau diajak bicara serius. Minta waktunya sebentar boleh?"
"Iya, iya, silakan Aa," sahut Hamna pada akhirnya.
Hamzah menggenggam tangan istrinya lembut, refleks Hamna pun menarik tangannya.
Dia meringis kecil lantas berujar, "Maaf, A nggak maksud nyinggung. Refleks tadi."
Hamzah mengangguk maklum. "Selalu ada harga yang harus kita bayar atas apa yang sudah kita lakukan, baik itu disengaja ataupun tidak."
Mengembuskan napas kasar, lantas menatap lekat manik mata sang istri penuh kehangatan. "Nggak adil rasanya kalau saya merahasiakan hal sebesar ini dari kamu. Na, sebagai ganti kepergian Haleeza orang tua Haikal meminta putri kita untuk diasuh dan dirawat oleh mereka."
Hamna hanya termangu, pikirannya berkecamuk seketika.
Menyadari hal tersebut, spontan Hamzah kembali menggenggam kedua tangan Hamna yang terasa dingin. "Sebagai seorang suami sekaligus ayah, saya nggak mungkin memutuskan perkara sebesar ini seorang diri. Kamu harus tahu, karena kamu ibu kandungnya, bahkan kamu rela hamil selama hampir sembilan bulan, sampai akhirnya bertaruh nyawa untuk melahirkan mereka ke dunia."
"Kalau ditanya keberatan, jawabannya jelas iya. Tapi saya nggak mau kehilangan kamu, kalau sampai kasus kematian Haleeza dibawa ke pihak berwajib. Dan saya pun nggak mau kehilangan putri kita, yang bahkan belum genap sehari bersama kita. Saya lebih ikhlas dan rida, jika pada akhirnya saya yang dipenjarakan. Setidaknya bukan kamu yang meninggalkan saya, kita sama-sama berkorban dan berjuang untuk anak-anak kita. Kamu siap untuk menjadi orang tua tunggal bagi mereka, kan, Na?"
Mata Hamna memerah seketika, dia mati-matian menahan tangis hingga menggigit bibir bawahnya agar tak memunculkan isakan. "Maaf, ini salah saya. Akibat dari keteledoran yang telah saya lakukan, membuat semuanya kacau ...."
Hamzah menggeleng pelan, dia angkat dagu Hamna lembut. Menampilkan senyum semanis mungkin lantas berucap, "Ini takdir, Na, bukan salah kamu sepenuhnya. Mungkin memang sudah jalannya harus seperti ini. Kita harus saling menguatkan ya?"
"Tapi saya nggak mau kalau sampai Aa yang dipenjarakan. Saya yang lebih pantas mendekam di sana, Haleeza meninggal pada saat tengah bersama saya, atas ulah kelalaian saya. Saya yang bersalah."
"Anak-anak kita lebih membutuhkan kamu, ketimbang saya. Kamu adalah tanggung jawab saya, dan memang sudah seharusnya saya melakukan ini untuk melindungi kamu, Na," sangkal Hamzah.
Hamna merapatkan matanya sejenak, gemuruh dalam dada bergejolak hebat. Sungguh, ini adalah pilihan paling sulit, yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh perempuan bergelar ibu dari dua anak tersebut. Rumit, terlalu rumit.
"Hanya putri kita yang mereka inginkan?" tanyanya berusaha untuk menetralkan suara agar tak terdengar bergetar.
Hamzah mengangguk kelu.
Hamna menarik paksa kedua sudut bibirnya lantas berucap, "Berikan apa yang mereka inginkan."
"Maksud kamu?"
"Kita masih memiliki seorang putra yang bisa kita rawat dan besarkan bersama, bukan? Sedangkan Bu Hamidah dan Pak Bima nggak, putra satu-satunya sudah tiada, cucunya pun meninggal di tangan saya. Mereka pasti sangat mengharapkan penerus, dan insyaallah putri kita berada pada pengasuhan orang yang tepat."
"Mungkin keputusan saya terkesan kejam tak berperasaan, seolah saya ini begitu mudah memberikan darah daging sendiri pada orang lain. Tapi, saya sadar betul di mana letak kesalahan saya, dan itu sangat amat fatal. Benar apa yang Aa katakan, selalu ada harga yang harus kita bayar mahal dari sebuah kelalaian yang telah kita perbuat. Dan saya berusaha untuk sadar akan hal tersebut," terang Hamna diakhiri sunggingan tipis.
"Saya menyayangi keduanya, tidak ada perbedaan sama sekali. Ini memang yang terbaik, saya nggak mungkin membiarkan Aa mendekam di penjara hingga mendapat gelar narapidana. Mungkin untuk saat ini tidak terlalu berdampak, tapi ke depannya pasti akan berpengaruh pada psikis anak-anak kita. Saya nggak mau hal itu sampai terjadi, walau sebetulnya saya sangat amat nggak merasa keberatan kalau memang harus menjalani masa hukuman di dalam penjara," imbuhnya sembari menghapus cairan bening yang meluncur bebas begitu saja.
"Na, saya tahu kamu sangat amat keberatan. Saya nggak papa kalau memang harus menjalani masa hukuman di balik jeruji besi."
Hamna menggeleng tegas. "Saya masih muda, begitupun dengan Aa. Insyaallah kita bisa kembali dikaruniai seorang putri nantinya."
"Na---"
"Kepergian Haleeza murni karena kelalaian saya, seharusnya saya yang bertanggung jawab, bukan Aa ataupun putri kita yang tidak tahu apa-apa. Egoiskah saya jika lebih memilih Aa ketimbang darah daging sendiri? Jahatkah saya yang rela menumbalkan anak sendiri hanya agar saya tidak merasakan dinginnya hidup di balik jeruji besi. Saya ini memang biang masalah ya, A?" katanya tersenyum miris.
Dipeluknya erat-erat tubuh sang istri, hal tersebut membuat tangis Hamna pecah seketika. Dia terisak di balik punggung Hamzah.
"Ini bukan hal yang mudah untuk kita, tapi saya harap kita bisa melewati ini semua bersama. Maaf, saya belum mampu untuk menghadirkan tangis bahagia di hidup kamu, saya hanya bisa menghadirkan tangis duka tanpa jeda," ungkapnya terdengar sangat tulus.
Jika mengingat ke masa lalu, pernikahan mereka pun kerap kali diwarnai tangis pilu Hamna, atas perlakuan kurang baik ibunya. Lantas sekarang, dia pun kembali melihat tangis itu yang juga bersumber dari keluarganya. Sebagai suami, dia merasa sudah gagal.
"Boleh saya menyusui dan menggendong putri kita sebelum dibawa pergi oleh Bu Hamidah dan Pak Bima?" cicit Hamna saat pelukan di antara keduanya terurai.
Bukannya menjawab, Hamzah justru berkawan geming dengan pandangan kosong.
Hamna mengelus lembut punggung tangan Hamzah. "Sekarang saya yang balik bertanya sama Aa. Mau dapat imbalan surga tanpa hisab nggak? Katanya kalau kita sabar dalam menerima takdir, Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih indah."
-BERSAMBUNG-
Padalarang, 29 Februari 2024
Up cepet nih, jangan lupa atuh diramaikan lagi lapaknya biar rajin up 🤭🤣✌️
Kalau kurang dapet feel-nya koar-koar aja ya di kolom komentar ☺️
Gaskennn nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top