RS | Part 15
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"GANTI baju dulu, Ham," titah Anggi seraya menyerahkan pakaian ganti.
Selepas pemakaman selesai, mereka langsung meluncur ke rumah sakit. Pakaian yang diserahkan pada sang putra pun hasil dari membeli secara asal di toko yang mereka lewati.
"Sudah pembukaan berapa sekarang?" tanya Anggi pada Hamna yang kini tengah tidur menyamping di atas ranjang.
"Masih pembukaan empat, Ma," jawab Hamna sesekali meringis saat kontraksi melanda.
"Bangun, Na, katanya mau lahiran normal. Jalan-jalan kecil sama Mama yuk, atau mau mandi air hangat dulu supaya lebih segeran? Duduk di ball birth supaya pembukaannya cepet," ajaknya.
Hamna termenung, dia menatap Anggi penuh rasa tidak percaya. Seperti baru tadi, mertuanya itu bersikeras ingin menjebloskan dirinya ke dalam penjara, lantas sekarang mertuanya itu begitu hangat dan manis. Apa ini bukan halusinasi?
Anggi memegang kedua bahu menantunya. "Sudah, kamu jangan banyak pikiran dulu. Fokus kamu sekarang melahirkan, terkait duka yang menimpa keluarga kita, sejenak singkirkan. Kalau mau melahirkan, apalagi lahiran normal harus positif pikirannya. Bisa, kan?"
Hamna mengangguk haru, matanya kembali berembun. Tapi, kali ini ada kelegaan di sana, bukan lagi perihal kesakitan ataupun rasa bersalah yang sampai kapan pun akan terpatri apik.
"Sudah mengabari orang tua dan keluarga Hamna, Ham?" tanya Lingga saat putranya baru saja keluar dari kamar mandi yang ada di ruang perawatan Hamna.
"Astagfirullah, Hamzah lupa, Yah. Sebentar Hamzah hubungi dulu Bapak sama Ibu," sahut Hamzah yang dibalas gelengan kepala sang ayah.
"Biar Mama yang menghubungi besan, kamu urus Hamna. Bantu dia, jadi, kan mandi air hangatnya, Na?" cegah Anggi saat Hamzah hendak mengambil gawai dalam saku celana.
"Sama Mama aja nggak bisa emangnya?" cicit Hamna.
"Bisa, tapi akan jauh lebih efektif kalau Hamzah yang bantu kamu, sekalian stimulasi puting untuk mempercepat bukaan. Itu adalah bagian dari rangsangan alami, Na," sahut Anggi begitu frontal.
Hamzah dan Hamna saling berpandangan, keduanya kompak menggeleng kuat.
"Nggak, Ma, nggak usah. Saya nggak usah mandi aja kalau gitu," tolaknya mentah-mentah.
"Ya udah terserah."
Lingga terkekeh pelan melihat reaksi dari anak serta menantunya. "Dasar! Ayah berasa lagi lihat pengantin baru, padahal kalian ini pengantin bari."
"Ajak Hamna jalan-jalan kecil, kalau perlu naik turun tangga, tapi jangan terlalu dipaksa. Ambil jeda untuk istirahat, apalagi kalau kontraksinya datang. Mama mau buat minuman dulu untuk Hamna," katanya lantas berlalu keluar.
Lingga ikut bangkit dari duduknya. "Semangat, Na, semangat. Kalau mau lahiran normal usahanya harus lebih keras. Kalian berdua saling bekerja sama, oke?"
Setelahnya, beliau pun berlalu mengintil langkah sang istri yang entah akan pergi ke mana.
Hamzah membantu Hamna untuk turun dari ranjang, dia menuntun sang istri agar berjalan-jalan kecil di dalam ruangan. Tidak ada sedikitpun obrolan, selain ringis kesakitan Hamna kala kontraksi menyerang.
"Aa udah nggak marah sama saya?" cicit Hamna akhirnya berani angkat suara.
"Marah nggak, kecewa iya, tapi saya nggak bisa menyalahkan kamu sepenuhnya. Saya pun paham akan kondisi kamu, nggak mudah untuk mengawasi anak seusia Haleeza berenang, terlebih dalam kondisi tengah hamil besar. Sudah ya, Na, jangan dibahas dulu."
"Maaf ...," katanya penuh rasa sesal.
Hamzah mengangguk singkat. "Sudah, sekarang fokus kita sama persalinan kamu dulu. Benar apa yang Mama bilang, kita harus mengesampingkan hal-hal yang berpotensi memicu pikirin jadi kacau."
"Saat dibawa ke rumah sakit kondisi kamu sudah masuk bukaan empat, dengan ketuban yang pecah. Apa kamu nggak ngeh kalau udah melewati bukaan 1-3, Na?" tanya Hamzah berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
Hamna sejenak berhenti melangkah saat gelombang kontraksi datang, dia menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. Hal semacam ini terus dia lakukan secara berulang.
"Sebetulnya sudah dari semalam saya merasakan kontraksi, perut bagian bawah pun terasa mengencang dengan dibarengi rasa sakit. Tapi, karena belum memasuki bulan lahir, saya nggak begitu memedulikan. Mungkin hanya sakit biasa, karena memang suka hilang timbul."
"Dari semalam, dan kamu nggak bilang apa-apa sama saya? Bahkan masih mau mengan---" Hamzah tak kuasa untuk melanjutkan kata-katanya.
Hamna tersenyum getir. "Mengantar Haleeza, kan maksud Aa? Bahkan, bukan hanya saya antar ke kolam renang melainkan sampai ke tempat peristirahatan terakhir. Haleeza meninggal saat bersama saya, dan itu merupakan hal yang nggak bisa saya pungkiri sampai kapan pun. Saya sudah menjadi perantara Haleeza dalam menjemput ajalnya."
"Na," cegah Hamzah dibarengi gelengan kepala. Dia tak ingin mendengar apa pun yang bisa memicu emosinya menjadi tidak stabil.
Dia takut kelepasan sebagaimana beberapa jam lalu.
"Kalau mereka lahir hari ini, itu artinya tanggal kelahiran mereka sama seperti tanggal kematian Haleeza. Saya bingung, entah harus bahagia atau justru sedih, karena dalam waktu yang bersamaan kita ditimpa kehilangan sekaligus kehadiran anggota baru. Duka yang dirasa seolah langsung dibayar lunas oleh Allah."
Hamzah tak langsung menjawab, dia mendudukkan Hamna di atas ball birth, memastikan istrinya itu dalam posisi nyaman. Sampai akhirnya dia pun berkata, "Rencana Allah selalu nggak bisa kita duga, Na."
Untuk mendapatkan hasil yang efisien, tapi tetap menomorsatukan kenyamanan, Hamna duduk di atas ball birth dengan posisi kaki mengangkang. Sedangkan punggungnya ditopang oleh sang suami.
Duduk di atas ball birth berguling ke sana-kemari akan membantu mengendurkan otot pinggul dan punggung bawah. Gerakan memantul ke atas dan ke bawah juga membuat bayi turun menuju daerah panggul. Hal ini dapat mempercepat pembukaan jalan lahir.
Cukup lama mereka melakukan kegiatan tersebut, sampai akhirnya Hamna meminta untuk kembali berjalan-jalan kecil.
Hamna mengatur napasnya yang naik turun, peluh sudah membanjiri wajah perempuan itu. Ternyata ini yang dinamakan dengan 'gelombang cinta' yang kerap kali dijuluki oleh para calon ibu. Rasanya masyaallah sangat luar biasa, tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Saya mau jongkok, Aa," ungkap Hamna, dengan cekatan Hamzah membantu istrinya.
Squat atau jongkok selama beberapa saat dapat membuka panggul. Dengan begitu, memungkinkan bayi untuk menekan leher rahim, serta mendorong pelebaran dan mempercepat pembukaan jalan lahir.
Melihat perjuangan Hamna yang begitu bersikeras untuk melahirkan normal, membuat Hamzah terharu sekaligus bangga. Wanita yang bahkan belum genap dua tahun dia peristri, tapi rela mempertaruhkan nyawa sendiri untuk melahirkan darah dagingnya.
"Aa kenapa?" tanya Hamna cukup tersentak saat melihat sudut mata Hamzah yang berair.
"Keinget Haleeza pasti ya. Maafkan say---"
Hamzah menggeleng kecil. "Bisa-bisanya beberapa jam lalu saya melontarkan kata-kata kasar sama kamu, Na. Padahal mungkin pada saat itu kamu sedang kesakitan akibat kontraksi, tapi dengan bodohnya saya justru hendak membawa kamu ke kantor polisi. Suami macam apa saya ini?!"
Dielusnya lembut wajah Hamzah. "Aa melakukan itu karena memang pada dasarnya saya yang salah. Saya sudah ikut andil dalam merenggut sosok malaikat kecil yang begitu amat berharga dalam hidup Aa. Haleeza lebih lama hidup bersama Aa, sedangkan saya? Dua tahun juga belum, kan."
"Saya mendadak nggak enak hati kalau kamu bersikap manis seperti ini. Saya trauma, Na. Haleeza melakukan hal yang sama sebelum dia meninggalkan saya untuk selama-lamanya," ungkap Hamzah.
"Kamu janji akan baik-baik aja, kan, Na? Kalian akan selamat dan sehat, kan?"
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 16 Februari 2024
Sedikit aku kasih yang manis-manis, setelah beberapa part dibuat tegang. Baik, kan aku? 😂🤣
Masa iya judulnya Rintik Sendu tapi nggak buat anak orang nangis. Yang bener aje. Rugi, donk! 😅🤣
Mendadak pengen check out suami kek Hamzah, kan kalau kayak gini 🤧 ... Dahh, ah halunya disambung nanti lagi.
Sampai lupa, di Sunda istilah pengantin bari itu dijuluki untuk pengantin yang udah nikah lama, simpelnya udah kadaluarsa, lha. 😂😅✌️
Gaskennn guys?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top