RS | Part 14

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

HAMNA meraung saat jasad Haleeza dimasukkan ke liang lahat, bahkan lantunan azan dan iqamah yang Hamzah gaungkan terdengar sangat amat bergetar. Perempuan itu memukul-mukul dadanya yang terasa sesak bukan main, terlebih saat melihat dengan jelas tanah yang mulai diturunkan.

Pandangannya mengabur, tubuhnya pun limbung, Anggi yang setia berada di samping sang menantu terkesiap untuk menahan tubuh Hamna agar tidak terjatuh. Semua orang larut dalam duka, beruntung Lingga begitu cepat tanggap membawa Hamna untuk segera meninggalkan area pemakaman.

Lain hal dengan Hamzah yang benar-benar ingin mengantarkan putri kecilnya ke tempat peristirahatan terakhir. Tangan yang biasanya digunakan untuk menggendong, kini digunakan untuk membopong, memastikan jasad itu tertidur dengan tenang di atas dinginnya tanah.

Air matanya meluruh seiring dengan bertambahnya timbunan tanah. Dia pasangkan nisan bertuliskan Haleeza Awaliyyah binti Haikal Sulaiman di sana. Cukup lama dipandangi, sampai akhirnya dia pun mencium nisan tersebut.

"Papa jangan ngambek lagi ya? Kan udah Za kiss."

Hamzah tersenyum getir saat sekelebat bayangan berlarian memenuhi kepala. "Za, ciuman tadi pagi ternyata jadi yang terakhir untuk Papa. Yang tenang di sana, sudah kumpul sama Ayah dan Bunda, kan?" lirih Hamzah terdengar sangat memilukan.

"Hamna pingsan, Ham. Temani dia, lagi di mobil sama Ayah," tutur Anggi lembut seraya menepuk pundak sang putra.

Jika bukan dia dan sang suami yang tetap waras dalam kondisi seperti ini. Entah akan jadi seperti apa nasib anak serta menantunya. Dia harus bisa lebih tegar, lebih bijak dalam menyikapi kepergian sang cucu.

Meski kerap kali ada bisikan kecil untuk memaki sang menantu. Menyalahkan Hamna atas apa yang sudah terjadi, sebagaimana tindakannya beberapa jam lalu.

Namun, dia berusaha keras untuk memakai logika. Tidak mungkin, Hamna sepicik itu melenyapkan Haleeza, sedangkan menantunya pun akan bergelar sebagai ibu.

Mengesampingkan ego, mengesampingkan amarah, serta mengesampingkan rasa kecewa, berusaha untuk tetap berhusnuzan. Walau nyatanya itu sangatlah susah.

Dia bisa setenang ini, selapang ini, karena dukungan Lingga yang tanpa lelah mengucapkan kalimat-kalimat positif. Dan, dia merasa sangat bersyukur atas hal tersebut.

Suaminya, begitu berperan penting dalam menjaga kewarasan fisik dan mental.

Tanpa kata Hamzah bergegas menuju parkiran. Koko putihnya sudah kotor dipenuhi tanah, tapi dia sama sekali tak memedulikan hal tersebut.

"Bawa Hamna pulang, urusan pemakaman Haleeza biar Ayah yang lanjutkan," titah Lingga pada sang putra.

Hamzah mengangguk patuh.

"Ayah titip Hamna ya," katanya sembari menepuk bahu sang putra sulung.

Lagi-lagi Hamzah mengangguk.

Dia mendekatkan kayu putih ke indra penciuman Hamna, berharap istrinya itu akan segera membuka mata. Hamzah sedikit bisa bernapas lega saat melihat netra Hamna yang mulai mengerjap secara perlahan.

"Saya mimpi buruk, A, saya mimpi buruk!" racau Hamna.

Dihapusnya peluh yang membasahi kening Hamna. "Minum dulu ya," katanya lembut.

"Saya mimpi A Hamzah, saya mimpi buruk. Haleeza masih hidup, kan? Apa yang tadi saya lihat nggak benar, kan, A? Iya, kan?!"

Hamzah tak kuasa untuk menjawab, dia hanya bisa memeluk Hamna dengan erat, berharap istrinya itu bisa sedikit tenang. Tidak lagi meracau, atau setidaknya tangis sang istri bisa mereda walau hanya sesaat saja.

Saat rengkuhannya terurai, dan Hamna tidak lagi memberontak. Dia mengecup kening, serta kelopak mata Hamna lantas berkata, "Kita memang menyayangi Haleeza, tapi sepertinya Hanin dan Haikal sudah sangat ingin berkumpul bersama dengan putri mereka. Ikhlas ya?"

Tangis Hamna kian pecah tak terbendung. "Saya penyebab kematian Haleeza, say---"

Hamzah menggeleng pelan. "Nggak, ini semua bukan karena kesalahan kamu. Ini semua karena kuasa Allah, qodarullah wa maa-syaa-a fa'ala. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi."

"Antarkan saya ke kantor polisi, saya harus mempertanggungjawabkan kelalaian saya. Saya har---"

Hamzah tak kuasa untuk mendengar segala perkataan Hamna, dia kembali merengkuhnya. "Saya nggak akan pernah melakukan itu. Saya nggak mau kembali merasa kehilangan, cukup dengan kepergian Hanin dan Haleeza, kamu jangan."

"Saya bersalah A Hamzah ...," cicitnya di tengah isakan.

"Kita pulang ya, kamu harus banyak istirahat," putus Hamzah, lalu keluar dari kursi penumpang dan berlari cepat menuju kursi kemudi.

Dia akan ikut kacau kalau terus meladeni Hamna yang juga sama kacaunya. Saat ini mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Tadi pagi kamu masih duduk di sini, sekarang kamu meninggalkan Buna. Maafin Buna, Za, maaf ...," rintih Hamna seraya mengelus kursi samping yang memang tadi pagi diduduki Haleeza.

"Ciuman kamu bahkan masih sangat terasa, tapi kenapa raga kamu udah nggak ada?"

Setiap sudut mobil serasa memiliki banyak kenangan, terlebih di dalam sana jadi tempat terakhir mereka saling berkumpul dan bertukar tawa. Momen yang sampai kapan pun tidak bisa terulang lagi.

"Akkkhhh!" pekik Hamna kala merasakan perut bagian bawahnya sakit dan kembali mengencang.

Spontan Hamzah pun menginjak pedal rem, dia menoleh ke belakang, bahkan sampai berpindah tempat melalui celah tengah kursi.

"Kenapa, Na? Mana yang sakit?" tanyanya panik.

"Kamu jangan terlalu stres, itu bisa memicu kontraksi. Saya nggak mau kalian kenapa-kenapa," sambung Hamzah sudah cukup frustrasi.

Hamna mendesis saat merasakan ada sesuatu yang terasa keluar dari celah pahanya. Dia memegang kuat tangan Hamzah, menyalurkan rasa sakit yang kian menghujam.

Hamzah semakin dibuat panik saat menyadari ketuban Hamna pecah, padahal usia kandungan sang istri masih berkisar di angka 32 Minggu. Dia membantu Hamna agar sedikit lebih nyaman, menurunkan sandaran kursi, hingga posisi setengah rebahan.

Dia mengecup ubun-ubun Hamna singkat. "Kita ke rumah sakit sekarang ya, Na," katanya lalu meloncat untuk duduk kembali di balik kemudi.

Hamzah melajukan mobil cukup kencang, sesekali dia menoleh ke belakang saat rintih kesakitan Hamna menguar. Di hari yang sama, dia merasa dunia seolah tengah menjungkirbalikkan hidupnya.

Belum selesai dengan berita kematian Haleeza, kesepakatan gila di antara ibu serta orang tua iparnya, lantas sekarang ditambah pula dengan kondisi kehamilan sang istri yang jauh dari kata baik.

Sepertinya untuk kali ini, kepala Hamzah benar-benar akan pecah!

Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu 30 menit, menjadi hanya sekitar 15 menit. Sesampainya di rumah sakit, dia langsung memindahkan Hamna ke brankar dengan dibantu oleh beberapa tenaga medis.

"Bu Hamna mengalami pecah ketuban dini, dan harus melakukan persalinan sekarang juga, Pak," tutur sang dokter.

"Lakukan yang terbaik asalkan istri dan anak saya selamat."

Dokter itu pun mengangguk singkat. "Bapak bisa temani Ibu Hamna sampai pembukaannya lengkap, saat ini baru bukaan empat. Jika tidak kunjung bertambah, saya lebih menyarankan untuk melakukan operasi caesar. Karena, melahirkan bayi kembar secara normal jauh lebih berisiko, terlebih kondisi Bu Hamna yang sudah mengalami pecah ketuban dini."

Hamzah meraup kasar wajahnya. Dia hanya bisa mengangguk pasrah lalu bergegas menemui Hamna.

BERSAMBUNG—

Padalarang, 15 Februari 2024

Tarik napas dulu guys,  jangan terlalu tegang ah 😂😅 ... Yang mau lahiran, kan Hamna 🤣🤭

Btw, Mama Anggi sama Hamna itu kayak sepasang kakak beradik. Mama Anggi lebih legowo kalau dia yang nyakitin Hamna, tapi nggak pernah tega kalau orang lain nyakitin Hamna. Begitulah kira-kira sepasang menantu dan mertua yang jarang sekali akur ini. 😅🤣

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top