RS | Part 12

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"PASIEN atas nama Haleeza Awaliyyah berusia 7 tahun telah wafat pada har---"

Suasana yang semula hening, menjadi riuh oleh tangis serta teriakan histeris. Bahkan, Hamna sampai limbung tak sadarkan diri detik itu juga.

Hamzah pun hanya mampu terduduk lesu dengan pandangan kosong, dia bahkan tak menyadari sang istri yang tengah berbadan dua dibopong Lingga agar mendapat perawatan.

Tak jauh kacau, Anggi menangis dan meraung. Dia berlari tunggang langgang memasuki ruangan di mana sang cucu berada. Isakannya terdengar sangat amat memilukan, terlebih saat dia melihat tubuh Haleeza yang sudah ditutup kain putih.

Dadanya teramat sesak, dia seolah dejavu. Beberapa tahun lalu, putrinya yang Allah renggut, lantas sekarang sang cucu pun ikut menyusul. Sungguh, rasanya dia tidak sanggup, kehilangan kali ini sakitnya berkali-kali lipat.

Dia peluk jasad sang cucu, tangisnya tak kunjung mengering, bahkan dia pun mengecup kening Haleeza cukup lama. "Za mau kumpul bareng sama Bunda dan Ayah ya di Surga?"

Dielusnya lembut pipi Haleeza yang terasa sangat dingin. "Za mau main sama Bunda dan Ayah ya?"

Wanita paruh baya itu terus meracau, pikirannya benar-benar kacau balau.

Anggi tersentak saat ada seseorang yang menepuk lembut bahunya. Dia tersenyum getir, kala melihat kehadiran sang suami.

"Cucu kita sudah pergi ...," lirihnya.

"Ikhlas, Ma, kita harus ikhlas."

Lingga merengkuh tubuh Anggi guna memberikan sang istri kekuatan. "Mama temani Hamna dulu ya? Semenjak sadar dari pingsan dia terus menangis. Hamzah nggak tahu pergi ke mana."

Anggi menatap Lingga dengan tatapan yang sulit dibaca.

"Temani ya, Ma," bujuknya.

Akhirnya Anggi pun mengangguk kecil. Dia berjalan lesu menuju ruangan Hamna, sedikit enggan tapi dia tak kuasa jika harus menentang pinta Lingga di saat suasana duka seperti ini.

Dia mendorong pintu secara perlahan, suara isakan pilu Hamna seketika memenuhi ruangan. Hatinya cukup tersayat, terlebih saat mendengar kata demi kata yang sang menantu ucap.

"Kalau Buna tahu akan seperti ini, seinci langkah pun Buna nggak akan pernah ninggalin kamu, Za. Buna akan tetap ada di sisi kamu ...."

"Buna salah, Buna berdosa, bisa-bisanya Buna teledor meninggalkan kamu. Maaf, Buna gagal jadi ibu," rancaunya.

"Na," panggil Anggi.

Hamna membalik tubuhnya, dia tersentak dengan kehadiran sang mertua. Dengan susah payah dia pun mendudukkan diri seraya bersandar di antara tumpukan bantal.

Dia meneguk ludah susah payah, kepalanya pun tertunduk dalam. Dia sudah siap untuk mendengar segala caci-maki, sumpah-serapah, ataupun amarah yang pasti akan Anggi layangkan.

Hamna cukup sadar diri, keteledorannya kali ini tidak bisa dimaklumi.

"Jika saya tak mengingat kamu tengah mengandung, sudah saya pastikan kamu akan mendekam di balik jeruji besi, Hamna!" desisnya begitu tajam.

"Kalau memang itu bisa membuat Mama tenang, silakan. Saya sama sekali tak merasa keberatan, saya sadar betul kesalahan saya kali ini memang tidak bisa dimaafkan."

Anggi tertawa sumbang. "Sungguh?"

Hamna mendongak, pandangan keduanya terkunci cukup lama sampai akhirnya dia pun berucap, "Dengan kelapangan hati saya akan menyerahkan diri ke kantor polisi."

"Menyerahkan diri kamu bilang? Itu artinya kamu mengakui kalau memang kamu dalang dari kematian Haleeza. Saya yakin, Haleeza bukan tenggelam, tapi kamu yang menenggelamkan cucu saya, kan?!"

Mata Hamna yang memang sudah memerah, kembali berembun. "Meksipun Haleeza tidak lahir dari rahim saya, bahkan terbilang baru ada di hidup saya. Tapi, sedikitpun tidak pernah ada niatan buruk untuk melenyapkan nyawanya."

"Benarkah?"

Hamna turun dari ranjang, berjalan secara perlahan agar lebih mendekat ke arah sang mertua. "Yuk, Ma ke kantor polisi," cicitnya berusaha untuk menahan tangis.

"Saya tidak peduli akan pandangan dan asumsi Mama, karena sekeras apa pun saya membela diri, saya tetap bersalah dalam hal ini. Saya memang tidak menenggelamkan Haleeza sebagaimana tuduhan Mama, tapi karena keteledoran sayalah Haleeza jadi tenggelam."

Hamna berusaha untuk melebarkan senyumnya. "A Hamzah seperti sudah enggan untuk melihat saya, dan akan lebih baik jika saya mendekam saja di penjara. Mama nggak perlu khawatir ataupun malu, karena memiliki menantu seorang narapidana. Saya bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama sekarang juga."

Anggi pun menarik tangan Hamna, agar mereka segera meninggalkan rumah sakit. "Memang sudah seharusnya kamu bertanggung jawab!"

Langkah keduanya tertahan di ambang pintu, di sana ada Hamzah yang tengah berdiri tegak dengan pandangan menghunus tajam ke arah Hamna.

"Mama mau bawa Hamna ke mana?" tanyanya begitu dingin.

"Kantor polisi!"

Hamzah termenung beberapa saat, urat-urat leher yang semula mengencang, mengendur seketika.

Hamna tak kuasa untuk melihat ke arah sang suami, tapi dia terpaksa untuk mendongak saat merasakan tangannya di cengkeram oleh Hamzah.

"Biarkan Hamzah yang bawa Hamna ke kantor polisi."

Deg!

Jantung Hamna terasa terhenti beberapa saat, tapi detik berikutnya dia tersenyum getir. "Yuk A antarkan saya ke kantor polisi sekarang."

Hamna mengintil di belakang Hamzah, dia sedikit kesulitan mengikuti laju tungkai sang suami yang cukup lebar, dengan kondisi tangan yang dicengkeram.

Tidak pernah sekalipun Hamzah berlaku kasar, dan dia sangat amat tersentil dengan apa yang kali ini sang suami lakukan, walau hanya sebatas cengkeraman.

"Bisa pelan sedikit jalannya, A?" cicit Hamna saat dia merasakan perut bagian bawahnya sakit dan mengencang.

Hamzah diam tak bersuara, tapi laju tungkainya memelan, diikuti dengan cengkraman yang juga mulai mengendur.

"Masuk!" desis Hamzah kala mereka sudah sampai di parkiran.

Hamna menurut tanpa sedikitpun berkomentar. Tidak pernah terbayangkan olehnya, bisa berada di posisi seperti sekarang. Kondisi yang sungguh tidak bisa digambarkan oleh kata-kata. Semuanya terasa serba salah.

Hamna menunduk seraya memainkan jari-jemarinya, sama sekali tak kuasa untuk melihat, walau hanya sebatas melirik ke arah Hamzah, yang justru termenung menatap setir mobil.

Cukup lama mereka berkawan geming, sampai akhirnya Hamna menoleh dan mendapati sang suami tengah tertunduk dengan kepala bertumpu pada setir. Sedikit ragu, dia menepuk bahu Hamzah yang ternyata berguncang.

"Maaf," lirih Hamna ikut meneteskan air mata.

Hamzah menoleh sekilas, pandangan keduanya terkunci beberapa saat.

"Apa maaf kamu bisa mengembalikan nyawa Haleeza, Na?"

Pertanyaan itu singkat, tapi sangat amat menusuk hingga membuat bibir Hamna kesulitan dalam berucap.

Bayangan akan kejadian tadi pagi seolah mengitari kepala Hamna, bagaimana riangnya Haleeza, berusaha untuk mencairkan suasana, bahkan ciuman tadi jadi yang terakhir. Baik bagi dirinya maupun sang suami.

"Za, kan udah kiss Buna, sekarang giliran Buna kiss Papa."

Putri kecilnya seolah ingin memberikan kesan terakhir yang manis, tapi nyatanya itu sangat amat miris, terlebih jika mengingat kepergiannya dengan cara yang tragis.

BERSAMBUNG—

Padalarang, 13 Februari 2024

Hamzah sama Mama Anggi denial guys, mereka serba salah. Rasa iba pada Hamna ada, tapi itu ketutup sama amarah akan meninggalkannya Haleeza. Bingung, kan jadi mereka? 🤧🤣

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top