Pelangi

Semarang, Jawa Tengah.

Lidya membersihkan meja makan dari sisa remah biskuit, butter, dan cokelat yang mengotori meja. Setelah membersihkan meja, dia melihat jam dinding yang terletak tak jauh darinya. Hari ini dia membuat chocolate biskuit cake untuk Aldo, kekasihnya.

Hubungan mereka sudah menginjak tiga bulan dan besok adalah hari aniversary mereka, maka Lidya ingin memberikan kejutan dengan membuatkan roti cokelat kesukaan Aldo. Setengah jam lagi makanan itu akan mengeras. Selagi menunggu cokelat kembali padat, Lidya menyempatkan diri menanyakan kabar Aldo, memberikan sedikit perhatian pada kekasihnya itu. Raut muka Lidya berubah masam ketika pesan via whatappsnya hanya centang satu. Dari dua hari lalu Aldo susah dihubungi. Lidya tidak tahu mengapa. Sebenarnya dia ingin bertanya ada masalah apa dengan kekasihnya itu, tapi Lidya tahu batasan diri sebagai seorang kekasih, mungkin saja Aldo sedang berada di tempat yang sedikit sinyal atau Aldo sedang dalam acara keluarga yang tidak bisa ditinggal sama sekali. Sebab itu dia menunggu balasan pesan dari Aldo, walau dia harus menanti seharian penuh, menatap layar ponselnya seolah-olah pesan Aldo adalah berlian berharga yang tak sengaja dia temukan.

Lidya mendesah pelan. Dia menyisipkan anak rambut ke belakang telinga. Kakinya melangkah keluar dapur mencari kado yang telah dipersiapkan untuk besok. Apalagi, di Semarang tengah mengadakan acara Jateng Fair di PRPP. Dia dan Aldo sudah berjanjian bertemu di sana pukul lima sore, belum lagi ada HIVI yang mengisi acara di sana. Mau tak mau Lidya tersenyum senang mengingat hal itu, berdua dengan Aldo dan menghabiskan sebagian waktunya bersama dengan Aldo akan menjadi hal luar biasa. Saking semangatnya dia mengirim sekali lagi pesan untuk Aldo. Dia tahu jika tidak ada balasan dalam waktu dekat, tapi dia tetap melakukan itu.

Aldo Praditya

Jangan lupa besok, Do.
Aku akan menunggu didekat lampion
Sampai bertemu besok, Aldo
:)

|| PELANGI ||


Dan hari itu terjadi juga. Lidya duduk dikursi kayu dekat lampion-lampion tersusun indah. Dia memangku kotak makan berisi roti cokelat kesukaan Aldo. Hari ini Lidya nampak cantik, dia memakai floral dress warna peach dengan sepatu selop berpita pink, lalu rambutnya dikuncir setengah. Dia menengok ke kanan dan kiri, mencari keberadaan Aldo. Namun orang yang dicarinya tak kunjung menampakkan diri. Lidya mendesah panjang, diambilnya ponsel, mengirim pesan pada Aldo. Tapi, lagi-lagi seperti kegiatan monoton, pesan itu hanya centang satu. Karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, Lidya akhirnya hanya duduk sambil mendengarkan lagu yang terputar dari ponsel, setidaknya dengan ini dia bisa mengusir kekhawatiran yang sempat menyergap pikirannya tentang 'menghilangnya' Aldo beberapa hari ini.

Matahari sudah tenggelam dari cakrawala, semburat senja perlahan padam tertelan hitam yang berkuasa. Suara burung gereja meredam seiring kembalinya hewan tersebut ke sarang. Lampion-lampion berpendar indah di tengah gulita yang mencekam. Suara orang-orang serta mesin genset pembangkit listrik meramaikan acara Jateng Fair malam ini, namun itu tidak selaras dengan Lidya. Dibalik tawa dan wajah gembira orang-orang, gadis itu memasang wajah sendu. Bagaimana tidak sudah hampir tiga jam dia duduk di sana, menunggu seseorang tanpa diberi kepastian. Bodohnya lagi, Lidya masih berharap bila Aldo akan datang menemuinya dan memakan roti cokelat buatannya. Ah... mengingat roti cokelat, mungkin roti tersebut sedikit meleleh akibat panas di tempat dia berada.

Lidya menundukkan kepala, membiarkan lagu terputar berulang kali. Dia ingin menangis, menumpahkan semua rasa kesal, kecewa, dan lelah. Tapi dia sadar, dia berada di tempat umum dan tidak mungkin dia memalukan dirinya sendiri gara-gara kealpaan Aldo. Lidya mendongakkan kepala, melihat gemintang di atas sana. Dia mengerjapkan mata, mengusir air mata yang tiba-tiba menyesaki kelopak matanya. Sekarang dia percaya perkataan temannya, bahwa Aldo adalah seorang laki-laki yang suka memberi harapan palsu. Sama seperti kebanyakan laki-laki, hanya memanfaatkan dirinya saja. Lidya mengusap kasar air mata di pipi, menahan dirinya agar tidak meledak sekarang. Dia menghela napas berat, menenangkan diri.

Jika dirunut, alasan Lidya jatuh cinta pada Aldo bukan karena dia salah satu jajaran most wanted di sekolahnya, bukan juga karena Aldo punya segudang prestasi yang dapat dibanggakan. Lidya menyukai Aldo karena Aldo pernah membantunya menggagalkan percobaan pencurian saat dia turun dari angkutan umum. Dengan gaya soknya, Aldo mencoba mencegah si pelaku pencurian menggunakan kata-kata bohong tingkat dewa dan anehnya orang itu percaya begitu saja. Dari sanalah awal mula benih cinta hadir di hati Lidya. Dia belum pernah menemukan seseorang sebaik Aldo. Walau Lidya paham bila orang seperti Aldo sulit untuk dia jangkau. Mereka berbeda, baik dari banyak teman dan strata kehidupan. Meskipun Lidya bukan dari golongan orang tidak mampu, tapi kalau dibandingkan dengan Aldo sangat jauh.

Lidya perlahan menundukkan kepala, memandang kotak makan yang isinya dia buat dengan susah payah juga dipenuhi ramuan rahasia, yaitu cinta. Alay memang, ini akibat hatinya sedang kasmaran dan sering membaca quote romantis di Instagram. Bibirnya menekuk ke dalam, menghentikan luapan emosi yang tiba-tiba tumpah. Mengingat Aldo mengingatkan juga akan luka-luka yang sering dia abaikan sebab rasa cintanya lebih besar dari perasaan terluka akibat perlakuan Aldo.

Merasa jenuh, Lidya berdiri pergi. Dia menyimpulkan bila Aldo tidak akan datang, tidak akan pernah datang. Seberapa lama pun dia menunggu. Hanya dia saja yang selalu berusaha mendatangi Aldo. Dan dia sudah lelah melakukan hal itu. Lidya pergi meninggalkan kotak makan di atas bangku, dia tidak peduli akan ada yang membuangnya atau syukur-syukur ada yang memakannya jadi tidak terbuang sia-sia.

Langkahnya tertatih ke arah pintu keluar. Namun belum sempat dia mendekati pintu keluar, ada yang memanggilnya.

"Lidya,"

Suara itu, suara berat itu, Lidya mengenalinya. Suara yang familiar di telinganya. Dia sering memutar suara itu sebelum tidur sebagai ucapan selamat tidur. Dan beberapa hari lalu suara itu lenyap tanpa alasan. Tapi, hari ini suara itu kembali terdengar. Maka, Lidya segera membalikkan badan, menghadap sang pemilik suara.

Di tempatnya dia membeku, diam sesaat sambil menatap kosong seseorang yang berjalan ke arahnya.

"Hei." kata orang tersebut. "Sorry gue telat."

Lidya hanya bisa diam memandang Aldo. Ya dia depannya ada Aldo. Dia nyata. Lidya menundukkan kepala, memandang jalinan jemarinya yang menyatu.

"Eh, sekarang ada HIVI yang ngisi, lo mau langsung duduk di sana?" tanyanya. "Daripada nanti nggak bisa lihat gara-gara banyak orang yang bakal nonton. Ayo." Aldo menarik tangan Lidya menuntunnya agar mendapat tempat duduk.

Selama perjalanan menuju panggung tempat konser, Lidya hanya diam saja. Membiarkan dirinya digandeng Aldo tanpa banyak bicara. Dia menatap tangannya yang bertaut dengan tangan kekasihnya. Ada yang mengganjal. Rasanya ada batu besar yang menghalangi hubungan mereka. Tak ada rasa berbedebar seperti biasa. Hampa, itu yang Lidya rasa saat ini.

Ketika panggung terlihat jelas, Lidya menyentakkan tangan Aldo. Dia berdiri sambil menunduk kepala, sedangkan Aldo menatapnya bingung. Lidya mengalami kegelisahan berat. Di kepalanya banyak sekali pemikiran berkelebat tentang hubungan tak jelas ini. Dia ingin menyerah dan hari ini akan jadi hari yang panjang. Lidya harus mengatakan perihal gundah hatinya pada Aldo agar laki-laki itu tahu bila dirinya juga butuh kepastian, bukan perasaan simpang siur yang harus dia duga.

"Lid, ada apa?" tanya Aldo. Dia maju selangkah untuk mengambil tangan Lidya, namun tertahan oleh cairan bening yang berkumpul dikelopak mata gadis itu. "Lid,"

"Aku nggak tahu, Do. Aku nggak tahu sekarang aku sedang merasakan apa. Aku bingung dengan hubungan kita. Maksudku, apa seperti ini rasanya pacaran? Atau hanya aku yang merasa kita sedang pacaran?" Lidya menitihkan air mata. Biar saja dia dikatakan drama queen, biar saja dia dikatakan cengeng, tapi yang terpenting dia bisa mengungkapkan isi hatinya yang telah lama menganjal. "Aku tidak bohong kalau aku benar-benar menyukaimu dan aku sangat bersyukur kamu mau menjadi kekasihku, tapi ... apa ini? Hubungan apa yang kita jalani saat ini, Aldo? Aku merasa, aku yang berjuang di sini. Kamu hanya diam di tempat, aku selalu lari mengajakmu, tapi kamu nggak mau. Lantas apa tujuan hubungan ini, Aldo? Kamu enggak mempermainkan aku kan?"

Pertanyaan ini berhasil menohok ke ulu hati Aldo. Dia membeku, mencerna perkataan Lidya. Dia paham, sangat-sangat paham jika Lidya gamang oleh hubungan mereka yang terasa hambar. Aldo juga tidak menampik itu. Dia membenarkan perkataan Lidya. Dialah muara dari segala rasa gelisah gadis itu. Dia sadar beberapa hari ini tidak bisa dihubungi, bukan karena ponselnya rusak atau tidak ada sinyal, tapi karena dia memang tidak mau dihubungi. Dia ingin memiliki jeda sebentar di tengah kerisauannya tentang perasaan dia sendiri. Dia menyukai Lidya, itu benar. Tapi dia takut rasa itu hanya sekedar rasa suka sesaat, maka dia mengambil keputusan untuk menjauh sebentar, menata kembali hatinya yang dulu pernah dihancurkan hingga berkeping-keping oleh gadis yang dulu sangat dia puja.

Aldo berdeham, mengusir kecanggungan diantara mereka. Dia masih melihat air mata menetes di sudut mata Lidya. Tangannya berinisiatif menghapus air mata tersebut, namun tertahan oleh pemikirannya. Ini harus segera diselesaikan jika tidak dia, maksudnya mereka, selalu jalan di muaral atau mungkin akan bubar.

"Maaf kan gue, Lid. Maaf membuat lo merasa berjuang sendiri untuk hubungan ini. Maaf udah buat lo merasa aneh sama perasaan lo ke gue. Gue minta maaf." katanya.

Tanpa Aldo sadari, Lidya sedang menahan sesak yang merajai. Banyak spekulasi yang hadir di otaknya, tapi yang paling mendekati benar adalah, Aldo memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Lidya hampir terisak lagi sebelum suara Aldo mengambil alih perhatiannya.

"Gue akan jujur sama lo sekarang." Aldo menatapnya lembut. "Gue trauma sama hubungan lawan jenis, Lid. Gue pernah gagal sama cewe yang dulu gue suka. Gue terlalu mendamba dia sampai-sampai gue rela dijadikan ATM, pesuruh, dan tempat dia menetap sejenak." Aldo menghirup napas panjang. "Gue mati-matian buat dia senang dan setidaknya dengan begitu dia nyaman sama gue dan mau lihat gue. Tapi yang terjadi malah gue hanya dibuat mainan dia doang. Dari sana gue mulai menutup hati. Gue berpikir kalo semua cewe itu sama, cuma mau enak aja kalo udah bosen dibuang."

Lidya mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Aldo. Dia tidak menyangka bila Aldo memiliki masa lalu yang suram. Tapi... itu tidak menjadi pembenaran atas apa yang Aldo lakukan padanya. Jika sampai Aldo memanfaatkan dia berarti Aldo sama seperti gadis yang dia kejar-kejar.

"Lo pasti lagi mikir kalo gue sama kayak cewe yang gue suka itu. Yang dengan seenak jidat memanfaatkan lo sampai gue bosen, kalau udah bosen gue bakal buang lo. Bener, Lid?"

Lidya tersentak kaget. Matanya membelalak lebar. Dia kemudian menundukkan kembali kepalanya sambil menyumpah serapahi pikirannya yang dapat dengan mudah dibaca oleh Aldo. Hish, harusnya dia sadar Aldo itu orang yang bisa membaca pikirannya atau mungkin dia orang yang mudah ditebak. Ih, menyebalkan!

Aldo terkekeh melihat perubahan emosi Lidya, dia mengacak pelan rambut gadis itu hingga berantakan. Mau tak mau semburat merah jambu merambat ke pipinya. Untungnya saat ini malam hari, jadi bisa menyamarkan wajah blushingnya. Dia menepis tangan Aldo dan memasang muka cemberut mengartikan dia belum bisa menerima lelaki itu.

Aldo memajukan selangkah lebih mudah. Dia mengusap bahu mungil Lidya sampai si pemilik menatap kedua netranya yang gelap.

"Tapi itu salah, Lid. Gue nggak pernah main-main sama lo. Iya, kita pacaran seperti kebanyakan orang. Pasti ini gara-gara lo sering dengerin anak-anak sekolah nyinyirin gue kan? Jadi lo terpengaruh sama omongan mereka." tanya Aldo. "Gue mohon jangan didengerin, mereka ngomong tanpa pake fakta dan kebenaran. Dan yah lo tahu sendiri apa artinya kan?"

Lidya perlahan mengangguk. Kedua tangannya mencengkeram tali sling bag. Dia masih belum berani melihat wajah Aldo. Terlalu banyak emosi yang bercampur aduk saat bersi tatap dengan kekasihnya.

Ah, menyebut Aldo sebagai kekasihnya setelah semua terungkap membuat jantungnya kembali kebat kebit kayak lomba Motor GP. Rasanya ada manis-manisnya gitu.

Aldo bisa melihat jika Lidya mulai menerima dirinya lagi, gadis itu sudah tenang. Dan seharusnya ini dia lakukan dari dulu. Hanya karena dia enggan mengakui masa lalunya, membuat kehidupan dia sekarang berantakan dan menduga-duga semua yang dia alami bisa sama mengenaskannya dengan masa lalu. Dia bersyukur Lidya adalah gadis yang mudah memaafkan orang dan mau menerima kembali orang tersebut. Walau Aldo tahu suatu saat Lidya akan muak dan membenci dirinya jika terus-terusan berbohong.

"Lid," panggil Aldo.

Lidya mendongakkan kepala. "Ya?"

"I love you dan gue berterima kasih sama Tuhan udah kirimin lo buat gue. Semoga lo bisa buat gue lebih baik ya, Lid. Tujuan hubungan kita bukan sekadar buat senang-senang doang, kalo udah nggak senang atau merasa bosan kita putus. Gue nggak ingin hubungan kayak gitu. Hubungan kita ini karena kita yakin satu sama lain bisa melewati jalanan terjal di depan sana, saling support kalo ada yang mulai melemah, dan bisa menahan ego kalau beda pendapat. Lo setuju nggak?"

Lidya mengangguk semangat. Diam-diam dia menahan haru dan menerjang Aldo untuk dipeluk. Lidya mengelap air mata yang sialnya tidak mau berhenti menetes. Dia senang, dia bahagia, dia merasa... pokoknya nggak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.

Aldo. Laki-laki itu berhasil menempati hatinya. Terdaftar sebagai salah satu orang yang Lidya cintai setelah Tuhan, Rasul, orang tua, keluarganya, dan teman-temannya.

Setelah semua terselesaikan, Aldo mengajak Lidya untuk berdiri dekat panggung menanti HIVI tampil. Aldo menggenggam erat jemari kecil Lidya memberikan kehangatan di sana.

"Eh, roti cokelatnya gue makan ya?" tanya Aldo dan didapati anggukan dari Lidya.

Lidya menganggukkan kepala, "Iya makan aja, Do."

Sembari makan roti cokelat, mereka duduk bersebelahan menunggu HIVI tampil. Lama kelamaan orang-orang berkumpul memenuhi area sekitar panggung.

Suara riuh orang-orang menyambut kedatangan HIVI memasuki panggung. Karena tubuhnya sangat mungil diantara orang-orang yang berjibun, Lidya harus berjinjit agar bisa melihat grup band tersebut tampil.

Duh, kalau kayak gini aku nggak bisa lihat HIVI! Keluh Lidya dalam hati.

Melihat kekasihnya berjinjit, terkadang melompat kecil membuat seulas senyum terbit di bibir Aldo. Lidya sangat lucu. Aldo terkekeh pelan lalu mendorong bahu Lidya mendekat kearahnya. Gadis itu terkesiap oleh tindakan tiba-tiba Aldo, dia menoleh ke belakang bertanya pada kekasihnya. Aldo hanya tersenyum sambil menunjuk kearah panggung dengan dagunya dan perintah Aldo dia lakukan. Benar saja, dari tempat ini dia bisa lebih jelas melihat HIVI di panggung, hebat benar kekasihnya ini!

Tidak lama terdengar alunan musik, HIVI mulai menyanyikan lagu pertamanya. Pelangi, judul lagu tersebut menjadi pembuka acara di Jateng Fair malam ini.

Selama HIVI bernyanyi dengan ayunan nada yang merdu, Lidya tenggelam dalam buaian lagu tersebut. Begitu menggambarkan dirinya beberapa menit lalu saat kegamangan hati menyergapkan. Mata gadis itu berkilat oleh sinar cahaya lampu panggung, tatapannya memandang lurus pada vokalis HIVI yang sangat menghayati lagu tersebut. Tanpa sadar sebuah lengan melingkari bahu mungilnya, dagu seseorang bertumpu pada bahunya, tidak usah ditebak pun Lidya tahu siapa pemilik tangan dan dagu itu. Lidya merasa senang, rasanya bagai di alam mimpi.

"Aku nggak akan datang terus pergi begitu saja sebab kamu bukan tempat persinggahan sementara. Aku nggak akan memperpanjang harapan, karena aku akan mewujudkan harapan mu. Lidya, kamu adalah pelabuhan hatiku. Jadi jangan ragu terhadapku."

Lidya ingin menangis, bukan hanya ucapan indah dari Aldo, bukan juga kata ganti aku-kamu yang laki-laki itu gunakan, apalagi syahdunya suasana malam ini ditambah nyanyian HIVI yang mirip sekali dengan dirinya. Tapi akibat debaran jantungnya yang menggila bisa-bisa dia pingsan di tempat. Ternyata begini rasanya memiliki perasaan kepada seseorang yang sangat dicintai kemudian disambut hangat olehnya. Tiada tara.

Lidya menikmati momen-momen yang berjalan, membiarkan detik mencairkan waktu. Ingatan ini akan selalu dia simpan dalam memori terindah sebagai sebuah saksi jika mereka saling mencintai.

Ku ingin cinta hadir untuk selamanya
Bukan hanya lah untuk sementara
Menyapa dan hilang
Terbit tenggelam bagai pelangi
Yang indahnya hanya sesaat
Tuk ku lihat dia mewarnai hari

Tetaplah engkau di sini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu
Untuk cinta sesaat

Mengapa ku tak bisa jadi
Cinta yang tak akan pernah terganti
Cinta yg tak kan terjadi
Lalu mengapa kau masih di sini
Memperpanjang harapan

Tetaplah engkau di sini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu
Untuk cinta sesaat

Kau bagai kata yg terus melaju
Diluasnya ombak samudera biru
Namun sayangnya kau tak pilih aku
Jadi pelabuhanmu

Tetaplah engkau di sini
Jangan datang lalu kau pergi
Jangan anggap hatiku
Jadi tempat persinggahanmu

Bila tak ingin di sini
Jangan berlalu lalang lagi
Biarkanlah hatiku
Mencari cinta sejati
Wahai cintaku
Wahai cinta sesaat

(HIVI, PELANGI)

|PELANGI|

LidyaPutriN03
❤430

Habis makan roti cokelat mampir starbuck cuma buat beli minum sama beli roti satu aja. Maklum dompet anak sekolah cuma bisa beli segitu. @AldoFS

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top