Berdua Lebih Baik

Semarang, Jawa Tengah.

Yusuf Ardi Putra
Online

Iya, ini lagi siap-siap

Jangan lupa pake jaket sama
Celana panjang
Gue tunggu di depan rumah

Oke

Arumi menutup room chat pribadi dengan Yusuf, kemudian menelusupkan benda tersebut ke tas mini berbentuk kepala doraemon. Dia merapikan baju, bersiap diri menyambut kedatangan Yusuf. Kakinya melangkah mendekati pintu rumah, belum sampai pintu suara ringkih seseorang menghentikannya.

"Mau kemana sepagi ini, Rum?" tanya ibunya.

"Lari pagi, Bu, sekalian mau lihat matahari terbit di Marina." jawabnya singkat.

Ibu Arumi menampilkan wajah sendu, memegang kedua pundak mungil anaknya.

"Hati-hati. Kamu pergi berdua doang sama laki-laki, walau kamu seribu kali ngomong sama ibu kalo Yusuf laki-laki yang baik, tapi sebagai ibu, ibu tetap saja khawatir." katanya sembari mengelus pundak anaknya.

"Iya, Bu. Kalo Yusuf macem-macem sama aku, entar aku patahin lehernya pake jurus andalan yang ibu ajari. Oke?" Jari telunjuk dan ibu jari bertautan membentuk huruf O.

Mau tak mau ibu Arumi tersenyum dan menganggukkan kepala.

Tidak lama terdengar suara klakson motor. Arumi dan ibunya berjalan keluar. Di sana Yusuf berdiri sambil memperhatikan dua wanita beda generasi itu, dia melangkah mendekati ibu Arumi ketika ibu Arumi sudah dekat dengannya.

"Pagi, Bu. Saya ajak Arumi pergi sebentar ya." ujarnya seraya mencium tangan ibu Arumi.

"Iya, hati-hati ya, Nak."

Kemudian, dua anak muda itu berlalu dari hadapan ibu Arumi diiringi deruman motor besar Yusuf.

--BERDUA LEBIH BAIK--

Arumi turun dari motor, menyerahkan helm pada Yusuf. Matanya memandang seberkas cahaya oranye di ufuk timur. Lautan menggulung ombak hingga lenyap sampai di tepi. Udara pagi yang masih berembun bercampur dengan bau khas air laut menyapa kedatangan mereka.

Arumi menghirup dalam-dalam aroma kesegaran alam, melapangkan seluruh kesesakkan yang menahan fungsi pernapasan. Dia memejamkan mata, meresapi sapuan angin pantai yang mengecup lembut permukaan kulitnya. Perlahan, dia membuka mata, menatap bahagia ujung laut yang menampilkan gemilau cahaya oranye sang mentari.

Yusuf memperhatikan Arumi yang menikmati suasana pagi di pangkal pantai dekat bandara Ahmad Yani Semarang.

"Kita ke sini mau ngapain?"

Yusuf membuyarkan konsentrasi Arumi menikmati keindahan alam di pantai Marina. Dia melirik sekilas Yusuf, kemudian beralih lagi pada langit fajar yang pelan-pelan menjulang matahari.

"Kita ke sini untuk mensyukuri nikmat Tuhan yang selalu kita abaikan." Arumi menarik lengan jaket Yusuf, sebelumnya dia membenahi tas gitar, entah kenapa pacarnya itu senang sekali membawa alat musik tersebut. "Hayuk!" katanya semangat.

Mereka berdua berjalan menuju jembatan bambu sederhana buatan para nelayan penghubung ke kapal mereka. Arumi sedikit menyeret Yusuf supaya berjalan cepat agar tidak melewatkan matahari terbit pagi ini.

Yusuf tanpa sadar menundukkan kepala ke bawah, mencermati ombak kecil yang menelan sebagian batang bambu penyangga jembatan, belum lagi suara derit bambu saat kaki melangkah menambah rasa ciut dirinya untuk menarik langkah lebih jauh. Tiba-tiba saja Yusuf merasa mual dan pusing. Tangannya merengangkan cengkeraman tangan Arumi. Tapi, Arumi tidak mau menuruti permintaan Yusuf untuk berhenti sejenak.

"Nanti kita kelewatan matahari terbitnya. Ayolah, Suf, tinggal dikit doang kita bakalan sampai di pucuk." omel Arumi.

Dia berganti menautkan kelima jarinya ke sela-sela jemari Yusuf, menarik laki-laki itu. Arumi memberi sedikit keyakinan dari pancaran matanya bila ini akan baik-baik saja.

Akhirnya mereka sampai di ujung jembatan. Arumi memutuskan duduk, Yusuf melakukan hal yang sama. Yusuf masih terdiam, menenangkan rasa pusing dan mual akibat mabuk laut. Dia tidak mengira jika hal seperti ini akan terjadi padanya. Mabuk laut tapi masih di pinggir pantai, apa kata dunia?

Arumi melihat wajah pucat Yusuf. Dia merasa bersalah memaksa pacarnya menuruti kemauan Arumi. Dia memijat pelan tengkuk Yusuf sampai laki-laki itu menatap bingung padanya.

"Sebagai penebusan rasa bersalah maksa lo sampai sini." ujarnya dibarengi senyum lembut.

Tidak butuh waktu lama, rasa pusing dan mual berangsur-angsur menghilang. Tangan Arumi tak lagi berada di tengkuk Yusuf, sedangkan Yusuf mulai mengamati matahari yang merangkak naik, menyemburkan sinar kuning terang.

Asyik menikmati pemandangan indah ciptaan Tuhan, Yusuf merasa telinganya ada yang menyumbal. Dia mendapati sebelah earphone terpasang di telinga kirinya, lalu dia beralih pada gadis di sampingnya yang memejamkan mata seraya meresapi kesederhanaan bumi mempersembahkan pagi yang menakjubkan. Lamat-lamat terdengar suara, sebuah lantunan ayat suci Al-Quran memenuhi telinganya.

Surat Ar-Rahman, batin Yusuf.

Sekali lagi dia memandangi wajah teduh Arumi, mengagumi sosoknya yang terlihat dalam balutan kecantikan alami. Hidungnya tidak terlalu pesek ataupun mancung, pipinya menggembung, bibirnya berwarna merah muda. Yusuf tanpa sadar memindai Arumi sembari bergumam berbisik.

Arumi membuka mata, mengerjapkan pelan kelopak matanya untuk menyesuaikan cahaya mentari masuk ke mata. Lantas, bergeser ke sebelah melihat Yusuf. Tatapan mereka bertemu, menumpahkan segala rasa lewat pancaran netra. Hidup, tenang, dan damai. Semua itu bergabung, menitihkan sebuah harapan bagi keduanya. Seolah terdapat magnet tak kasat mata, Yusuf mendapatkan dorongan untuk mendekat pada Arumi. Namun, belum juga terealisasikan pikirannya, Arumi berbicara dan menghentikan aksi Yusuf.

"Gue termasuk hamba yang sedikit bersyukur. Gue selalu mengeluh kalo ujian datang. Gue selalu menyumpah serapahi takdir yang gue jalani. Gue bahkan berharap dunia ini fana, ini mimpi." ucapnya sambil memandang benda bulat oranye yang bertahta di langit biru. Lantunan surat Ar-Rahman masih terdengar diantara perkataan Arumi.

"Fabiayyi alaaa i robbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

"Padahal banyak sekali hal yang telah Tuhan berikan sama gue. Mulai dari oksigen gratis, cahaya matahari gratis, dan makanan berlimpah di rumah." Arumi menarik napas panjang. "Tapi, gue masih berasa kurang, masih ada yang belum terpenuhi, dan seolah itulah bagian terpenting. Gue merasa orang paling bodoh di dunia." Dia menjelaskan panjang lebar.

Yusuf terdiam mendengarkan, memasangkan kepingan puzzle yang bercecer. Kerutan di dahi laki-laki itu terbentuk, memahami gadis di sampingnya. Perkataan Arumi terkesan ambigu dan itu membuatnya kewalahan memikirkan jalan keluar. Sebagai pengganti, Yusuf mengenggam tangan Arumi, menyalurkan segunung kenyamanan. Ditatapnya gadis itu, Arumi terlihat ringkih. Menurutnya, Arumi bukan gadis yang suka mengumbar masalah, dia gadis ceria, memiliki semangat seambrek bahkan kelebihan hingga dia tidak bisa diam disatu tempat. Tapi melihat Arumi seperti ini, di depannya, Yusuf merasa ada batu besar yang menganjal jalannya.

"Hei," ucapnya sambil mengangkat dagu Arumi agar memandang dirinya. "Itulah manusia, dia selalu memohon keinginannya, tapi ketika keinginan itu terkabulkan, bukannya merasa puas atau bersyukur dia malah meminta lebih. Karena manusia adalah makhluk yang serakah." Tangan Yusuf berganti ke pipi Arumi mencubit pelan seperti yang sudah-sudah. "Makanya, mulai sekarang belajar mensyukuri apa yang kamu punya. Karena dengan itu hidup lo akan tenang." Senyum terbit di bibirnya.

Arumi mengerjapkan mata, menghela napas kembali. "Okay. Gue akan coba."

"Dan ingat, Rum, lo nggak sendirian. Kalo lo capek belajar bersyukur, masih ada orang tua lo. Dengan mengingat mereka, lengkap, dan ada di dunia, lo gunakan aja sebagai acuan untuk terus bersyukur pada Tuhan. Anugerah terindah dari-Nya untuk lo." Yusuf menepuk puncak kepala Arumi.

Di seberang sana terdengar tawa kecil. Arumi terkekeh seraya menganggukkan kepala. Dia mengusap butir air mata yang jatuh dari pelupuk. "Thank's, akan selalu gue ingat pesan lo, Mas Pacar."

Keduanya tertawa. Matahari sudah bersinar terang, bisik-bisik para pemancing ikan mulai terdengar. Deru ombak menghantam kapal dan suara kicau burung dari balik rimbunnya ilalang meramaikan kesyahduan pagi ini.

Tiba-tiba Yusuf menarik tas gitar yang bertengger di punggung Arumi, melepas alat musik tersebut dari sangkarnya. Setelah itu, mendudukkan gitar di pangkuan Yusuf.

"Oke, untuk merayakan lo yang mulai belajar bersyukur dan sebagai rasa terima kasih gue udah dikasih lihat pemandangan matahari terbit, juga lantunan ayat sucinya, gue akan menyanyikan satu lagu buat lo."

Bunyi petikan gitar tertangkap indra pendengaran Arumi, melebur bersama kehangatan sinar mentari. Hembusan angin ikut berkontribusi menciptakan atmosfer bahagia diantara Arumi dan Yusuf.

Pandangan gadis itu terpaku pada sosok dihadapannya. Nyata dan menenangkan. Dia tidak pernah begitu diperhatikan seseorang sedemikian rupa. Kedua orang tuanya, teman-teman yang datang silih berganti hanya sebagai figuran dalam hidupnya. Tapi Yusuf, pacarnya itu senantiasa ada untuk Arumi. Inilah yang Arumi syukuri pada Tuhan karena Dia telah mendatangkan Yusuf untuknya.

Lihat awan disana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahu

Ingin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus ku jalani

Berdua dengamu pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut

Acha Septriasa - Berdua Lebih Baik

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top