Berbeda

Semarang, Jawa Tengah.

Pupung mengayuh sepeda menyusuri gang bertuliskan nama jalan Sadewa V. Laki-laki itu membelokkan sepeda gunungnya menuju sebuah rumah sederhana. Tak lama bangunan tujuannya terlihat. Rumah itu biasa saja, warna hitam dan cokelat tua. Hanya ada pohon beringin tua yang menaungi rumah tersebut. Rerumputan taman terpangkas rapi pertanda sering dirawat. Dia membuka gerbang besi sehingga menimbulkan derit pelan sebab pagar itu mulai berkarat karena percampuran oksigen, hujan, dan panas. Aura dari bangunan sederhana tersebut mengundang hawa mistis, mendirikan bulu kuduk saat menatap lama rumah itu. Belum lagi, konon katanya sering terlihat penampakan astral dari pohon beringin tua yang menaungi rumah itu. Makanya masyarakat jarang sekali bertandang ke rumah yang Pupung kunjungi sekarang.

Pupung memarkirkan sepeda dekat teras rumah, setelah itu langkah kakinya berjalan ke depan pintu kayu tua yang warnanya mulai memudar termakan usia. Dia mengetuk pelan sembari memanggil nama penghuni rumah. Terdengar suara pintu terbuka, memperlihatkan wajah pucat seorang gadis muda. Dia mempersilahkan Pupung masuk dan menawarinya minuman untuk mengusir rasa haus.

Pupung sendiri awalnya takut bertamu di rumah yang layak menjadi rumah hantu dibandingkan rumah hunian manusia. Pertama kali masuk, dia disuguhi jejeran patung manekin dengan berbagai macam busana dan rambut palsu yang menempel di sana. Juga aura mengerikan dari balik lemari kaca tempat penyimpanan boneka anak-anak mirip Annabelle, bahkan di kamar tidur gadis itu pun tersusun rapi boneka tersebut. Ditambah nyanyian Reserve dari Karl Mayer yang diputar berulang-ulang sampai Pupung hafal betul lirik lagunya. Dari mesin pencarian ponselnya, lelaki itu penasaran kenapa setiap dia mendengar lagu tersebut selalu pusing dan mual. Ternyata, Reserve adalah lagu paling menyeramkan di dunia. Bagi mereka yang mendengarkan terus menerus lagu menyeramkan itu akan timbul efek pusing dan mual, juga mendadak takut tanpa alasan yang jelas.

Itu lah mengapa para warga sekitar menghindari bertamu ke rumah gadis berdarah campuran Indonesia-Rusia yang menempati rumah ini.

Namun, Pupung sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar rumah. Tidak lagi ada rasa takut atau hal-hal aneh. Karena memang rumah ini tidak ada hal yang mencurigakan, hanya saja tatanan letak dan dekorasi rumah yang terlalu kaku sehingga masyarakat beranggapan buruk bila rumah teman sekolahnya adalah rumah hantu.

Pupung menatap Rebecca--nama gadis yang duduk di depannya sambil meletakkan kopi susu kesukaan lelaki itu. Matanya tertuju pada titik-titik merah yang berada sepanjang garis pipi kanan sampai pipi kiri, menunjukkan bila Rebecca benar-benar keturunan Rusia. Mata gadis itu berwarna abu-abu, bibirnya tipis namun warna merah muda masih menghiasi di sana. Rambutnya pirang jika terkena sinar matahari rambut itu terlihat apik, apalagi rambut Rebecca yang halus dan tebal membuatnya makin cantik mirip iklan shampo di televisi.

Pupung sudah memindai Rebecca dari atas sampai bawah, kemudian mengeluarkan beberapa buku pelajaran sebagai alasan kedatangannya kali ini.

"Beca, kemarin aku hanya mencatat sampai Perang Dunia kedua saja, jadi untuk bab selanjutnya harus meringkas sendiri." Ujar Pupung sembari mengangsur buku catatan sejarahnya.

Rebecca mengambil buku tersebut. Tangan mungilnya yang berkulit putih pucat terasa dingin ketika menyentuh kulit Pupung. "Terima kasih, Tung Tung."

Ah, Pupung juga ingat. Gadis bule di depannya ini selalu salah menyebut namanya menjadi jajanan zaman dulu. Berulang kali Pupung memberitahunya untuk memanggil Pupung bukan Tung Tung, tetapi, gadis itu senantiasa memanggilnya Tung Tung. Dan setelah ditelisik lebih lanjut, Rebecca memiliki penyakit aneh yang menyerang otaknya. Dia sering lupa kejadian-kejadian selama dua bulan terakhir. Pupung heran kenapa diusia semuda ini, Rebecca punya penyakit amnesia sementara. Dan beberapa minggu lalu dia baru tahu, jika Rebecca sering mengonsumsi obat penenang dan obat tidur tiap malam agar dia bisa tidur tenang. Juga dari pencariannya di mesin google, bila terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan tersebut dapat menurunkan daya ingat otak. Lantas, gadis itu sering lupa pelajaran, tempat tinggal, sekolah, bahkan namanya sendiri. Semisal penyakit Rebecca menyerang, gadis itu kadang seperti orang linglung yang tersesat. Maka, Pupung sebagai teman dekat, sebab teman-teman di sekolah mengucilkan Rebecca, selalu mengingatkan atau memunculkan kembali memori yang tiba-tiba hilang. Sampai saat ini pun, Rebecca terbantu oleh usaha Pupung.

"Tung, besok Papa mau pulang." Ucapnya sambil menyalin catatan dari buku Pupung. "Saya harus menyiapkan apa ya, Tung Tung? Saya lupa makanan kesukaan Papa. Kemarin saya sempat lupa bagaimana wajah Papa, untung kamu menyelipkan foto saya dan Papa waktu kecil diantara buku pelajaran."

Yang mengherankan lagi adalah kenapa kedua orang tua Rebecca meninggalkan gadis itu sendirian di rumah, sedangkan kedua orang tuanya asik bekerja. Keluarga aneh.

Pupung menyesap manis kopi, uapnya mengepul menguarkan aroma khas yang dia sukai. Laki-laki itu kembali menatap Rebecca, kulit wajahnya yang putih pucat seolah-olah dia tidak memakan makanan bernutrisi atau kurang terkena sinar matahari. Rebecca memiliki tatapan mata tajam, orang-orang mengira bila dia kerasukan iblis dari kerak neraka.

"Beca bagaimana kalau kita belajar di teras rumah?" Tanya Pupung sambil mempelajari raut muka Rebecca.

Kedipan mata gadis itu melakukan gerakan naik turun yang konstan. Gadis yang seperti boneka manekin itu mengangguk seraya tersenyum tipis. "Baik, Tung. Saya suka ide kamu. Saya jarang sekali keluar rumah." Ujarnya sembari memberesi buku yang berserakan di atas meja.

Mereka bedua berjalan menuju teras rumah. Ada dua kursi kayu dan meja panjang yang muat untuk buku-buku mereka. Pupung menempatkan diri di depan Rebecca, sedangkan gadis itu duduk tenang sambil membolak balikkan halaman. Wajah Rebecca tenang, damai, dan sendu. Pupung mengira akan menemukan kantung mata hitam mirip panda di mata Rebecca, namun tak ada satu pun jejak di sana. Dia sempurna bagaikan boneka barbie yang diperuntukan untuk orang kalangan atas saja.

"Kamu tidak belajar, Tung Tung?" Rebecca menatap Pupung. "Kenapa malah melototi saya? Ada yang salah? Atau ada jerawat di wajah saya?"

Pupung tersenyum kecil sebagai balasan. "Tidak. Kamu cantik seperti biasa."

Bukannya merona malu atau salah tingkah seperti kebanyakan perempuan ketika dipuji, Rebecca malah membalas senyum dan mengucapkan terima kasih. "Saya sudah kerap kali mendengar pujian itu, kamu orang keseratus yang mengatakan hal itu." Dia kembali membuka lembar selanjutnya buku dari Pupung. "Tung, ini jawaban dari nomor empat ya?" tanyanya.

Tubuh Pupung maju lima senti melihat tulisan yang ditunjuk oleh Rebecca. "Iya itu jawabannya."

Waktu terus bergulir, dua jam sudah mereka bergerumul dengan tugas. Kopi susu di cangkir sudah tandas dari tadi. Bosan melanda dirinya, Pupung bertopang dagu sambil memperhatikan gurat wajah Rebecca. Sekali lagi dia mengamati pahatan sempurna makhluk ciptaan Tuhan di depannya.

Pupung sempat berpikir, setelah lama mengingat kejadian lalu, apa Rebecca tidak merasa kesepian? Soalnya gadis itu tipe orang yang cuek. Ditambah ini tahun keduanya bersekolah di sekolah umum setelah Rebecca selama 9 tahun home schooling.

"Becca," panggil Pupung. Gadis di depannya mendongak sedikit, menaikkan alisnya sebagai tanda; kenapa?. "Kamu tidak merasa kesepian selama ini?"

Rebecca menautkan alisnya. "Maksud kamu apa, Tung Tung?"

Pupung membenarkan duduknya. "Selama ini, mungkin sembilan tahun ditambah setahun lalu, aku sering lihat kamu sendirian, nggak ada teman yang bareng kamu. Apa kamu nggak merasa kesepian nggak ada teman-teman disekitarmu?"

"Saya punya kamu sebagai teman saya, Tung Tung, jadi saya tidak kesepian." jawaban itu bukan yang Pupung inginkan.

Pupung mendengkus pelan, mengelus dadanya seolah bisa meredam amarah. Gadis secantik Rebecca bisa lemot juga ya.

"Bukan itu maksud aku, Becca." Dia menekan emosinya dalam-dalam. Sabar, Pung, sabar. Orang sabar banyak yang sayang. "Gini lho, Becca. Kamu selama ini, selama hidup kamu, apa tidak merasa kesepian ditinggal di rumah sendirian, ditinggal orang tua kerja, dan nggak punya teman disekitar. Apalagi warga setempat kayak menjauh dari kamu." ujarnya.

Rebecca terdiam sejenak, mencerna pelan perkataan Pupung. Dia mengusap punggung tangannya sembari mengerjapkan mata, merunut kalimat.

"Siapa yang bilang saya tidak merasa kesepian, saya sangat merasa kesepian. Tiap hari saya diam, mengamati orang-orang yang tertawa bahagia, bahkan saya kadang iri dengan mereka." Rebecca tetap mengelus punggung tangannya. "Tapi, kalau saya terus-terusan merasa iri, hidup saya tidak akan bahagia. Saya nanti membanding-bandingkan hidup saya dengan orang lain. Saya tidak mau jadi orang yang kurang bersyukur, Tung Tung."

Pupung diam mematung di tempat. Dia menatap sendu gadis berwajah pucat di depannya. Hembusan angin yang menerbangkan daun kering mengotori halaman rumah Rebecca. Hening tercipta, keduanya bungkam.

"Dan soal Papa dan Mama, sebenarnya saya ingin mereka berdua memberi saya perhatian yang layak seperti anak-anak kebanyakan. Tapi kondisi dan situasi keluarga saya tidak memungkinkan, dan saya harus belajar memaklumi mereka. Mereka bekerja untuk saya, Tung, saya sudah bersyukur ada orang yang mau membiayayai hidup saya. Sebagai balas budi saya tidak merengek minta ini itu, saya paham kondisi kedua orang tua saya." ujar Rebecca dengan nada lembut, tak ada nada sedih sama sekali.

Kedua kalinya Pupung diam mematung. Penuturan Rebecca begitu tulus. Jika kebanyakan anak meminta, merengek, gembar gembor sana sini untuk diperhatikan, maka Rebecca tidak melakukan itu. Dia mensyukuri apa yang dia miliki selama ini, walau perhatian kedua orang tuanya tidak maksimal, penyakit yang tiap detik menghapus ingatannya, dan isu-isu miring yang membuatnya dijauhi banyak orang tidak membuatnya iri kepada yang lain. Pupung menghela napas, dia belajar banyak dari temannya ini. Dari sekian banyak teman, hanya Rebecca yang berbeda. Walau awalnya Pupung menilai Rebecca tidak lebih sebagai gadis kaya yang suka seenaknya, namun kenyataan itu tidak benar.

Pupung mengetuk bibir cangkir. "Becca, terima kasih." katanya lembut.

Rebecca menaikkan kedua alis tebalnya. Dia terlihat bingung.

"Ah... hanya ucapan terima kasih saja. Kopinya enak." sambarnya karena kikuk ditatap begitu dalam oleh Rebecca. Kemudian diminum ampas kopi susu sampai tersedak. Dia lupa kalau kopi susu dicangkir telah habis.

Mau tidak mau Rebecca tertawa pelan sembari menepuk punggung Pupung. "Pelan-pelan kalau minum."

----

Pupung_AD
45 suka
Ceritanya habis belajar mau main sebentar di sungai deket rumah sibule. Eh, pas sampe dia kegirangan kayak orang nggak pernah liat sungai. Wkwkwk @Rebecca12

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top