4. Lipatan Ingatan
Memori hari itu hilang bersama lipatan waktu dan kenangan lain yang melapisi kisah tebal kehidupan sang Shiro Oni. Seperti air hujan terserap tanah.
Meski tak akan lupa bahwa dia sempat hidup menggelandang sebentar sebelum ditemukan ibunya dan diminta pergi ke Korea demi menyelamatkan diri, memori menerima sekotak ayam dari orang asing itu masih ada.
Hanya saja, Park Jonggun gagal mengingat siapa yang memberikannya.
Seperti apa wajahnya atau bagaimana suaranya. Hal yang lumrah sebab sembilan tahun telah berlalu.
Park Jonggun menyalakan rokok di bibirnya. Dia menatap pematik api persegi dengan tutup melengkung di tangan, terdapat ukiran naga pada salah satu sisi benda mahal tersebut. Ibu jarinya mengelus simbol perlahan, seperti mengusap debu di atas memori yang usang. Kini dia tidak lagi kelaparan ataupun kedinginan, tidak hidup di jalanan, tidak memakai satu-satunya baju basah, tidak juga mengais pekerjaan, ataupun kebingungan harus mengisi perut dengan apa.
Oh, dia juga tidak sendirian lagi.
Ruang makan di kediaman Yamazaki adalah lambang keanggunan tradisional Jepang. Tatami yang harum menyelimuti lantai, sementara meja rendah dari kayu gelap terletak di tengah, dikelilingi bantal duduk berwarna krem. Dindingnya terbuat dari kayu dengan pintu geser yang dihiasi lukisan pemandangan pegunungan dan bunga sakura. Di salah satu sudut, terdapat rak kayu yang dipenuhi ornamen kuno, seperti vas keramik dan patung kecil dewa keberuntungan. Suara air dari taman kecil di luar jendela terdengar samar, menambah kedamaian ruangan.
Di tengah suasana tenang ini, Park Jonggun duduk bersila di sisi meja, rokok menyala di antara jarinya. Dia memandangi pematik api di tangan—sebuah benda kecil berukiran naga favoritnya. Sesekali, dia melirik Ariana yang duduk di seberang.
Wanita itu cantik dan anggun, seperti biasa. Rambut merah mudanya diikat rendah, memperlihatkan leher putih, mulus, dan jenjang. Dia mengenakan blus putih sederhana yang elegan, dipadukan dengan rok biru pastel. Senyumnya kecil dan tulus, membawa rasa nyaman yang sulit dijelaskan.
Di meja, ada dua kotak ayam goreng. Salah satunya adalah kotak merah yang terlihat familiar, dan Jonggun tidak bisa menahan diri untuk memandanginya lebih lama dari seharusnya.
“Kenapa diam saja?” Ariana bertanya, membuka salah satu kotak ayam di antara hidangan juru masak mereka. “Makanlah sebelum dingin.”
Jonggun menghela napas, memadamkan rokoknya di asbak kecil. Dia mengambil sepotong ayam dan menggigitnya tanpa berkata apa-apa.
“Kau tahu,” Ariana berkata sambil membuka kotak kedua. “Ayahku dulu pernah bilang makanan tidak boleh dibuang, apalagi kalau enak seperti ini. Jadi, aku selalu membawa pulang ayam goreng yang tersisa di restoran keluarga.”
Kalimat itu membuat Jonggun tertegun. Giginya berhenti mengunyah dan dia menatap Ariana dengan mata menyipit.
“Kau selalu bilang begitu?” tanyanya, nadanya terdengar santai, matanya melirik tajam.
Suara tawa Ariana memantul seperti dentingan lonceng angin. “Kenapa? Kedengarannya aneh?”
“Tidak.” Jonggun menyandarkan punggung ke dinding, mencoba mengabaikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyeruak dalam hati. “Aku hanya merasa ... pernah mendengar itu sebelumnya.”
Lawan bicaranya mengangkat bahu, remeh. “Mungkin ibuku pernah bilang hal yang sama.”
Sang Iblis Putih terdiam. Bayangan samar gadis kecil berambut merah muda muncul di pikirannya. Suara lembut yang mengucapkan kalimat serupa, sembilan tahun lalu, di tengah hujan deras. Wajah gadis itu kabur, terhalang oleh kabut tebal.
Haruskah aku menyalakan api untuk melihat wajahnya?
“Pernahkah kita bertemu sebelum ini?” Jonggun akhirnya bertanya, meski suaranya terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Ariana menatap heran, dahinya berkerut. “Apa maksudmu? Kita bertemu saat kau di Korea, bukan? Waktu itu usiamu lima belas tahun.”
“Bukan itu.” Jonggun menggeleng pelan, mencoba mengingat. “Lebih lama dari itu. Mungkin sembilan tahun lalu, di Jepang.”
Ariana mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. “Sembilan tahun lalu? Jonggun, aku bahkan tidak ingat apa yang kulakukan minggu lalu.”
Jawaban yang tidak memuaskan.
“Lupakan saja.” Jonggun memutuskan untuk tidak melanjutkan.
Pikiran itu tetap mengganggunya.
Dia kini teringat rasa lapar yang menggerogoti perutnya dulu, bau ayam goreng yang menyelamatkan malamnya, dan suara gadis kecil berwajah asing yang berbicara bahasa Jepang sempurna. Sayang, wajah gadis itu tetap kabur seperti lukisan pudar oleh waktu.
Ariana, di sisi lain, tidak menunjukkan tanda-tanda mengenang apa pun. Dia makan sambil membicarakan hal-hal sepele, seperti rencana piknik akhir pekan.
Memori hari itu hilang bersama lipatan waktu dan kenangan lain yang melapisi kisah tebal kehidupan Park Jonggun. Seperti air hujan yang terserap tanah, lenyap tanpa jejak.
Namun, saat Jonggun memandang Ariana, ada perasaan yang tidak bisa dia abaikan. Mungkin dia tidak ingat siapa gadis kecil itu. Setidaknya dia tahu satu hal pasti—Ariana adalah bagian dari hidupnya sekarang, dan itu lebih dari cukup.
***
Salju mulai turun di luar, butiran putihnya menempel pada jendela kaca yang membingkai pemandangan taman kediaman Yamazaki. Udara dingin menyusup melalui celah-celah pintu geser, membuat aroma teh hijau yang menghangatkan ruangan terasa lebih menenangkan.
Ariana menggosokkan kedua tangan sambil bersandar di bahu calon suaminya. “Kau tahu, makan ayam di musim dingin seperti ini rasanya jauh lebih enak.” Dia membiarkan sebuah lengan kokoh melingkari pinggangnya.
Jonggun mengangguk kecil, tatapannya tertuju ke luar jendela.
Salju menutupi bebatuan taman dan dahan-dahan pohon yang gundul, menciptakan lanskap putih yang sunyi. Di dalam ruangan ini, kehangatan tetap terasa—dari suara Ariana, dari makanan di meja, dan dari kenyataan bahwa dia tidak lagi sendiri menghadapi musim dingin.
Dia mengambil satu potong ayam lagi, menggigitnya perlahan. Suara Ariana yang terus bercerita menjadi latar belakang mengusir keheningan.
Salju mungkin akan terus turun sepanjang malam, tetapi Jonggun tahu, musim dingin ini tidak terasa begitu dingin.
Dia sempurna terlahir kembali di atas telapak tangan dan jiwa hangat milik Ariana Ochikage.
Semua harapan-harapan yang dilihatnya terbakar dalam api pada malam itu kini berubah layaknya burung api yang bangkit di atas abu. Park Jonggun mengenakan takdir Tuhan di kedua tangan dan kakinya, melangkah menyusuri jalan yang dibuat atas tiap-tiap keputusan yang tak pernah disesali. Dan dalam satu perjalanan tersebut, Surga akhirnya cukup baik untuk memberinya seorang pendamping.
Wanita yang tak hanya cerdas dan cantik, tetapi juga melengkapi dan mengobati semua kehilangannya di masa lalu dan memberi ratusan kelebihan yang tak akan bisa ditebus bahkan dengan nyawanya sendiri.
Jangan tanya alasan apa yang membuat Park Jonggun memilih Ariana meski seluruh anggota klannya menolak dia menikahi wanita di luar calon pilihan klan. Bahkan seumur hidupnya pun tak akan cukup untuk menjelaskan alasannya.
Dia menatap wajah manis wanita di bahunya dan tak bisa menahan diri untuk tidak tinggalkan kecup panjang pada dahinya.
Ini adalah harapannya yang paling nyata dan tak akan padam oleh apa pun.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top