3. Payung dan Kotak Ayam
Kehangatan seperti pelukan yang tak pernah dia dapatkan, menghilang di antara sela jarinya bersama bau asap.
Park Jonggun rasa dia selalu kehilangan hal-hal baik terlalu cepat, seperti sepupunya Haruto Yamazaki yang lebih dulu mengisi pemakaman keluarga dengan satu lagi batu nisan layak ditangisi.
Cahaya milik satu-satunya lelaki yang melihat Jonggun bukan sebagai senjata, tetapi sesama putra—sesama manusia—menghilang ditelan gelap tepat saat sebilah belati merobek perutnya.
Sejenak dia melihat kesempatan untuk hidup di atas jalur berbeda. Park Jonggun pernah berharap untuk tak jadi kepala keluarga selain mengharapkan kehidupan yang normal, tetapi itu pun mustahil untuk dipenuhi.
Dan satu-satunya orang yang mendukung gagasan tersebut telah mati. Praktis pula berkata bahwa harapan tersebut tak punya tempat untuk tumbuh nyata. Patah sejak usaha pertama. Dia tak mau melihat orang lain harus kehilangan nyawa hanya karena bibirnya terbuka menyuarakan apa yang hati kecilnya inginkan.
Jonggun mendorong pematik gasnya ke dalam saku celana. Imaji yang terlukis di atas api selalu habis terbakar, lantas padam menyisakan dingin yang lebih pekat daripada udara menggigit dari hujan di sekitarnya. Dia tidak tahu apakah akan mencoba lagi nanti.
Matanya menatap langit kelabu tanpa ujung, tetesan hujan yang melewati landasan besi karat berlubang mengenai wajah tampannya seperti ujung jarum. Kulitnya dingin dan mati rasa, tetapi tidak ada satu pun mata yang akan melihat ke arah penampilan kotor ataupun menyadari gigil badannya. Jonggun sadari harus membiasakan diri pada rasa dingin, alih-alih mengeluh yang hanya membuang-buang energi hidupnya.
Dengan sedikit sekali semangat, dia berdiri di atas tungkai dan beranjak meninggalkan gang sempit tersebut. Sepatunya menginjak genangan ketika dia melangkah cepat sambil menaikan tudung bajunya, menutupi rambut pendeknya yang lepek dengan kain basah. Tanpa tujuan, Park Jonggun berjalan mengikuti ke mana saja kakinya membawa sembari berpura-pura tuli pada bunyi perutnya.
Langkah-langkah Park Jonggun terhenti ketika melihat seorang anak perempuan berdiri di ujung jalan sempit yang hendak dilaluinya. Hujan deras membingkai sosok itu dalam cahaya abu-abu yang redup.
Dia tampak berbeda dari orang-orang lain di sekitar. Rambut merah muda panjang yang diikat rapi dengan pita putih menyala di bawah langit kelabu. Air hujan memantulkan cahaya dari rambutnya, membuatnya seperti lukisan yang diberkati.
Wajahnya kecil dan manis, kulitnya seputih mutiara. Mata birunya bersinar tajam, seperti sepasang batu safir polesan. Hidungnya mancung sempurna, membingkai ekspresi tenang dengan keanggunan yang jarang dimiliki anak-anak seusianya.
Jonggun menduga usia mereka tidak jauh berbeda—mungkin dia sembilan atau sepuluh tahun—penampilannya terlalu rapi, terlalu dewasa.
Mantel putihnya bersih tanpa noda, meskipun dia berdiri di tengah jalan berlumpur. Rok hitam selutut yang dikenakannya jatuh dengan lipatan sempurna, dipadukan sepatu kulit hitam berkilau.
Bahkan payung transparan di tangannya tampak seperti barang mahal. Dalam genggamannya yang lain, dia memegang kotak jingga berlogo restoran ayam terkenal.
Gadis itu melangkah mendekat, matanya tidak lepas dari Jonggun. Jonggun merasa tatapan itu menelanjanginya—menganalisis setiap detail tubuh dan pakaiannya yang basah kuyup. Dia bersikap waspada, mengira gadis itu sebagai ancaman terselubung susupan mata-mata Yamazaki.
“Kau pasti lapar.” Suaranya lembut dan tegas, terdengar seperti sebuah sungai deras yang membawa kesejukan dan kelegaan.
Sejenak bayangan kalau gadis merah muda ini penjahat melucut dari kepala sang Tuan Muda.
Jonggun mengerutkan kening, merasa terganggu karena sifat mawasnya menurun. “Aku tidak butuh apa-apa darimu.”
Gadis itu tidak mundur. Sebaliknya, dia melangkah lebih dekat, cukup hingga aroma ayam goreng dari kotak menusuk hidung Jonggun. Perutnya langsung bereaksi, mengeluarkan bunyi pelan yang memalukan.
“Ayahku punya restoran ayam,” kata gadis itu dengan nada sulit diabaikan, dia jelas menuntut perhatian.
“Pelanggan tadi menolak membayar pesanannya karena alasan yang tidak masuk akal. Jadi, daripada ayam ini dibuang, aku memutuskan memberikannya pada seseorang.”
“Aku bukan pengemis.”
Alis tebalnya terangkat. “Aku tidak bilang kau pengemis.” Gadis tersebut menyodorkan kotak di tangannya. “Ambil saja. Kau butuh ini lebih dari aku.”
Jonggun mendengkus, menatap kotak itu penuh keengganan. “Pikirimu, aku akan senang menerima sisa makanan?”
“Aku tidak peduli kau senang atau tidak.” Tatapan biru lawan bicaranya setajam pisau. “Tapi ayam ini terlalu enak untuk dibuang, dan aku tidak akan makan makanan yang bukan milikku.”
Jonggun membuka mulut untuk membalas, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Gadis ini tidak memohon, tidak mencoba bersikap manis, hanya berdiri di sana penuh keyakinan.
Akhirnya, dengan gerakan enggan, Jonggun mengambil kotak itu dari tangannya. “Aku tidak butuh payungmu,” katanya sebelum gadis itu sempat menyerahkan barang lain.
“Tentu saja tidak,” balasnya datar. Dia menempelkan payung itu ke tangannya. “Tapi, kau akan terlihat lebih bodoh lagi jika terus berjalan tanpa ini.”
Gadis itu berbalik sebelum Jonggun sempat berkata apa-apa. Mantel putihnya melambai di udara, dan dia berjalan menjauh dengan langkah ringan, menyelinap di antara kerumunan orang yang sibuk.
Jonggun berdiri di sana, memegang kotak ayam dan payung, menatap punggung kecil yang makin jauh hingga menghilang di tikungan.
Dia mendesah pelan, membuka kotak di tangan kanan. Aroma gurih ayam goreng langsung menyelimuti hidung dan perutnya yang lapar tidak bisa lagi ditahan.
Meski sedetik curiga pada apa yang mungkin ada di dalam ayam tersebut, dia menggigit salah satu potongan paha. Bunyi renyah gigitan membuat Jonggun lupa pada kemungkinan dia diracuni.
Kehangatan yang menyebar di tubuhnya membuat Jonggun merasa sedikit lebih hidup, meski harga dirinya masih agak terluka.
Bisa-bisanya aku menerima makanan dari orang asing?
Namun, bahkan saat menikmati makanan itu, bayangan gadis asing dengan rambut merah muda terus terngiang di pikirannya. Dia tidak tahu siapa dia, tetapi ada sesuatu tentangnya yang terasa ... berbeda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top