2. Api Pertama

Semua yang hidup pasti akan mati.

Hal itu berlaku pula pada api di tangannya yang kini padam, menyisakan udara dingin yang kembali merayap dari ujung jari ke pergelangan. Jonggun menatap pematik gas yang sudah mati dengan pandangan kosong, tidak ada kejengkelan di iris putihnya. Hanya kelelahan.

Dia membuang napas panjang, kepalanya terantuk pada dinding berbatu di belakangnya. Perlahan punggung tegap yang biasanya kuat menghadapi segala lawan itu luruh ke aspal kotor berlubang. Suara berisik dari derasnya air menabrak tanah dan bunyi sambaran petir melatarbelakangi malamnya yang menyedihkan.

Park Jonggun mengangkat pematik di tangan kanan, menatapnya lama sebelum kembali mencoba menyalakannya. Bocah itu sempurna melupakan rokok yang tadi ada di bibir, sudah jatuh termakan bayangan di bawah sepatu hitamnya.

Bunyi gesekan terdengar dua kali, tidak ada tanda-tanda menyala. Pada percobaan ketiga dan keempat, jarinya mulai terasa sakit dan menggigil. Jonggun berhenti sejenak, nyaris putus asa. Dia menggosok lubang api menggunakan bagian dalam kaus tudungnya, kali ini pematik tersebut diletakkan di bawah dagu. Sambil melengkungkan telapak kiri, dia melakukan percobaan kelima.

Bunyi berdesis terdengar, menyalakan harapan yang hampir padam. Sebuah api kecil bergoyang pelan di depannya. Jonggun menatapnya lekat sambil membayangkan, kalau saja dia bisa membuat api kecil tersebut membesar.

Park Jonggun mengagumi api di tangannya. Sendirian dan kedinginan. Putra Yamazaki berdarah campuran Korea itu termenung. Dia kira dicampakkan oleh orang yang seharusnya memberi dia kasih sayang sudah yang terburuk, ternyata tak punya siapa pun yang mengkhawatirkan dirinya ketika dia berada dalam kondisi buruk jauh lebih menyedihkan.

Mata hitamnya melekat pada api yang bergoyang, bayangan wajah cantik Park Somi tersenyum di antara kelopak mata lelah yang terasa berat. Telinganya seperti bisa mendengar suara wanita tersebut, berbicara padanya dalam nada terlembut.

“Jonggun, putraku ... Kau pasti kedinginan, Sayang. Kemarilah, kembali padaku. Ibu akan mengeringkan badanmu.”

Anak lelaki itu membayangkan semangkuk ramen panas dan teh hijau yang mengepulkan asap tersaji di atas meja makan rendah. Dia ingin duduk bersama ibunya, menyantap menu tersebut sembari tertawa ringan. Sekejap, Jonggun merasa bisa melihat bayangan itu di dalam api kecilnya. Bayangan semu yang terasa terlalu sempurna untuk bisa diraih.

Jarinya menekan pematik, berharap gasnya tidak habis dan angin bekerjasama kali ini saja. Sekarang bayangan makan malam bersama Somi berganti menjadi wajah ayahnya, Shingen Yamazaki. Pemuka klan yang dihormati, mati dengan banyak tebasan dan tusukan katana di tubuh selagi melindungi putranya.

Jika boleh jujur, Park Jonggun merasa bersalah atas kematian sang ayah. Kalau saja bukan karena dia, Shingen mungkin masih hidup dan memimpin klan mereka. Dia teringat perkataan ayahnya sebelum ini.

“Nak, katakanlah. Aku akan mengabulkan permintaanmu.”

Jonggun mengingat janji itu sejelas berhitung dengan mata tertutup, dia sungguh berharap bisa mendengar jawabannya. Namun, takdir tak senang pada anak dari pendosa seperti dia.

“... Nama. Saya ingin mendapatkan nama. Tolong beri saya nama. Hanya itu yang saya inginkan.”

Api di ujung korek terasa sedikit lebih panas. Bayangan wajah Shingen terlihat lebih jelas. Parasnya yang mirip dengan sang putra membuat Jonggun bertanya-tanya apakah dia akan terlihat seperti itu sewaktu dewasa? Beberapa orang dulu memujinya mirip dengan sang ayah, tetapi dia tidak punya banyak waktu untuk mematikan.

Sekarang, dalam gang sempit tanpa siapa pun. Berteman memori yang belum memudar soal sosok yang mewarisinya mata unik dan kekuatan luar biasa, Park Jonggun bisa mengamati wajah Shingen dari dalam api kecilnya.

“Hanya nama, baiklah ....”

Seumur hidup dia mengejar pengakuan sang ayah, mengincar nama pemberian kepala klan tersebut sebagai satu-satunya tujuan hidup. Menepis keinginan berkeluarga dan hidup normal, Jonggun telah menempuh jalur berdarah seperti Shingen dulu.

“Namamu adalah ....”

Namun, bahkan dalam imaji semu miliknya. Dia tidak bisa mendapatkan hal tersebut, apinya padam kembali dan bayangan wajah Shingen sirna.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top