IV
Anono berlari keluar dengan kaki telanjang, tidak memerdulikan badai salju hebat yang menghujami langkahnya, seolah memberinya pilihan untuk mati di tangan ayahnya atau mati dalam kejamnya salju.
Gelap dan dinginnya badai membutakan netra penglihatannya dalam berjalan, bagai labirin yang akan menjadi maut baginya sesaat saja dia berhenti berlari. Giginya bergemeletuk, serat kain pada pakaiannya menyerah untuk bertahan dan perlahan lepas membuat tiras. Genggamannya pada satu korek tak terlepaskan, seolah meyakinkan diri bahwa kehangatan akan muncul pada dirinya.
Kakinya menapak pada jalan setapak yang ia kenali sebagai tempatnya biasa berdiri untuk menawari korek api. Seolah menghantuinya, bayangan dirinya yang nampak menyedihkan terputar di hadapannya, pemandangan dirinya yang tidak ingin dirinya lihat.
Anono duduk--atau tersungkur lebih tepatnya pada tembok batu keras. Tubuhnya yang hanya dilapisi kain tipis di penghujung waktu menggigil hebat. Lidahnya kelu, dan salju menumpuk pada bulu matanya.
Gadis itu luar biasa benci dengan fakta bahwa dirinya ternyata masih mencoba mencari harapan--tangannya yang bahkan hampir tidak bisa digerakkan dipaksakannya untuk menyalakan korek. Meski akan padam dalam hitungan detik, atau bahkan tak sempat menyala karena angin yang sedang melolong, dirinya tetap mencoba.
Satu batang korek dinyalakan, membuat api yang menari-nari dalam perlindungan tangannya, bagai sepucuk harapan untuknya,
kemudian, mati begitu saja.
Satu korek lagi dinyalakannya. Panasnya tidak menghilangkan rasa dingin, tetapi membiarkannya hidup. Begitu tiba di penghujung, korek itu mati sekali lagi.
Satu batang korek lagi.
Satu batang korek lagi.
Satu kali lagi saja ....
Dan kini, batang terakhir.
Tangan lunglainya menyalakan batang korek terakir. Apinya besar, indah, dan menghangatkan. Matanya terpaku pada tarian si jago merah, berlarut-larut seiring apinya mengecil sekali lagi seperti korek-korek sebelumnya.
Korek itu mati seperti yang lainnya, menyisakan kayu dan arang.
Di sanalah Anono mulai menyadari bahwa dirinya akan mati, sendirian, dalam gelap dan dingin. Mungkin, di sanalah liang lahadnya berada, ditumpuk oleh salju yang tak akan disentuh kecuali saat musim semi tiba.
Gadis itu memejamkan mata, membiarkan tubuhnya seiring waktu mati rasa. Gemeletuk gigi ia redam dengan menggigit bagian dalam pipi. Anono ingin pasrah.
Ingin.
Faktanya, gadis itu sekali lagi membuka matanya. Air mata mengalir setetes, dua tetes, tiga ... dan terus mengalir, memberi sensasi dingin baru yang mengalir.
Apa akhirnya akan begini? Semenyedihkan ini? Tanpa bisa menggapai impiannya?
Impian. Kata itu mengingatkannya akan seseorang yang bahkan baru dikenalnya. Seseorang yang seolah memiliki semua hal. Seseorang yang memiliki segala hal yang diinginkan Anono.
Anono memutuskan untuk menyerah.
Satu nama lolos di tengah isak tangisnya seiring dia tenggelam dalam kepasrahan. "Fushi ...."
"-no!"
Anono tidak dapat memastikan apakah suara itu hanyalah sekadar halusinasinya di ujung kematian atau bukan. Tubuhnya tidak dapat lagi dia gerakkan. Yang bisa dilakukan hanyalah menyebutkan nama dari si abadi.
"Fushi ...."
"A- no-!"
Suara langkah berat menginjak salju semakin dekat. Dari matanya yang mengerjap-kerjap berat, dapat dilihat bayangan mendekatinya. Suaranya semakin jelas beriringan dengan bayangan itu. "Anono!"
Fushi dengan cepat duduk berlutut di depan gadis itu, menarik tubuhnya yang hampir tenggelam oleh salju. Tangannya sudah membiru dan matanya kosong kelabu. Fushi menggenggam tangan Anono dengan erat, berusaha menyadarkan gadis itu yang hampir tenggelam dalam ujung keputusasaannya. "Anono, bangunlah! Tunggu sebentar!"
Sekali kedip, wujud Fushi digantikan dengan sosok dengan topeng di kepalanya. Tak sempat mengerti, pria asing itu menyemburkan api di sekitar mereka, memberi rasa kehidupan pada gadis itu.
Anono mengerti sekarang. Dia adalah Fushi--atau, teman Fushi yang pernah menemaninya.
Fushi masih meniupkan apinya ada salju yang tak kunjung berhenti di sekitar mereka, sampai tangan dingin nan lunglai Anono menyentuh bahunya. "Sudah, Fushi."
Fushi tersentak, terkejut. "Tapi--"
"Aku ... ingin menggenggam tanganmu saja ...." Dirinya menggigit bibir seiring dingin kembali menjamah tubuhnya. "Tanganmu ... seperti kemarin."
Keinginan untuk menolaknya tak bisa dia keluarkan begitu melihat raut wajah gadis di depannya itu. Fushi kembali ke wujud semulanya dan menyandarkan gadis itu pelan ke tembok. "Tapi kau kedinginan, setidaknya pakai pakaian hangat-"
Anono menggeleng. Fushi memasang ekspresi meringis, dan turut bersandar di sebelah Anono. Tangan bersarung tebalnya perlahan merayap ke tangan gadis itu, menggenggamnya dengan erat.
Meski api Fushi hangat, tetapi tangannya lebih menghangatkan. Seperti korek yang dia sia-siakan.
Gadis itu menatap ke atas, melihat banyak butir salju dengan cepat berlalu-lalang searah angin. Dia dapat merasakan tatapan mata Fushi yang ragu dan khawatir.
Tatapan itu dia balas. Kini tidak lagi diputuskan seperti yang sudah-sudah.
"Tadi ... temanmu ya?"
Fushi mengangguk prlahan. "Namanya Gugu."
"... Teman baik ...?"
Lagi, Fushi mengangguk.
"Aku iri," ucap Anono di tengah gemeletuk gigi. "Aku iri dengan temanmu. Aku ... iri denganmu ...."
Anono menyandarkan kepalanya pada bahu Fushi dan berbisik, "Aku ... iri ... dengan kebebasanmu ...."
Anono menghela napas yang tak lagi hangat. Dia dapat merasakan tubuh dan indranya mulai mati rasa.
"Fushi ... tolong bawa aku keluar dari sini ...."
Laki-laki itu tahu betul bahwa permintaan itu tidak merujuk pada dirinya saat ini. Anono keji, memanfaatkan kebaikan dan fakta mengenai diri Fushi. Memanfaatkannya hanya untuk keinginannya ....
Tetapi dia tidak bisa menolak. Kubilang, karena dirinya terlalu baik.
"Aku ingin ... keluar dari sini .... Aku ingin ... bertualang .... Aku ... ingin ... melakukan apa yang kuinginkan ...." Suaranya semakin lirih. "Aku ingin ... bersamamu ...."
Fushi menggigit ujung bibir, mengangguk pelan. "Iya, Anono." Genggaman tangannya dieratkan. "Aku akan membawamu."
Anono mengangguk lemah, membisikkan kalimat yang tak terdengar tetapi tersampaikan. Matanya menatap kosong ke depan, pemandangannya tak lagi jelas hingga akhirnya dia memutuskan untuk memejamkan mata.
Selamanya.
Genggaman tangan Fushi tak berbalas lagi. Tak terdengar apapun lagi selain suara angin yang berdesing dan jantung Fushi yang berdetak kencang.
Wujudnya berubah perlahan, menjadi seorang perempuan dengan rambut pirang panjang berbaju lusuh. Ujung-ujung jemarinya biru, tetapi itu bukan masalah baginya, karena kini Anono akan abadi bersamanya bersama keinginannya.
Tautan jemari mereka belum lepas. Fushi menatap lamat-lamat tangan mereka yang bertaut dan bergumam, "Pada akhirnya, aku kehilangan lagi."
Badai salju baru berhenti ketika pagi menjelang siang. Orang kota dihebohkan dengan tubuh tak bernyawa si gadis penjual korek api yang diselimuti jubah bulu. Tubuhnya biru, dan terdapat sisa-sisa batang korek yang sudah terbakar dalam genggaman tangannya.
Anehnya, jasad itu tersenyum tipis. Mimpi apa yang didapatkannya ketika tiba di akhir ajalnya?
Di sisi lain, sosok gadis yang sama melangkah pergi, melanjutkan tujuan awalnya keluar malam itu--untuk meninggalkan kota itu. Dirinya bertelanjang kaki dengan gaun rombeng bertiras yang menyedihkan. Rambut panjangnya tertiup angin, berkibar-kibar sedikit ke belakang.
Fushi belum memiliki keinginan untuk merubah wujudnya. Dirinya ingin mewujudkan hal yang belum pernah pemilik asli tubuh itu rasakan.
"Anono, dunia yang akan kau lihat bersamaku tidak akan selalu damai dan tidak semuanya seindah bayanganmu. Kuharap kau baik-baik saja dengan hal itu."
Dirinya melanjutkan langkahnya, jelas tidak mendengar bisikan "Aku tidak masalah, selamam bersamamu" yang bahkan tak akan pernah tercapai di telinganya.
Fushi telah mengabulkan dua harapan gadis itu sekaligus: Kebebasan, dan mengusir kesepian yang lekat di dirinya dengan menjadi teman, teman perjalanannya,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top