III
Pertemuan pertama mereka merupakan hari pertama Fushi tiba di kota dingin itu. Fushi berkata bahwa dia akan meninggalkan kota itu pada hari ketiga.
Anono tidak berharap banyak. Pada dasarnya pertemuan mereka memanglah bagai keajaiban. Begitu Anono pulang, rumahnya ramai oleh sukacita. Benar dugaannya--hari itu, Anono bersih dari luka
Tak henti-hentinya senyum dipasang pada wajah sang ayah, riang sekali ekspresinya. Pasti itu dikarenakan alkohol yang dia beli setelah menghamburkan uang yang Anono dapatkan dari pemuda baik hati.
Hari ini, Anono kembali membawa sekeranjang korek untuk dijual. Hari ini, kembali lagi pula dia bertemu Fushi, si pemilik rambut putih dengan manik kuning.
Anono memperhatikan laki-laki itu dari atas ke bawah. Pakaiannya masih sama, jubah bulu cokelat tebal dengan tudung, sarung tangan, bagian paha yang diperban, juga lengannya yang terikat suatu tali--Anono baru menyadarinya hari ini.
Begitu matanya beralih ke wajahnya, tatapan mereka bertemu. Anono segera mengalihkan pandangan pada rok gaunnya yang lusuh, bersemu malu begitu mengingat kejadian kemarin hari. Diingat-ingat, sikapnya tiba-tiba menjadi permberani entah dari mana. Padahal seharusnya dia membiarkan saja dirinya dikasihani. Toh, ayahnya berhenti memukulnya berkat uang-uang itu.
Tak seperti harapannya yang ingin menghilangkan rasa gelisah campur malu, Fushi mendekatinya, menyapanya dengan senyum yang menghangatkan. "Pagi, Anono."
Gadis itu bersembunyi di balik rambutnya yang panjang, menutupi wajahnya dengan helaian rambut dan keranjang sembari membalas pelan, "P-pagi ...."
Fushi dan Anono menghabiskan waktu bersama yang menyenangkan. Sesuatu terasa terobati dalam diri gadis itu, tidak kosong seperti sebelum-sebelumnya.
Tak dapat dipungkiri, rasanya berat untuk melepaskan teman barunya dengan kepergiannya esok hari. Jika saja Anono dapat kabur dari kota ini dan bertualang bersamanya, seperti cerita Fushi ....
Anono tiba di rumahnya, membuka pelan pintu kayu reyot agar tidak membangunkan siapapun, hanya untuk dikejutkan oleh ayahnya yang berdiri dengan penuh amarah, menanti kehadirannya. Gadis itu terkesiap begitu melihat keranjangnya berada di tangan pria itu. Wajahnya merah dan matanya terlihat seperti ditutupi kabut. Mabuk lagi.
"Kurang ajar. Berani-beraninya kau pergi main dengan laki-laki sementara keluargamu di sini kelaparan?!" Pria itu melempar keranjang berisi korek ke wajah gadis itu, membuatnya merintih dan jatuh ke belakang. "Berani berlagak ya sekarang?! Iya?!"
Anono meringis, hampir menangis. Belum sempat bereaksi, tubuh kurusnya ditendang ke belakang, hampir terbaring di salju teras rumah. "Anak tak tahu diuntung! Bawa sial!"
Rasa sakit dan dingin menjalar di tubuhnya. Baru saja ingin bangkit, pria itu menyeret kaki Anono ke dalam rumah dan membanting gadis itu ke tembok kayu. Pria itu menyudutkan Anono dengan botol miras di tangan kirinya, seolah tak akan segan untuk memukul wajah gadis itu dengan benda itu jika keinginannya tak terpenuhi. "Berikan aku uang."
Anono menggigit bibir. Padahal ... padahal uangnya yang didapat dari Fushi kemarin cukup untuk tabungan beberapa hari mereka makan. Dan kini uangnya kandas hanya untuk pria beban pemabuk ini?
Anono mengepalkan tangan, merasa sedih yang luar biasa. Dengan pelan dia bergumam pada dirinya sendiri, "Aku tidak mau lagi ...."
Naas gumamannya terlalu keras, membuat gadis itu mendapat tamparan keras yang membuatnya sekali lagi jatuh terduduk. Pria mabuk di depannya sangatlah merah wajahnya, bercampur antara mabuk dan amarah. "Bilang sekali lagi?"
Anono meringis. Tamparannya sangat mengilukan, dan di saat yang sama amarahnya membuncah. Padahal yang selama ini berjuang hanya dia. Kenapa pula dia yang harus mendapat semua ini ...?
Ingatannya bersama Fushi hari ini terlintas. Laki-laki itu menceritakan banyak hal mengenai dunia luar, bagaimana dia harus bertarung melawan sesuatu yang bernama Nokker, menjadi orang yang abadi. Gadis itu membulatkan tekad bahwa dirinya ingin ikut Fushi, dan hal itu memberinya sedikit keberanian. "Aku tidak mau ...." Anono meneguk ludah. "Aku tidak mau menjadi budakmu lagi."
Satu tamparan lagi dilayangkan. Kini lebih keras dari sebelumnya, membuat gadis itu susah payah menahan bobot tubuhnya pada meja kayu. Tak lama berselang, pria itu membanting botol miras, membuatnya pecah dan menyipratkan sisa isinya. Ditodongkannya botol itu pada wajah Anono. "Benar-benar anak setan!" umpatnya. "Anak tidak berguna yang bahkan dijadikan lacur saja tak bisa!"
Anono bergidik mendengarnya. Rasa hormat memang sudah lama hilang untuk pria di hadapannya. Tapi sungguh tak disangka bahwa separah itu.
Pria itu menarik dan menjenggut rambut Anono, membuat gadis itu menjerit kesakitan. Botol yang tajamnya digoreskan ke leher sang gadis malang. Hidungnya kembang-kempis sementara napasnya yang boros bercampur dengan aroma miras. "Dengar ya, sialan. Aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini sebelum kau memberikanku uang. Lebih baik kau pungut semua korek itu dan jual semuanya dan berikan uangnya padaku!"
Anono memberontak, berhasil melepaskan rambutnya dari genggaman pria itu dan sontak mendorong tubuhnya sekuat tenaga, membuat pria itu terjengkang dan mengamuk sementara gadis itu berlari ke arah pintu keluar, meraih salah satu korek dan kabur di tengah salju yang seiring waktu menjadi badai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top