II
"Terima kasih." Perempuan itu menundukkan kepalanya, menerima korek dalam kepalan tangannya yang diulurkan. "Anda tidak perlu repot-repot."
"Tidak merepotkan, kok." Laki-laki di hadapannya berdiri, membersihkan salju yang menempel pada bagian lututnya. Setelah itu, mengulurkan tangannya pada gadis itu.
Sejenak dirinya ragu, tetapi ia tetap menerima uluran tangannya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya."
Keterkejutan menguasai dirinya, membuatnya sontak meraih lengan baju laki-laki asing yang bahkan tak pernah dia lihat sebelumnya. "Ah, tunggu-!"
Begitu menyadari betapa kencangnya suaranya, gadis itu menunduk malu. Pria itu memang berhenti dan menatapnya, memiringkan kepalanya sedikit.
"M-maukah Anda membeli korek ini?" pinta gadis itu, pelan. Rasa takut akan bayang-bayang dirinya pulang ke rumah tanpa menjual satupun korek membuatnya lebih berani--meski malu tetap membuat pipinya bersemu. Semenyedihkan apa dirinya terlihat? Terkadang gadis itu ingin melihat cermin, tetapi terlalu takut untuk melihat dirinya sendiri.
Keheningan yang canggung membuat gadis itu mau tak mau mengangkat kepalanya. Tanpa diduga, laki-laki itu langsung menyodorkan banyak koin perak di depan wajahnya. "Apa sebanyak ini cukup?"
Perempuan itu menganga, tak dapat berkata-kata. Belum pulih keterkejutannya, koin-koin itu sudah memenuhi tangannya, dan laki-laki itu meraih satu korek dari keranjang.
"Tunggu--" Tersadar begitu laki-laki itu ingin membalikkan tubuhnya, gadis itu kembali memanggilnya. "Ini terlalu banyak!"
Gadis itu melangkah, hampir berlari. Sekali lagi meraih jaketnya. Namun kali ini, tarikannya terlalu keras, membuat mereka berdua terjengkang ke belakang akibat es licin di kaki mereka.
"Ah-!"
BRUK!
Keduanya jatuh di jalan, seperti orang konyol. Bisikan dan tawa tertahan memenuhi indra pendengaran telinga gadis itu. Baginya hal ini sudah biasa, tapi mungkin tidak untuk laki-laki baik hati ini.
"M-maaf--" Rambut pirang panjangnya teracak-acak, sedikit menghalangi pandangannya begitu dia mencoba bangkit duduk. "A-Anda baik-baik saja? Apa kepala Anda sakit?" Nada panik mengisi suaranya.
Sang laki-laki meringis, sudah dalam kondisi terduduk dan mengelus bagian belakang kepalanya.
Perasaan bersalah memenuhi gadis itu. Banyak hal aneh terjadi hanya dalam beberapa menit ini, dan ini sepenuhnya salahnya karena bersikap canggung dan ceroboh.
"A-anu ...." Gadis itu menyeret tubuhnya ke sebelah si lelaki, turut membersihkan salju yang menempel dari jaket berbulunya. "Maaf. Aku hanya ingin mengembalikan uang Anda ...."
"Ah, kau tidak perlu melakukannya ...."
"Uangnya terlalu banyak."
"Ti--"
"Aku menjual, bukan mengemis," potong gadis itu. Sorot mata kelabunya menatap tegas lelaki di depannya, membuatnya terperangah.
Entah apa yang merasuki perempuan itu. Padahal seharusnya dirinya merasa senang menerima uang sebanyak itu. Keluarganya akan terbantu, dan mungkin ayahnya akan berhenti memukulinya sementara waktu. Mungkin sisa harga dirinya membuatnya bersikap spontan, atau mungkin dia hanya ingin memiliki alasan untuk marah-marah.
Atau mungkin, dia hanya ingin berbicara kepada seseorang.
Ekspresi terkejut laki-laki berambut putih itu perlahan digantikan oleh senyuman tipis, dan mungkin sedikit rasa bersalah karena kini lelaki itu menggaruk tengkuknya. "Ah, maaf, bukannya bermaksud ingin membuatmu merasa seperti itu .... Aku benar-benar tidak keberatan, dan aku ingin kau menerimanya."
Sepertinya laki-laki ini tidak mengerti sama sekali perasaannya.
Desah pelan beriringan dengan uap keluar dari mulutnya. Perempuan itu berdiri, menepuk pelan gaun lusuhnya sebelum mengulurkan tangannya ke laki-laki berambut putih itu.
"Aku akan membelikan Anda sesuatu," katanya begitu mereka tiba di bangku sudut taman. "Tolong duduk dan tunggu aku di sini."
Perempuan itu pergi dan kembali dengan cepat, kali ini dengan botol kecil, dan dua bungkus roti dalam pelukan.
Gadis itu mengulurkan salah satu roti dan botol kecil itu ke si lelaki, kemudian duduk di sebelahnya. Roti itu mengeluarkan kepulan asap pertanda baru keluar dari panggangan. "Tolong terima ini. Botol itu berisi salep, nanti dioleskan saja ke kepala Anda. Dan rotinya ... dimakan saja. Setidaknya saya bisa memberikan Anda ini."
"Oh, terima kasih."
Keduanya duduk dalam keheningan, seiring salju berguguran dari langit dan menumpuk di jalanan. Tak sekali dua kali gadis itu melirik ke lelaki di sebelahnya, dan setelah diperhatikan, ternyata dia ... cantik?
Laki-laki itu tersadar bahwa dirinya ditatapi, membuat perempuan itu tersentak canggung dan meracau, "Anda orang baru, ya?"
Maniknya melebar sedikit begitu mendengar pertanyaan gadis itu. "Apa sangat kelihatan?"
"Tidak. Aku hanya kebetulan hafal dengan wajah orang-orang di sini." Gadis itu menggeleng. "Ini kali pertama aku melihat Anda."
"Aku memang baru tiba di sini." Laki-laki itu tersenyum hangat, sedikit membuat isi perut perempuan itu berjentik-jentik. "Melakukan perjalanan dari tempat lain."
Gadis itu mengangkat alis, tertarik. "Tidak ada yang menarik di sini selain musim dingin yang berlangsung sedikit lebih lama."
Laki-laki itu tertawa kecil. Suara tawanya menari-nari, memasuki telinga gadis itu dengan lembut. Sudah lama dia tidak berinteraksi selama dan sehangat ini.
"Apa yang kamu cari di sini?" tanyanya, kali ini mengurangkan keformalan dalam kalimatnya begitu dirasa sesuai.
"Ah, tidak ada yang spesifik." Terdengar nada keraguan dari suaranya. Jemarinya dia mainkan selagi memegang roti hangat. "Hanya ... berjalan tanpa tujuan."
Enaknya. Perasaan iri menjamah perempuan itu. Memilki keberanian dan kemampuan untuk melakukan itu. Enaknya.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanyanya. Kini matanya menatap mata gadis itu langsung.
Netra kuningnya terlalu mencolok. Gadis itu langsung emndapat perasaan bahwa perjalanan yang dilalui laki-laki ini bukanlah perjalanan biasa-biasa saja, dan laki-laki ini juga bukanlah sosok yang biasa-biasa saja.
"Namaku Anono," jawabnya. "Dan kamu?"
"Aku Fushi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top