I
Jika memang indah, kenapa begitu menyiksa? pikir sang perempuan yang masih belia, memandang salju yang turun perlahan dengan tatapan penuh tanda tanya. Mengapa memberi kesempatan hidup ketika yang bisa kulakukan hanyalah mengais-ngais keberuntungan?
Keramaian di sekitarnya tidak memerdulikan eksistensinya, berjalan sesuai dengan kesibukannya masing-masing, merangkai alur hidup ceritanya sendiri. Sosoknya bagai satu dengan salju, dengan pakaian yang seharusnya bewarna putih, lusuh ditambah beberapa robekan pada bagian bawah rok. Kain yang membungkus tubuhnya terlalu tipis untuk bertahan dalam musim salju. Di dalam tangannya yang sudah memerah karena tak mengenakan sarung, terdapat sekeranjang korek yang ditutup kain tipis untuk membuatnya terhindar dari lembab. Sepatu yang tak layak dia kenakan, menjadi satu-satunya yang dapat melindunginya dari kontak langsung jalan yang licin dan beku.
Tak terhitung berapa kali tubuh kurusnya terbawa arus--ditabrak ke sana ke mari, menjadi bulan-bulanan keramaian. Meski begitu, tetap saja tidak ada yang membeli korek apinya. Begitu dia pulang, ayahnya akan murka melihat betapa banyaknya korek yang tak terjual, dan menjadikannya pelampiasan amarah.
Tentu saja. Siapa yang mau membeli korek di masa seperti ini? Tidak seperti keluarganya, orang-orang hidup bermewah dan nyaman. Rumah mereka memiliki perapian dan itu lebih dari cukup. Lagi pula, korek api tidak akan bisa menghangatkan tubuhmu bahkan untuk waktu semenit.
Gadis itu masih mendongak, melamun sembari membiarkan salju terjatuh pada wajahnya yang pucat. Kesadarannya baru kembali ketika lagi-lagi seseorang menabraknya--membuatnya jatuh terduduk dan isi keranjangnya berceceran.
Gawat, kalau sekali lagi dirinya pulang tanpa berhasil menjual setidaknya satu korek, tak hanya lebam yang mungkin dia dapatkan.
Tangan kurusnya meraih satu persatu korek. Bisikan mengasihani mulai terdengar. Dirinya tidak dapat mengetahui siapa benarnya yang mempunyai suara karena rambut pirang panjangnya menghalangi, dan sejujurnya dia cukup bersyukur akan hal itu.
Rasa kasihan tidak berguna ketika mereka membiarkannya begitu saja.
Begitu tangannya meraih korek terakhir, seseorang mendahuluinya dan menggenggam korek tersebut terlebih dahulu. Gadis itu mendongak, menatap sang empunya tangan.
Wajah asing dengan rambut putih dan iris mata kuning. Dia mirip warna musim dingin itu sendiri.
"Oh, maaf ...." Pemuda di hadapannya mengelus tengkuk pelan. Pakaiannya terlihat sangat aneh dan tidak biasa, tetapi hangat dan nyaman. "Aku hanya ingin membantumu."
Dari semua yang mengasihaninya, hanya dia satu-satunya yang bergerak untuk membantunya. Entah mengapa, setelah sekian lama, kehangatan muncul dalam tubuh gadis itu meski hawa dingin mengudara di antaranya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top