Bagian 4 Pulang Ke Kotamu


Rani sebenarnya belum puas menikmati keindahan alam desa Simbahnya dan ingin selalu kembali ke Puncak Suroloyo. Namun ia harus pulang karena lusa sudah kembali terbang menuju Turki. Jalanan basah karena pagi ini rintik hujan jatuh ke bumi. Membuatnya semakin enggan untuk pulang ke Candirejo rumahnya. Tapi ia masih rindu dan ingin melepaskan kangen pada Ibunya, sehingga tak bisa berlama-lama akibat waktu yang sempit.

"Salam buat Ibumu ya Cah Ayu," Simbah melepasnya pulang dengan mata berembun. Membuat rasa haru di dadanya membuncah.

"Kapan-kapan jangan lupa kesini lagi. Kakek masih kangen sebenarnya Nduk," ucap Kakek sambil mengelus rambut sebahunya.

"Pastilah Kek, Rani juga masih ingin terus mendengar cerita dan guyonan Kakek. Juga menikmati masakan Simbah yang selalu ngangenin," jawabnya sambil memeluk Kakek dan serasa tak ingin melepasnya karena masih rindu.

Rani pun pamit lalu menuju mobil Xenia putihnya yang terparkir di garasi rumah orangtua ayahnya itu. Dari balik kaca mata American Optical Silvernya yang juga biasa dipakai para pilot tersebut, ia turunkan perlahan sebelum sekali lagi ia lambaikan tangan sambil melajukan mobilnya. Sampai kapanpun ia sadar, dirinya adalah pilot bagi hidupnya sendiri, bagaimanapun keadaannya. Entah itu disaat ia dilanda masalah hingga bisa membuatnya susah, senang, sedih dan juga rindu. Ia susuri jalanan dengan hati-hati agar tidak tergelincir. Sambil melemparkan pandangan ke petak-petak sawah dan ladang hijau di kiri kanannya. Gunung dan bukit tegak berdiri dengan gagah di hadapannya.

"Tirulah gunung yang tetap kokoh berdiri, meski hujan, badai dan angin topan menghantam." Nasehat ayahnya saat ia menginjak remaja. Petuah yang terus terngiang-ngiang hingga kini. Apapun yang menerpanya saat ini dan nanti, ia selalu berdoa untuk tak pernah mudah goyah seperti gunung apalagi sampai runtuh. Namun bila saatnya harus ada yang dimuntahkan sebagaimana muntahnya gunung meletus, tetap harus ia keluarkan demi kebaikan, bukan untuk sebuah bencana.

Kekecewaannya pada ibu yang memilih menikah lagi, membuatnya hampir mengeluarkan lahar kemarahan. Tapi demi melihat kebaikan yang Ibunya dapatkan yaitu memiliki teman berbagi yang ada setiap saat di sampingnya, kemarahannya pun perlahan surut berganti dengan rasa syukur. Ia tahu, tak selamanya bisa menemani Ibu apalagi kalau dia menikah dan ikut suami. Menikah? Sebuah kata yang ia impikan sekaligus membuatnya cemas. Namun ia selalu berusaha menghalaunya bila kecemasan itu sudah di depan matanya, yaitu saat hatinya mulai memikirkan pria seperti sekarang. Rama! Nama yang tiba-tiba mulai menghuni hati dan pikirannya.

"Rani sayang, kemana aja sih Nduk? Kok lama bener perginya?" Ibu menyambutnya di depan rumah saat ia baru keluar dari mobilnya.

"Kan nginap di rumah Simbah Bu, gimana kabar ibu."

"Alhamdulillah baik. Iya Ibu tahu, tapi kenapa sampai berhari-hari, apa ndak kangen sama ibumu ini?"

"Justru itulah Rani pulang Bu, soalnya biar bisa bersama Ibu lagi sebelum kembali bekerja," jawabnya sembari memeluk erat Ibunya.

"Kok cepet banget toh Nduk? Ibu kira liburmu satu bulan, Kan Ibu belum puas bersama anak Ibu semata wayang ini."

"Kalau satu bulan liburnya itu namanya kerja di rumah Bu, jadi bisa suka-suka kapan kerja dan kapan liburnya," jawabnya sambil melepas sepatu widgesnya.

"He-eh juga yah Nduk. Kalau gitu, kamu bantu ibu dan bapak aja mengelola homestay kita. Gimana?"

"Tapi tidak sekarang Bu, soalnya Rani masih betah jadi pramugari."

"Oh gitu, yowis lah, sing penting hatimu senang Nduk. Sekarang kita makan dulu, Ibu sudah masak makanan kesukaanmu.

"Siap Bu," jawabnya sambil memeluk pinggang Ibunya memasuki rumah menuju meja makan.

Ranti segera membantu Ibu menata makanan di atas meja. Sementara ia menuju ke kamarnya di lantai atas berganti baju. Tapi begitu masuk ke kamarnya, ia terkejut melihat salah satu koleksi barangnya tak ia lihat diantara koleksi souvenirnya.. Sebuah kalung khas Maori yang baru ia beli di Auckland raib. Segera ia turun ke bawah untuk mencari tahu. Tapi begitu berpapasan dengan Desy di tangga, ia akhirnya tahu.

"Des, kenapa kalungnya Mbak ada di leher kamu? Rasanya Mbak tak pernah meminjamkannya."

"Memang Mbak gak pernah minjamin, tapi aku naksir dan mengambilnya dari kamar. Rencananya kalau Mbak sudah pulang baru aku kasih tahu. Sekarang aku mau minta ijin, kalau boleh kalungunik ini buat aku yah Mbak," Desy berkata tanpa merasa bersalah sedikitpun. Rani bingung harus menjawab apa, selain hanya diam. Desy pun merasa tak enak dan salah tingkah.

"Ya udah kalau gak boleh, nih ambil lagi dasar pelit!"

"Sudahlah Desy, tapi saya mohon lain kali kalau pengen minjam atau minta, bicara dulu sama Mbak," jawab Rani. Desy kian manyun dan merasa tertohok mendapat jawaban yang tak terduga darinya. Lalu pergi sambil menghentakkan kakinya dengan marah, hingga tak menghiraukan ajakan Ibu untuk makan.

"Ada apa lagi Rani? Kenapa kalian tadi berdebat seperti orang yang sedang marahan? Ibu ndak ingin loh, anak-anak Ibu tidak akur satu sama lain." Ibu berkata sambil menyendokkan nasi ke piring.

"Seumur-umur Gak ada yang berani masuk ke kamar Rani begitu saja. Bahkan Ibu sekalipun. Apalagi mengambil salah satu barang Rani tanpa minta ijin dulu. Rani tidak suka Bu. "

"Ya sudah, mungkin Desy belum tahu dimaafkan saja yah Nduk. Ayo sekarang makan, dibuang dulu rasa kesalnya ya." Rani pun manut saja meski hatinya masih dongkol. Makanya kamarnya tak pernah ia kunci karena ia percaya dengan orang-orang di rumahnya. Tapi kini? Rasanya dia harus ekstra hati-hati dan mulai mengunci kamarnya bila pergi kemanapun, apalagi saat terbang berhari-hari. Baru saja ia nyampe, sudah disambut lagi dengan insiden yang membuat hatinya jadi kacau. Hari indahnya seolah terbang, membuatnya segera ingin mengakhiri makan siangnya.Sementara Ranti ia dapati hanya menunduk saja, mungkin merasa tidak enak hati melihat sikap kakaknya Desy. Ranti memang beda, lebih sopan dan tahu diri serta tidak kasar. Huh! Kenapa Desy tidak seperti Ranti adiknya saja, pikir Rani, agar rumah terasa damai.

Rani memutuskan untuk turun di halte yang tak jauh dari titik nol Yogya. Melanjutkan perjalanannya ke pasar Bringharjo dengan berjalan kaki. Sambil memandang jejeran bangunan lama bergaya kolonial di kiri kanan jalan yang merupakan ikon kota Yogya, Malioborro. Betapa dibalik tembok-tembok bangunan lama tersebut tersimpan banyak jejak sejarah kota ini. Baginya kawasan ini selalu meninggalkan kesan mendalam dihatinya, hingga ia selalu kangen akan tempat ini. Apalagi para wisatawan yang sesekali berkunjung ke kota kelahirannya ini.

Pulang ke kotamu... Ada setangkup haru dalam rindu...

Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku penuh selaksa maknaaaa...

Lagu Yogyakartanya Kla Project, seakan berdendang mengiringi langkah kakinya

Ia putuskan untuk menyusuri arcade, sebelum belanja oleh-oleh berupa souvenir dan aneka cenderamata, karya para pegiat seni kota ini. Belum lagi aneka batik titipan temannya, selain belanja berbagai keperluan selama ia terbang ke Turki. Suara derap kaki delman menyambut kedatangannya, meskipun tak sejernih saat ia kecil dulu, karena bercampur dengan hiruk pikuk laju kendaraan yang kian padat berlalu lalang. Mall-Mall dan ruko berdiri saling berhimpitan, seolah tanpa celah saking rapatnya. Yogya memang kian sesak dan panas, namun tetap menyimpan kehangatan dan keramahtamahan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat lampu jalan bertiang yang terdiri dari tiga lampu kuno dari kaca patri yang melayang dicengkram tangan-tangan tiangnya. Tertulis Jalan Malioboro menggunakan huruf latin dan aksara jawa, di bawah tiang lampu kaca patri. Biasanya setiap yang singgah ke jalan ini, akan mengabadikan foto dirinya di bawah plang nama jalan setinggi bahu orang dewasa tersebut. Seolah-olah sudah menjadi Ikon bahwa yang datang kesini, tidaklah sah bila belum berfoto di bawah lampu berukir daun yang melengkung berirama itu. Ornamen yang menggambarkan tipikal masyarakatnya yang ramah, bersahabat dan menghormati orang lain. Lalu segera mengunggahnya di akun media sosial, sekedar ingin menunjukkan pesan pada dunia

"Aku telah sampai di Jogja loh, kapan kalian menyusul?" sambil memasang wajah semanis mungkin dibarengi seulas senyum lebar.

Konon kata Malioborro dalam bahasa Sansekerta bermakna karangan bunga. Tak heran dimasa lalu ketika keraton mengadakan acara besar, maka jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Nama jalan Malioboro sendiri awalnya tersemat gara-gara panglima Inggris Marlborough beserta pasukannya sering melintasi jalan ini. Jalan yang dulunya masih lengang dan hanya terdiri dari satu jalur saja. Karena belum begitu banyak kendaraan lewat dan para pedagang kaki lima di sepanjang trotoar seperti sekarang. Lalu oleh pribumi di sebutlah Marboro, karena rakyat jawa waktu itu tidak fasih mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Hingga akhirnya resmi dinamai Jalan Malioborro sampai sekarang.

Dikawasan ini juga pada masa kolonial, dibangun gedung-gedung penting seperti Benteng Vredeburg, Java Bank, Kantor Pos dan gedung-gedung penting lainnya oleh Belanda, yang bertujuan demi meningkatkan eksistensi kekuasaan Belanda di Yogyakarta. Begitu juga stasiun yang dibangun di sekitar lokasi yang menjadikan Malioborro dan sekitarnya sebagai pusat geliat ekonomi. Dan geliat itu semakin pesat dengan diijinkannya warga pecinan membangun sebuah pemukiman di sekitar Malioborro yang dikenal dengan Kampung Ketandan. Kampung yang terletak persis di belakang toko Batik terang bulan, yang merupakan toko pertamakali yang berdiri di Yogyakarta, khususnya di kawasan Malioboro. Toko batik yang telah berdiri dari sebelum Indonesia merdeka dan masih tetap bertahan hingga kini. Mengingat warga pecinan terkenal gigih dan pintar dalam usaha perdagangan. Maka mulailah banyak berdiri toko-toko bahan sembako dan obat-obatan berkat mereka di kawasan ini. Ia ingat, betapa senangnya bila dulu ibu sering mengajaknya berbelanja batik di toko batik legendaris tersebut. Karena itu berarti ia punya kesempatan minta dibeliin permainan dan jajanan. Sementara bapak memilih menunggu di mobil saja sembari membaca koran.

Setelah puas menyusuri jalan penuh kenangan baginya, ia pun segera memenuhi hasrat belanjanya. Tanpa terasa, cacing di perutnya mulai menggeliat gelisah karena belum diisi makanan. Apalagi sebelum pergi, ia hanya sarapan beberapa keping biscuit saja, sebab terburu-buru ingin segera sampai. Segera ia masuki lesehan Terang Bulan yang tak jauh dari Malioborro Mall. Memesan segelas es jeruk dan seporsi lele bakar komplit dengan lalapan dan sambalnya. Tengah asyik menikmati makan siangnya sambil duduk lesehan, Rani menangkap sama-samar suara pengamen tengah mendendangkan lagu Ruang Rindunya Letto. Sepertinya ia kenal suara itu, tapi dimana ya? Pikirnya. Lumayan merdu juga suaranya, jauh kalah merdu dari pengamen yang biasa. Cocoknya menjadi penyanyi sekelas Noe Letto, sebab terdengar begitu persis yaitu lembut dan merdu Namun ia mencoba tak perduli karena perutnya begitu lapar di siang yang mulai terik. Tiba-tiba pengamen bertopi kupluk tersebut menyodorkan sebuah kantung ke hadapannya.

"Maaf Mbak, bisa berbagi recehannya?"

Rani mengangkat kepalanya sembari diam terpana, karena kayaknya ia mengenal wajah pengamen di hadapannya.

"Rama?" desisnya pelan sambil memberikan recehan yang tersisa di dompetnya. Benarkah ia Rama? Lelaki yang ia jumpai di pesawat menuju Auckland kemarin, batinnya sedikit shock. Tak mungkin Rama yang ia jumpai di penerbangan sewaktu menuju Auckland dan berhasil mendapatkan no Hpnya ini seorang pengamen jalanan. Rani pun segera menuntaskan makannya, agar bisa segera berlalu dan pergi menjauh dari Rama, yang tetap memasang senyum jahil di bibir tipisnya yang maskulin padanya.

"Benar-benar nih cowok gak pantang menyrah dan keras kepala!" desis Rani sedikit gemes. Meskipun dalam hatinya tak dapat menahan senyum geli, melihat perilaku Rama yang usil bin jahil. Kalau tidak bisa dibilang cowok yang bermodal nekat dengan tampang lumayan. Gadis mana yang takkan penasaran dan mudah simpati, namun ia berusaha gadis itu bukanlah dirinya. Bukan Rani namanya bila gampang ditaklukan dan didekati. Kita tunggu saja permainan apa selanjutnya yang akan dilakukan oleh cowok bertopi kupluk dengan gayanya yang cuek abis tersebut.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top