Bagian 3 Kiblat Pancering Bumi



Disini, di titik tengah pusat pertemuan empat penjuru tanah jawa, kita berjanji untuk menua bersama

Rani memandang hamparan sawah dan ladang-ladang hijau disepanjang jalan menuju rumah Simbahnya. Matanya disegarkan oleh warna-warna surga yang mendamaikan sejauh mata memandang. Membuat hatinya ikut terasa damai dan sedikit tentram, setelah tadi di rumah dadanya terasa agak panas karena kelakuan saudara tirinya. Tak terasa, ia akhirnya sampai di desa GiriTengah tepatnya di dusun Mijil desa Giripurno. Simbah yang melihat kedatangannya, menyambutnya hangat sambil tertawa senang.

"Pakne, ini loh ada cucumu," Simbah memeluknya erat saking senangnya. Sudah hampir 3 bulan ia tidak datang berkunjung karena sibuk.

Kakek yang sedang sibuk mengamplas kayu sebelum dibentuk menjadi topeng buto, tak kalah girangnya mendengar teriakan istrinya dari luar rumah. Segera ia letakkan kayu beserta amplas ditangannya.

"Oh, cucu kakek sayang, mari masuk pasti kamu capek sudah jauh berkendara dari rumah. Bikinin teh cucunya mbah," ucap kakek dengan mata berbinar sebelum memeluknya.

"Kebetulan simbah bikin wedang ronde kesukaanmuNduk. "

Tak lama, sebuah mangkuk ayam berisi kolang-kaling, biji salak, sejumput roti tawar dan irisan kacang tanah tersaji. Rani menghirup aroma jahe yang keluar dari air wedang ronde dihadapannya. Tanpa menunggu lagi, ia pun menyendokkan isi wedang ke mulut sembari mengunyah dan meminum airnya yang terasa hangat di lidah dan tenggorokannya. Ia begitu menikmati wedang ronde simbah, yang rasanya jauh lebih enak dari wedang yang pernah ia cicipi di alun-alun kidul.

Rani sangat bahagia masih bisa merasakan kehangatan kasih sayang simbah dan kakeknya. Ia merasa seolah-olah almarhum ayahsedang berada di dekatnya, bila mendengar suara kakek yang sangat mirip dengan ayahnya. membuatnya serasa bertemu dengan ayahnya langsung. Di tengah rasa bahagia, Ranilalu ingat buah tangan yang sengaja ia bawa untuk kakek dan simbahnya.

"Wah, makasih ya sayang," simbah memegang tas untuk mengaji dan sebuah gaun darinya. Begitu juga kakek, langsung memeluknya sambil mengucek-ucek rambutnya dengan sayang. Begitu menerima oleh-oleh berupa barang-barang souvenir antik kesukaannya.

"Kakek lagi banyak orderan nih," tanya Rani sambil menggelayut manja seraya memandang jajaran beberapa buah patung yang tergantung di tembok rumah. Gigi patung dibuat bertaring dengan rambut benang wool terjuntai ke bawah. Sebagian ada patung buto juga yang dibuat bertanduk.

"Alhamdulillah Cah Ayu, gak hanya wisatawan lokal, turis asing juga banyak yang suka. Meskipun mereka lebih banyak yang tertarik dengan miniatur topeng untuk gantungan kunci ya Pakne," jawab simbah sambil meletakkan sepiring getuk warna-warni bertabur kelapa. Membuat Rani tak sabar dan segera mencomotnya meskipun masih panas.

Rani ikut senang mendengar kemajuan usaha kerajinan kakek yang sudah ia rintis lama. Bahkan satu-satunya pengrajin topeng buto di desa GiriTengah. Biasanya wisatwan lokal lebih banyak yang mencari topeng buto ukuran besar untuk perlengkapan tari tradisional,selain untuk di koleksi. Oh ya, kakek yangdibantu seorang pekerja tak hanya membuat miniatur buto, tapi juga membuat miniatur kura-kura dan gajah. Kayu pule (jenis kayu yang tidak keras) sebagai bahan dasar pembuatan topeng, tersusun di halaman rumah kakek dalam jumlah cukup banyak. Tentu saja sebelum menjadi topeng yang siap dijual, bahan kayu ditatah atau dipahat lebih dulu, kemudian diamplas dan dimeni alias dibentuk sebelum akhirnya di cat.Kakek memang tak jauh beda dengan ayah, seorang pekerja keras dan tak bisa duduk diam meskipun usianya mulai senja.

"Rani mau nginap disini boleh ya Kek. Soalnya besok pengen ke puncak Suroloyo pagi-pagi."

"Ya boleh toh Nduk, berhari-hari juga kakek senang," balas kakek sambil mengelus-elus rambut hitamnya. Rani menikmati elusan kakeknya, seolah-olah ayahnya yang sedang mengelus-elusnya. Akh, betapa banyak kenangan indah bersama ayah dimasa kecilnya di desa ini. Tak heran, sejauh apapun ia terbang, pasti ingin segera kembali ke sini bila sudah pulang. Tak tertarik untuk melancong ke lain tempat, meskipun saat mendapatkan cuti terbang beberapa hari seperti sekarang.

"Oh ya Simbah, temani Rani ke makam ayah ya?" Rani memohon.

"Tentu Cah Ayu, tapi sekarang udah menjelang malam, besok saja sepulang dari Puncak." Simbah menjawab sambil memijat hidungnya gemes. Rani pun tertawa-tawa senang dan melanjutkan ceritanya penuh semangat selama menjalani tugas sebagai awak cabin. Simbah dan Kakeknya sangat antusias mendengar ceritanya sambil sesekali terkekeh dan melucu. Membuat Rani tak dapat menahan senyum, sampai lupa waktu saking asyiknya. Apalagi Kakek punya banyak cerita yang selalu ia bagikan, seputar kisah-kisah dan mitos di desa ini. Membuat Rani semakin betah dan tak ingin pulang ke rumah.

"Dulu desa ini pernah menjadi tempat persinggahan Pangeran Diponegoro. Bahkan jejaknya masih tertinggal di Sendang Suruh, Balai Kambang sampai ke Post Mati, tempat ayahmu dulu suka merenung dan menenangkan diri sambil bersandar di pohon kecik," jelas Kakek bersemangat.

"Wah, Rani baru tahu kalau ayah dulu selain suka ke Puncak Suroloyo, juga senang menyepi di Pos Mati yah Kek?"

"Iyo, bahkan ketemu ibumu juga di sana, saat ayahmu sedang asyik memandang indahnya Puncak Suroloyo, Candi Borobudur dan Gunung Merbabu dari puncak bukit Pos Mati."

"Romantis juga ya Kek," jawab Rani tak sabar mendengar Kakeknya terus bercerita soal sejarah Pangeran Diponegoro dan sejarah hidup ayahnya."

"Menurut sejarah, Pangeran Diponegoro pernah bersembunyi di Sendang Suruh dan menyimpan kerisnya bersama benda pusakanya yang lain," lanjut kakek lagi.

"Kalau Bale Kambang Kek? Tanya Rani masih penasaran.

"Nah kalau Balai Kambang itu berupa rumah kayu kecil dengan tumpukan batu-batu gunung besar disekitarnya. Sekitar 200 meterlah keberadaanya dari balai desa. Menurut warga sekitar, rumah tersebut adalah lokasi tempat kediaman Nyi Ageng Serang, kesatria wanita dari Jawa Barat yang mendampingi Pangeran Diponegoro saat bergerilya.

Rani pun manggut-manggut mendengarnya, sambil membathin betapa desa kelahiran ayahnya menyimpan jejak perjuangan pahlawan besar bangsa ini. Rasanya waktu begitu cepat berlalu bila ia sudah di rumah Simbah dan Kakeknya itu. Menjelang larut malam, Rani pun tak lagi dapat menahan kantuknya dan segera menurut diajak Simbahnya untuk turu (tidur).

Pagi-pagi Rani sudah bangun dan bersiap-siap hendak berangkat menuju lokasi. Sebelumnya Simbah sudah menyiapkan sarapan untuknya berupa nasi gudeg dan oseng-oseng tahu beserta keripik tempe. Meski tak terbiasa sarapan pagi dengan nasi, namun Rani tak ingin mengecewakan Simbah yang sudah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya. Biasanya dia cukup minum segelas susu dan sebungkus roti atau cemilan manis sejenis biskuit dan kue-kue basah. Setelah perutnya terisi, Rani pun pamit pada Simbah dan Kakeknya.

"Hati-hati jangan ngebut bawa motornya yah Cah Ayu," nasehat Simbah.

"Pulangnya jangan kesorean Nduk," timpal Kakek lagi.

Rani mengiyakan dan melambaikan tangan pada dua orang yang ia sayangi itu.

Iamemutuskan untuk menaiki motor milik kakeknya, sementara mobilnya ia tinggalin. Jalanan menuju puncak Suroloyo soalnya agak licin di musim penghujan. Apalagi jalanannya juga tak begitu lebar kira-kita tak lebih dari 3 meter. Belum lagi jalanan yang penuh belokan dan tanjakan tinggi dengan turunan yang sangat tajam. Ia harus berhati-hati agar tak terpeleset ke jurang. Ia susuri jalan dengan perlahan sambil menikmati bentangan alam yang begitu memanjakan. Beberapa homestay, mulai banyak didirikan di sekitar puncak, selain kotej. Sebelum menaiki Puncak Suroloyo yang merupakan Bukit tertinggi dikawasan pergunungan Menoreh yang terletak di Kabupaten Kulonprogo, Rani pun memarkirkan motornya terlebih dahulu di tempat parkiran yang tak jauh dari puncak. Sementara tak jauh dari tempat parkir, warung kopi beratapkan bambu masih sepi pengunjung.

Biasanya selalu ramai karena kopinya yang lumayan enak bagi para pendatang. Sebelum menaiki tangga puncak Suroloyo yang terlihat berkelok-kelok seperti ular tangga dari kejauhan,ia melihat warga sekitar sudah mulai beraktivitas dengan memanggul rumput,daun dan batang kayu bakar Kaliandra untuk dijual, agar dapur mereka tetap mengepul. Sepertinya belum begitu banyak wisatawan yang datang berkunjung . Mungkin baru dialah orang pertama yang sudah datang karenakepagian. Kabut dingin mulai merasuki pori-pori kulitnya, hingga ia menggigil juga. Untung jaket tak pernah lupa ia bawa kemanapun, saat hendak berwisata ke tempat-tempat bersuhu rendah dan bercuaca dingin menggigit.

Pelan-pelan ia tapaki anak tangga sambil berpegangan pagar besi di kiri kanannya. Lalu sesekali berhenti sejenak melepas lelah. Yah, untuk sampai ke atas puncak, ia harus menaiki kurang lebih 290 anak tangga. Lumayanlah sekalian berolah raga melatih otot-ototnya sembari menghirup serbuan oksigen yang keluar dari pohon-pohon rindang di sekitarnya. Begitu sampai diatas puncak, rasa takjub menyergapnya. Menyaksikan dengan jelas kota Yogyakartayang seolah tergantung indah di atas awan. Menatap keindahan Borobudur di kabupaten Magelang Jawa Tengah. Allah Sungguh Maha Besar dengan mahakaryanya yang mempesona tiada tara. Ia tak henti berdecak kagum dan bertasbih, sebagaimana ia yakinburung-burung, pepohonan dan alam pun tak henti memuji-Nya.

Rasanya ia ingin terus berdiri memandang pemandangan luar biasa di depannya hingga sunrise muncul di sore hari. Menikmati siluet orange kemerah-merahan berlatar birunya langit dan awan yang mulai menggelap seperti dulu saat bersama sang ayah. Kenangan yang terus terpahat dihatinya sampai kapanpun. Ia ingat, dulu selalu penuh semangat sambil bernyanyi kecil, bila diajak ayahnya menaiki anak tangga yang berjumlah ratusan menuju puncak. Meskipun lelah, ia menikmati setiap lompatan kaki kecilnya menapak diatas anak tangga. Kalau sudah lelah, ayah akan menggendongnya dari belakang menuju puncak. Begitu sampai, segera ayah menunjukkan padanya hamparan deretan empat gunung pulau jawa secara bersamaan.

"Itu gunung apa yang berderet-deret yah?" tanyanya penasaran.

"Oh, itu Gunung Merbabu, Merapi, Sumbing dan Sindoro sayang.Kamu tahu Nak, jika ditarik lurus dari Utara ke Selatan, serta dari Barat ke Timur di atas pulau Jawa, maka akan bertemu titik pusatnya di Puncak Suroloyo ini. Hingga di sebut sebagai Kiblat Pancering Bumi, yaitu Titik tengah pusat pertemuan empat penjuru pulau jawa," terang ayahnya sambil tersenyum sayang. Sebagaimana hidup yang kita jalani, maka apapun itu kamu harus tetap berpegang pada pusat kehidupan ini ya Nak, yaitu Gusti Allah," terang ayahnya lagi.

Filosofi dari ayahnya itu terus ia pegang hingga sekarang. Entah itu dalam menjalani karirnya sebagai awak cabin, keluarga, lingkungan sosial dan cinta. Ia selalu melakukannya dengan selalu berpegang pada Sang Pencipta pemilik dirinya. Meskipun kisah cintanya masih belum jelas masa depannya. Cinta, akankah berpihak padanya di tengah ketidaksempurnaannya? Bagaimanapun keadaannya ia tetap berharap akan datangnya cinta sejati karena Ilahi.I proud of you u Dad, Forever.... Ia hembuskan kembali nama itu ke udara.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top