7. Dokter Lulu

"Mbak, Mbak, bangun," teguran halus di telingaku membuat mau tidak mau mata ini terbuka juga. Awalnya memang samar, tetapi sepersekian detik kemudian menjadi jelas.

Habibi? Mau apa dia di sini? Apa dia pelanggan ku selanjutnya?

"Mau apa Mas di sini?emangnya Mas sudah booking saya?" tanyaku masih antara sadar tidak sadar. Pemuda itu tertawa pendek, lalu dari belakang tubuhnya muncul seorang wanita cantik yang menutup seluruh anggota tubuhnya. Hanya tangan dan wajahnya saja yang terlihat. Walau semua tertutup, aku tahu wanita ini pastilah sangat cantik.

"Selamat malam, Mbak Gladis, perkenalkan saya Lulu. Sepupu jauh dari Habibi yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah Habibi bersama orang tua saya," terang wanita itu dengan anggunnya. Ya ampun, aku saja yang wanita sangat senang melihatnya, apalagi lelaki.

"Terus, kenapa ada di rumah saya?" tanyaku heran.

"Mbak Gladis diantar makanan lagi sama driver tadi, tapi saya panggil-panggil tidak menyahut, jadi saya ajak Lulu ke sini untuk melihat keadaan Mbak Gladis. Puput ini dokter, Mbak."

Aku pun mengangguk. Barulah aku paham kenapa ada dua makhluk tampan dan cantik di dalam rumahku. Ternyata mereka baik dan sedang menolongku.

"Mbak anemia, tekanan darahnya rendah sekali. Pantas saja pingsan dan sangat pucat. Saya sudah resepkan obat dan nanti akan dibeli oleh Habibi. Kami permisi dulu ya."

"Terima kasih, Dok, Terima kasih Mas Bibi." Kedua orang itu pun pergi dari rumahku. Satu gelas air teh hangat sudah ada di atas meja. Ada juga bubur ayam dan potongan buah pepaya. Jika bubur pasti kiriman dari Miko, maka teh dan buah pepaya potong, pasti dari Habibi. Bersyukur rasanya memiliki tetangga yang sangat baik.

Aku berusaha bangun dari duduk karena ingin ke kamar mandi. Dengan tertatih dan menahan tubuh ini pada dinding rumah, aku berjalan menuju kamar mandi. Sejak keluar rumah sakit tadi siang, aku sama sekali belum mencuci muka dan mengganti baju.

Setelah ritual kamar mandi aku lakukan  aku pun mengganti baju dengan piyama yah lebih nyaman. Rambut juga kusisir rapi, kemudian aku membasahi tenggorokan, perut, dan juga keningku dengan minyak kayu putih.

Kunikmati teh hangat buatan Habibi. Rasanya aneh, tetapi enak. Teh apa ini? Aku belum pernah mencobanya.

Tok! Tok!

"Mbak, saya masuk ya," suara Dokter Lulu di depan rumahku.

"Iya, silakan," sahutku dengan suara sudah lebih segar.

Wanita itu muncul di kamarku sambil membawa bungkusan plastik putih dengan logo apotek.

"Berapa, Dok?" tanyaku.

"Sudah dibayar Habibi, Mbak. Jangan sungkan, namanya tetangga sedang sakit. Mari, saya permisi."

"Ya ampun, maafkan saya jadi ngerepotin ya," kataku lagi dengan wajah salah tingkah. Dokter cantik itu kembali tersenyum, lalu melangkah keluar dari kamarku. Suara pintu rumah pun tertutup.

Jika sebelumnya aku pernah memanggil jasa dokter untuk ke rumah, maka biayanya paling murah dua ratus lima puluh ribu, belum resepnya. Namun kali ini Habibi yang membayarnya, sungguh aku harus benar-benar berterima kasih pada pemuda itu.

Keesokan harinya, tubuhku sudah lebih sehat. Aku bisa bangun dari tempat tidur untuk menyapu rumah semampu tenagaku saja. Aku juga sudah bisa berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan roti dan juga membuat segelas susu.

Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaykumussalam." Aku menjawab salam tersebut, lalu berjalan menuju pintu. Suaranya seperti milik Habibi, apa yang diinginkan lelaki itu pagi-pagi seperti ini?

Cklek

"Halo, Mbak, bagaimana keadaannya? Sudah baikan?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

"Sudah, Mas. Oh, iya, saya mau ucapkan terima kasih karena Mas sudah banyak membantu saya. Berapa uang yang harus saya ganti, Mas?"

"Eh, gak usah, Mbak, hanya obat doang. Yang penting Mbak Gladis bisa cepat sembuh biar bisa kerja lagi." Habibi tidak tahu saja, sakit adalah salah satu kesempatan yang paling aku sukai dalam hidup ini karena aku bisa beristirahat dari dunia malam.

"Terima kasih, Mas, semoga rejekinya berkah ya." Aku pun ikut tersenyum padanya. Untuk beberapa saat kami saling pandang, lalu aku merasa canggung dan memutus tatapan itu.

"Maaf, ini ada jagung rebus. Dokter Lulu membawanya dari kampung. Ada juga singkong dan beras. Saya tinggal memasaknya saja. Silakan di cicipi, Mbak, saya permisi dulu. Semoga lekas sembuh."

"Oh, iya, Mas, terima kasih banyak." Habibi kembali ke rumahnya, sedangkan aku malah langsung duduk di kursi tamu tanpa membuka pintu. Sengaja aku lakukan agar angin pagi dan juga sinar matahari yang sangat cantik di atas sana, masuk ke dalam rumahku.

"Dua bulan lagi itu tidak lama. Kamu baik-baik di sini ya. Jaga kepercayaan Lulu sama kamu, Bibi. Biar Lulu di kampung bertugas dengan tenang sambil mengurus surat mutasi agar bisa pindah praktek ke Jakarta setelah kalian menikah."

"Iya, Bude, InsyaAllah, saya juga sedang menyiapkan semuanya di sini. Mama dan papa juga sedang membantu untuk urusan yang lain, makanya belum bisa ketemu Bude dan Pakde di sini."

"Akadnya di kampung toh?"

"Iya, Pakde, sesuai maunya calon istri saya."

"He he... apaan sih, Habibi?" suara Dokter Lulu terdengar begitu merdu.

Deg!

Mas Habibi mau menikah dengan Dokter Lulu? Sepupu jauhnya itu?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top