6. Perhatian Habibi

"Lu beneran gak papa di rumah sendirian, Dis?" tanya Miko yang hari ini mengantarku pulang dari rumah sakit. Tiga hari dirawat aku sudah tidak betah. Untunglah dokter mengijinkanku rawat jalan dan harus datang untuk kontrol minggu depan.

"Gak papa kalau sendirian, kalau berdua sama lu, beras gue bisa habis," balasku diikuti gelak tawa Miko. Lelaki sedikit kemayu itu selalu mampu menghibur dan tidak pernah sekali pun marah dengan celetukanku.

"Kalau udah bisa sewot gini, tandanya lu udah sembuh. Ntar gue bilangin Tante biar lu masuk!"

"Ogah, gue dapat jatah libur sepuluh hari gara-gara Sam. Tante udah setuju. Muka bengep begini susah ditutupi pakai make up, Ko."

"Iya, gue tahu. Nih, gue anter sampai depan rumah." Aku menoleh ke kiri saat mobil yang dikendarai Miko berhenti. Ternyata sudah sampai di depan rumahku. Tanpa sengaja aku menoleh ke samping dan melihat tetangga tampan ku sedang membersihkan aquariumnya.

"Lu naksir tetangga ya?" Miko membukakan pintu mobil untukku, sambil melirik ke arah Habibi yang tengah asik.

"Sok tahu!" Aku mencebik.

Naksir lelaki? Ya ampun, aku sudah tidak ingat kapan aku pernah naksir lelaki. Ah, iya, waktu itu pernah naksir lelaki saat aku masih ingusan. Lalu saat ini? Naksir lelaki sudah tidak pernah lagi. Prioritasku saat ini adalah bekerja, eh, salah... mendesah maksudnya, agar aku memperoleh uang yang banyak untuk membayar utang bapak di kampung.

"Mbak Gadis sudah pulang?" sapa Habibi dengan begitu ramah saat ia menoleh ke arahku.

"Iya, Mas, kaki saya napak ke tanah'kan? Berarti emang Gladis yang pulang, bukan makhluk halus. Lagian nama saya Gladis, Mas, bukan Gadis. Mari Mas, saya masuk dulu ya."

"Wajah Mbak Gladis kenapa?" pertanyaan tiba-tiba yang keluar dari bibir Habibi membuatku kembali menghentikan langkah, sedangkan Miko sedang memainkan matanya menggodaku.

"Jalannya kenapa? Habis kecelakaan ya? Di mana? Pantesan gak pulang-pulang," cecar Habibi membuat hatiku yang biasanya berwarna hitam pekat, kini sedikit kebiruan. Sama persis dengan biru di tulang pipi kanan dan kiriku.

"Iya, Mas, Mbak saya habis kecelakaan. Ini baru pulang dari rumah sakit. Ngobrolnya nanti saja ya, Mas, biar Mbak saya istirahat dulu. Kalau mau jenguk, jangan lupa bawa buah ya." Aku mencebik kesal pada Miko. Bisa-bisanya dia memotong pembicaraanku dengan Habibi. Padahal inilah pertama kalinya Habibi banyak mengeluarkan kata-kata padaku.

"Oh, iya, maaf, silakan!" Habibi pun merasa tidak enak hati, lalu mempersilakanku untuk masuk ke dalam rumah. Miko sudah membuka pintu dan menyimpan tas pakaianku di kamar. Lelaki itu juga membantu membersihkan rumahku, seperti menyapu dan mencuci piring yang sejak tiga hari lalu belum sempat kucuci.

"Gue udah pesenin online sop iga buat lu, Dis. Nasi juga gue masak tuh, tinggal nunggu mateng. Gue balik ya, udah ditunggu buat nganter Clara ke Senayan City." Miko berdiri di depan pintu kamar sambil menatapku yang sedang berbaring.

"Makasih, Miko, semoga amal ibadah lu diterima ya. Makanan online udah lu bayar juga'kan? He he he.... "

"Iya, sudah, lu tinggal mangap aja. Dah  ya, gue balik. Obat lu diminum biar cepat sehat. Kalau sempat, besok atau lusa gue kemari lagi. Oh, iya, siapa nama cowok sebelah?"

"Habibi, kenapa emang? Naksir lu?" tanyaku sambil memainkan bola mata.

"Ya, kalau lu gak mau, buat gue aja gak papa, ha ha ha.... "

Puk!

Bantal bentuk alpukat favoritku melayang ke wajah Miko.

"Gue becanda, Nek. Ya udah, gue balik ya."

"Iya, makasih ya. Langsung jalan lurus lu ya, jangan pakai belok ke rumah Habibi!" Teriakku saat kudengar suara pintu dibuka. Suara tawa Miko pun masih terdengar keras masuk ke kamar, tetapi tiba-tiba suara tawa itu berganti dengan suara orang yang tengah berbincang. Apa Miko bicara dengan Habibi? Apa yang mereka bicarakan?

"Titip Mbak saya ya, Mas, kalau penyakit ayannya kambuh, hubungi saya aja. Ini nomor HP saya." Aku mendelik mendengar fitnah keji yang keluar bibir Miko. Ayan katanya?

"Oh, jadi Mbak Gladis punya penyakit ayan, makanya terjadi kecelakaan?" sahut Habibi dengan polosnya.

"Miko, lu udah bosan hidup di dunia? Pulang gak lu!" Teriakku dari dalam kamar. Suara tawa menggelagar milik Miko akhirnya menjauh, lalu tak lama kemudian suara deru mobil lelaki itu menjauh.

Aku pun kembali memejamkan mata. Efek obat pereda nyeri yang tadi pagi aku minum masih berefek pada tubuhku. Saat ini seluruh badan terasa sakit, lemas, dan mataku sangat mengantuk. Tak sanggup rasanya aku menunggu gr*bfood datang mengantar makanan.

Aku terbangun saat suara ketukan cukup keras di jendela kamar.

Siapa sih?

"Mbak, Mbak, ini ada bungkusan makanan." Tulang pipiku terasa nyeri saat akan menyahut seruan Habibi.

"Iya, sebentar." Aku bangun dan berjalan tertatih ke arah jendela. Lalu menggeser tirai untuk mengambil bungkusan makanan dari balik teralis.

"Ya ampun, Mbak Gladis pucat sekali. Mbak gak papa?"

"Mas Habibi, kalau pucat, pasti ada apa-apanya, bukan gak papa. Sstt... saya gak bisa banyak bicara, Mas, pipi saya sakit, makasih ya." Aku mengambil bungkusan yang diusulkan Habibi dari balik teralis. Pemuda itu masih diam di tempatnya sambil memperhatikanku dengan seksama.

"Bagaimana kejadiannya bisa sampai babak belur begini, Mbak? Nabrak portal? Apa nabrak pembatas jalan?" tanya Habibi sambil menatapku dengan rasa iba.

"Gak papa, Mas, nanti juga sembuh. Makasih ya."

Apa aku GR? GR dong! Hatiku rasa berbunga-bunga karena diperhatikan Habibi yang tampan, muda, juga soleh. Pipiku menghangat seperti kerupuk yang dijemur di bawah sinar matahari pagi.

"Mbak apa perlu saya panggilkan ustadz?" tirai jendela yang baru saja kututup, terpaksa kubuka lagi.

"Mas, saya ini sakit habis digebuki, bukan sedang sakaratul maut."

Ckrek!

Tirai kututup begitu juga dengan jendela. Bunga yang tadi sempat mekar di hatiku, kini layu kembali.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top