5. Babak- belur
Kepalaku sangat berat, begitu juga dengan kedua mataku ini, hingga aku tak sanggup untuk membuka mata. Apakah aku sudah mati? Kenapa rasanya berbeda sekali? Panas, apa aku sedang ada di dekat api neraka?
Ya Tuhan, sesingkat itu hidupku, tapi tidak mengapa, paling tidak aku tidak perlu lagi mendesah di depan pria hidung belang.
"Gladis, lu udah sadar?" itu suara Miko. Aku sangat hapal. Apa kami berdua masuk ke neraka? Ya ampun, kenapa harus duet dengan Miko?
"Gladis, buka sini mata lu! Lu mau apa? Minum mau gak?" Aku menggeleng, takut air yang aku minum nanti adalah darah.
"Kamu mau apa? Masih sakit gak? Pusing ya?" cecar suara Miko membuatku memaksakan diri untuk membuka mata.
"Ini di mana? Memangnya di neraka ada rumah sakit?" tanyaku dengan suara berbisik. Bukan karena aku takut ada yang mendengarkan, tetapi tulang pipiku terasa ngilu saat aku menggerakkan bibir.
"Lu di klinik, Gladis. Ya ampun, nasib lu semalam jelek banget. Untunglah gue datang dan meminta tolong petugas hotel untuk membuka pintu, kalau tidak, gue yakin, lo tinggal nama saja," cerita Miko dengan wajah yang khawatir.
Ya, akhirnya aku ingat, semalam, saat baru memulai bercinta dengan Sam, aku ditampar dua kali olehnya. Belum lagi gesper yang melayang ke sekujur tubuhku. Aku menggeleng tidak mau mengingatnya. Sungguh mengerikan.
"Kenapa tidak membawa gue ke rumah sakit?" tanyaku lagi masih dengan mulut yang sulit terbuka.
"Gue terlalu panik dengan keadaan kamu, aku takut kamu kenapa-napa, makanya aku bawa ke klinik terdekat saja. Memang panas sih, tidak ada AC, hanya kipas angin. Jadi panasnya bukan karena ada di neraka, tapi karena gak pake AC, ha ha ha... Model wanita malam kayak lu, kayaknya cocoknya jadi pelawak aja, Dis, ha ha ha...." Miko terus meledek dan menertawai ku.
"Sabar ya, Tante Citra sedang mengirimkan ambulan untuk membawa lu ke rumah sakit. Sedang dalam perjalanan ke sini. Nanti udah gak panas lagi. " Aku pun mengangguk pasrah, tidak ada yang bisa kulakukan selain bersabar menunggu dan sabar karena rasa sakit di sekujur tubuhku.
Satu jam kemudian, aku sudah berada di rumah sakit besar, kamar VIP. Tante Citra yang menyiapkannya untukku. Ditemani Hendro, Astrid, dan juga Miko, Tante Citra menungguiku di rumah sakit.
"Maafin Tante ya, Gladis, Tante gak tahu kalau Sam itu ada kelainan. Sudah langsung Tante blacklist dari daftar pelanggan dan tidak akan Tante berikan wanita walau dia memohon. Tante tidak membawa masalah ini ke polisi, kamu gak papa?" Kulihat raut wajah khawatir yang tulus begitu jelas dari Tante Citra. Mungkin karena aku primadona dan sudah memberikannya banyak duit, maka ia begitu tidak tega dengan keadaanku.
"Tante, saya ijin dulu ya. Gak sanggup harus mendesah lagi dalam keadaan seperti ini," pintaku pada wanita setengah baya itu.
"Iya, sudah pasti, kamu sembuhkan luka saja. Tante sudah menuntut ganti rugi pada Sam. Pria bule itu setuju dan ia pula yang membayar kamar perawatan kamu ini. Sam juga yang nantinya akan menanggung biaya rumah sakit, termasuk uang saku untuk Miko dan Astrid yang akan bergantian menunggui kamu di sini. " Aku mengangguk paham.
"Enak banget, cuma duduk di rumah sakit dapat duit," gumamku kesal dengan bibir yang sakit sekali untuk dibuka lebar. Semua yang ada di sana tertawa melihatku. Entah apa yang lucu menonton wanita malam yang babak belur seperti baru turun dari ring tinju.
Lukaku dirawat dengan sangat baik oleh tim dokter dan perawat di rumah sakit. Aku sudah bisa makan makanan sedikit bertekstur agar keras, tidak melulu bubur ayam, bubur sum-sum, dan juga nasi lembek. Bukan karena aku sakit maag atau thypus, tetapi karena mulutku yang tidak bisa dibawa untuk mengunyah yang keras.
Rasa sakit di badan ini pun perlahan berkurang, tetapi tetap saja aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena Miko sangat berisik. Pemuda itu mendengkur seperti kerbau yang tengah kawin, sepanjang malam.
"Gladis, lu mau gue beliin apa? Gue mau beli kopi di kantin?" tanya Miko padaku.
"Samsu dua bungkus deh," jawabku santai, tetapi malah membuat Miko tertawa terpingkal-pingkal.
"Kenapa, Lu? Biasanya juga gue ngerokok gak papa," tanyaku lagi dengan kening mengerut dalam.
"Rokok lu gak elit pisan, Gladis. Samsu itu rokoknya engkong gue, ha ha ha.... "
Puk!
Aku melempar bantal tidur berbentuk hati ke arah kepala Miko.
"Sempak lu! Udah sana pergi! Beliin gue buah aja kalau gitu, pisang kek, pepaya, apa aja yang seger deh," kataku akhirnya.
"Oh, iya, Miko, di sini ada dokter untuk periksa payudara gak? "
"Adalah, memangnya kenapa teti lu?"
"Lu tahu gak, sama si bule teti gue diayak, ntah apa jadi bentukannya ini. Ampun, gue kapok punya kustomer begitu banget. Kalau teti gue bantet gimana? Inikan salah satu aset gue, Miko!"
"Ha ha ha ... stres lu, Dis! Cape gue ngomong sama lu, mending lu pensiun aja jadi pecun, jadi pelawak aja sana!" Lagi-lagi Miko tidak mempedulikan keluhanku. Biar saja, nanti aku akan bertanya langsung pada dokter penyakit dalam saja.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top