3. Panas
Untung saja Tuan Takur ditelepon istrinya tadi, jika tidak, maka dapat dipastikan aku tidak bertemu kasur ku malam ini dan terus saja dibolak-balik olehnya seperti menjemur kasur kapuk.
Punya kustomer beristri itu sangat bermanfaat, karena ada kalanya mereka meringankan pekerjaanku seperti malam ini.
"Mbak Gladis, sudah sampai," tegur Edmund;sopir club yang mengantarku pulang dari hotel.
"Eh, iya, gara-gara ngelamun Tuan Takur nih, gue jadi gak ngeh kalau sudah sampai rumah, he he he... Makasih Bang Emon."
"Edmund, Mbak, bukan Emon!" Ptotesnya sambil tertawa.
"Bibir ya bibir gue, terserah gue mau manggil siapa! Dah, gue turun ye!" Aku pun langsung turun dari mobil dengan sedikit sempoyongan. Alkohol yang aku minum memang tidak banyak, tetapi tetap saja membuatku seperti sedang berada di perahu dua puluh lima ribuan.
"Mbak, makasih tipsnya!" Aku menoleh saat Edmund menunjukan satu lembar uang merah pemberianku dengan senyuman begitu lebarnya. Aku mengangguk, lalu ikut melambaikan tangan.
Bismillahirrahmanirrahim.
Allahu laa ila ha illa huwal hayyul qoyyum. Laa tak khuzuhussinatuwwalanaum
Aku memegang kepalaku yang semakin sakit saat mendengar suara orang tengah melantunkan ayat Al-Quran dengan begitu merdu. Aku kesulitan mencari kunci rumah yang ada di dalam tad karena merasakan kepala yang sangat berputar.
"Hei, siapa sih ini yang ngaji? Gue panas! Tolong, jangan ngaji! Hei! Berhenti!" Aku mengoceh tidak karuan di jam sebelas malam yang sudah sepi.
"Panas woy! Gue panas! Aduh, siapa sih?!" Kakinya melangkah ke rumah sebelah yang ternyata suaranya berasal dari sana.
Tok! Tok!
"Woy, anak muda! Bisa berhenti gak ngajinya? Gue panas. Lu kalau ngaji diem-diem aja di kamar, jangan bersuara. Buka nih pintunya!" Aku terus menggedor pintu rumah tetangga sebelahku itu. Suara lantunan ayat suci itu pun seketika berhenti.
Ck lek
"Setaan!" Pekik Habibi ketakutan. Aku pun ikut tersentak, lalu menoleh cepat ke kebelakang. Memang dasar mataku minus, sebuah penampakan kain putih menggantung di depanku membuat aku shock.
"Setan!" Aku pun menerobos masuk ke rumah Habibi, lalu membantu pemuda itu untuk menutup pintu dan langsung memutar anak kunci sebanyak dua kali.
Ekh! Aku cegukan.
"Mbak, mau apa di rumah saya? Rumah Mbak di sebelah," katanya seperti tidak terima. Ditambah lagi bau alkohol dariku, jelaslah pemuda itu memencet hidungnya dengan kuatkuat, karena tidak tahan.
"Iya, Mas, saya tahu rumah saya di sebelah, tapi setan itu masih di depan rumah Mas, gimana saya mau pulang. Saya nginep di sini ya!" Tanpaenunggu jawaban dari Habibi, aku pun langsung menghempaskan tubuhku di sofa miliknya. Bukan lagi duduk, tetap aku langsung berbaring karena kepalaku yang berat.
"Mas daripada bengong, mending buatkan saya teh," rengekku padanya, tetapi pemuda itu masih diam di tempat sambil berkacak pinggang dan sebelah tangan lagi menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Maaf Mbak Gladis, ini rumah saya, rumah Mbak di sebelah, ayo, saya antar sampai ke depan pintu!"
"Gendong ya? Tak gendong, ke mana aja, gitu lagunya. Saya ringan, kok, Mas. Ayo, gendong!" Aku bangun dari duduk, lalu berjalan mendekati pemuda itu, tetapi sayang, Habibi terlalu takut padaku sehingga ia memilih menghindar dengan berlari.
Ia pun mengambil Al-Quran yang ada di atas meja, lalu membuka kitab suci itu.
Bismillahirrahmanirrahim.
"Ck, ya ampun! Malah ngaji lagi. Mas, saya kepanasan ini, berhenti dong ngajinya!" Aku mendekat pada Habibi, tetapi pemuda itu berhasil menghindar lagi. Aku tidak punya pilihan, daripada warga datang dan ramai-ramai mengusirku, lebih baik aku pulang dan menutup telinga dengan headset agar suara Habibi tidak terdengar ke telingaku.
"Ya sudah, pulang saja deh!" Aku pun memutuskan untuk membuka pintu rumah Habibi, lalu pergi begitu saja tanpa permisi.
Blam!
Kudengar pintu rumah tetangga baruku itu dibanting. Aku hanya bisa tertawa sinis, lalu duduk di kursi teras karena sudah sangat mengantuk dan aku tidak bisa menemukan di mana kunci rumahku berada.
Suara azan dari kejauhan membuatku tersentak dari tidur. Samar aku memperhatikan keadaan sekelilingku yang masih gelap. Perlahan kukumpulkan kesadaran untuk menemukan kunci rumah.
Semua isi tas kutumpahkan di lantai teras dan akhirnya kunci itu pun kutemukan. Suara pintu rumah dibuka, lalu ditutup kemudian. Mas Habibi pasti mau salat di masjid, pikirku.
"Halo, Mas," sapaku.
"Ya Allah, setan!" Pekiknya kaget saat melihatku duduk di lantai dengan isi tas berserakan.
"He he he... Mau ke mesjid ya, Mas?" tanyaku berbasa-basi.
"Iya, Mbak, gak mungkin saya subuh-subuh mau ke salon. Permisi, Mbak." Tanpa babibu lagi, pemuda itu berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku pun masuk ke dalam rumah, menutup pintu, lalu melanjutkan tidur kembali.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top