RA02-Bola Volly
Hari kamis jadwalnya latihan ekstra kulikuler bola volly. Mengetahui Bu Riska guru sejarah tidak masuk karena izin sakit, jadi begitu bel pulang berbunyi nyaring, ia sudah siap dengan setelan olah raga. Sepatu khusus volly warna biru corak hijau muda dan celana training panjang. Ia tak percaya diri seperti rekan yang lain, memamerkan paha.
Sembari melangkah kaki menuju lapangan, rambut sebahu Asfia dikuncir kuda. Ia hampir saja tersungkur ke lantai saat ada seseorang yang merangkul bahunya.
Bibirnya mencebik setelah melihat siapa yang tengah tertawa lebar memainkan alisnya naik turun.
"Kalau gue lecet, lo harus tanggung jawab," desisnya.
"Bodo amat, Bu ketua." Hani, sekaligus sohibnya itu juga rekan Asfia di tim. Bertugas sebagai toser utama.
"Inget, besok ada tanding sama SMA tetangga."
"Iya, gue inget, kok," sahut Hani.
Saat sampai ke lapangan, semua atlet voly sudah kumpul di sana. Termasuk Pak Hendra, pelatih kesayangan mereka. Masih muda, royal lagi. Tidak ada istilah pelit dalam hidup pria bertubuh tinggi itu. Apalagi kalau tim meraih kemenangan, lanjut ke rumah makan besoknya.
"Nah, ini dia ketuanya," seru Heri, adik kelas sekaligus tim voly putra.
"Apaan emangnya?"
"Dari tadi kita nungguin Kak Asfia sama Kak Hani," sahutnya lagi.
"Ya udah, kita berdoa dulu aja. Semua merapat," teriak Asfia.
Sejak kelas sebelas, ia memang dipercaya Pak Hendra sebagai ketua tim putri. Sedangkan di putra, entah siapa ketuanya. Tidak jelas. Katanya, siapa pun jadi pemimpin, digilir tiap pertemuan beda ketua. Amburadul memang, tetapi saat main di lapangan, mereka selalu serius.
Setelah semua merapat, Asfia menatap mereka satu persatu. "Oke, untuk kelancaran latihan hari ini, semoga berjalan lancar. Berdoa sesuai kepercayaan masing-masing, dimulai."
Mereka semua tampak menunduk, mata terpejam dan tangan saling menumpuk di bawah. Tidak sampai tiga menit, kepala sudah terangkat lagi.
"Oke. Untuk SMA Alam Raya." Asfia setengah berteriak, mengulurkan tangan ke depan diikuti rekan-rekannya saling menumpuk telapak tangan.
"Fighting!" sorak mereka seraya melambungkan tangan ke atas.
Dengan posisi melingkar, semua anggota tim tampak serius dengan pemanasan. Pak Hendra masih berdiri mematung di sisi lapang, mengamati anak didiknya dengan teliti. Kadang keningnya berkerut, lalu tersenyum tipis.
"Fia, ke sini kamu," panggilnya.
Yang namanya terpanggil pun mendekat. "Iya, Pak."
"Besok kamu jadi cadangan aja."
Mata Asfia sontak memelotot. "Lho, Pak? Kenapa?" Nada bicaranya refleks tinggi, tidak terima.
"Beosk kan cuma percobaan aja. Lombanya dua minggu lagi. Kita sembunyikan dulu kemampuan kamu."
Gadis itu berdecak pelan. "Mereka juga pasti udah pada kenal sama aku, Pak." Kali ini, suara Asfia terdengar frustrasi.
Tak boleh. Apa pun yang terjadi, Asfia ingin turun ke lapangan dan menjadi ketua tim. Apa kata orang-orang kalau ia hanya duduk di kursi cadangan padahal siapa pun mengakui kemampuannya?
"Nggak, Pak. Pokoknya saya mau main!"
Mereka yang tengah berlatih pun kompak menoleh karena mendengar teriakan Asfia. Ia tak peduli dengan opini teman-temannya sekarang, berani membentak seoranh Handra Ali. Pelatih Voly tersohor karena mantan atlet voly Indonesia.
"Pak, kalau mereka kalah bagaimana? Selama ini menang juga karena ada saya."
"Fi, tim menang karena ada kerja sama. Bukan karena satu orang atau seseorang. Ingat itu!"
"Ya, tapi kan ...."
"Kamu jangan egois, Asfia! Biarkan mereka usaha sebisa mereka tanpa kamu."
Asfia menoleh ke arah mereka di lapangan. Tampak teman-temannya tengah menoleh dan mengamati perdebatan sengit antara ketua tim putri dan pelatih. Setelah mengusap wajah dengan kasar, embusan napas panjang keluar begitu saja untuk meredam emosi.
"Saya tidak egois, Pak!"
"Kamu egois. Main di lapangan bukan untuk tim, tapi untuk diri kamu sendiri. Ingin dibanggakan dan dielu-elukan. Iya, begitu?"
"Kok, Bapak punya pemikiran begitu?" elak Asfia.
"Kamu masih ngotot mau turun ke lapangan besok atau nggak ikut main sama sekali? Bukan pemain inti juga cadangan."
Dalam hati, Asfia sudah mengumpati pria yang tak kunjung menikah meski usianya menginjak angka tiga puluh.
Setelah diam selama lima menit, Asfia mengentakkan kaki dan pergi dari hadapan pelatihnya. Ia tak berkata apa-apa. Hanya meninggalkan tanda tanya di benak tim kenapa ada perdebatan seperti tadi.
***
Sembari menunggu angkutan umum lewat depan gerbang sekolah, Asfia menepi ke trotoar dan duduk di sana. Kepalanya bertumpu di atas lutut, isakan kecil mulai keluar, meski teredam dengan suara kendaraan yang lewat.
"Gue benci." Ia terus mengulang kata yang sama sampai merasakan tepukan di pundak kanan.
"Aku ... Antar pulang, ya."
Asfia mendongakkan kepala untuk melihat siapa pelakunya. Rihan, pria itu berdiri di depannya sembari bersandar pada motor satria warna biru.
"Lo ... Lo ngapain di sini?"
"Ngajakin anak orang pulang," jawab Rihan asal. Ia terkekeh pelan melihat penampilan Asfia yang mirip anak jalanan. Wajah kusut, mata sembap, ada ingus juga keluar dari hidung.
"Nih, hapus air mata sama ingus lo." Tangannya terulur menyerahkan sapu tangan biru dongker. Ada dua garis di sisinya dan dipojok ada bordelan huruf "RP" tanda inisial nama.
"Ada ingusnya, ya?" tanya Asfia polos dan langsung diangguki Rihan.
Entah keberanian datang dari mana. Mendapati Asfia hanya memandangi sapu tangan itu, tangan Rihan semakin dekat menjangkau matanya. Menghapus air mata yang tersisa di ujung kelopak mata dan ingus.
Asfia terpaku dengan jarak antara mereka yang dekat. Apalagi, kepala Rihan yang menunduk sedang kepalanya mendongak. Ia bisa melihat dengan jelas kalau pria itu tersenyum tipis.
"Nah, gini kan cakep," kata Rihan. Mata mereka bertemu beberapa saat, ditemani embusan angin yang sedikit sejuk menerbangkan anak rambut Asfia yang tidak kena ikat. Milik Rihan pun sedikit tergoyangkan.
"Lo apaan, sih. Jijik tahu ingus gue." Ia membuang muka ke sebelah kanan setelah mendorong dada Rihan yany terasa keras.
Rihan pun terkekeh melihat perubahan di pipi Asfia, tampak memerah. Ah, apalagi di bagian telinganya.
"Mau pulang nggak? Kan gue calon suami lo."
Mata Asfia mendelik tajam. "Ngarep lo jadi calon suami gue."
"Lha, setiap hari lo manggil gue gitu, kan?"
"Astaga!" Asfia berdecak malas seraya berdiri. Ia harus menengadah agar tatapan keduanya bertemu. "Lo bisa bedain mana becanda mana serius nggak, sih?"
Respon dari Rihan hanya mengedikkan bahu, membuatnya semakin dongkol. Emosi kembali meletup-letup, seolah terpancing lagi gara-gara kejadian di lapangan dengan pelatihanya.
"Gila ya, lo! Tengil ternyata kalau nggak ada anak-anak."
Setelah mendorong bahu Rihan dengan telunjuknya, Asfia berlalu dan melambaikan tangannya untuk menghentikan angkutan umum yang kebetulan tidak penuh. Hanya ada tiga penumpang. Satu ibu-ibu menggandeng anak kecil cowok dan satu lagi anak SMA. Dari logonya sih, berasal dari sekolah tetangga.
Melihat angkutan umum yang Asfia naiki sudah melaju, dengan menggunakan motornya, ia ikut membuntuti dari belakang. Hanya ingin memastikan, gadis berusia tujuh belas tahun itu sampai ke rumah dengan selamat.
***
Tak memakai seragam tim seperti yang lainnya. Ia memilih untuk batal ikut daripada duduk di kursi cadangan. Katanya, menjatuhkan harga diri sebagai pemain terbaik SMA Alam Raya.
Sejak masuk kelas, kpalanya terus menunduk di atas meja. Beberapa kali Hani bertanya pasal kejadian kemarin pun, terus Asfia hiraukan. Dan semua itu, tak luput dari pandangan Rihan. Dari tempatnya duduk, strategis memang untuk tahu apa yang teman-temannya lakukan.
Jika pria culun kebanyak memilih duduk di depan agar terlihat rajin atau apalah, tetapi Rihan memilih barisan paling belakang, dekat ke jendela. Biasanya, teman sekelas yang lain kalau jam istirahat pertama ngintip janda muda gemuk di rumah seberang selokan sana, kalau dirinya lebih senang melihat pohon mangga yang sudah lama tidak berbuah.
"Nomor satu," ujar Pak Oki, guru Biologi kelas XII yang paling tampan meski beranak dua.
"Lha, Pak? Kok tiba-tiba nomor satu aja, sih?" protes Ridwan, si ketua kelas.
"Yang gurunya siapa?" Guru tampan itu malah bertumpu di depan meja guru. Tak ada buku yang dibawa atau peralatan apa pun. Hanya sebuah kaca mata dan sudah bertengger di hidung mancung bak perosotan anak kecil.
"Bapak Oki Suryana yang paling tampan se-SMA Alam Raya," balas Ridwan dengan lesu.
"Bapak kebiasaan deh, ulangan harian dadakan gini," keluh Hani, mencebikkan pipinya yang sudah tembam.
Pak Oki terkekeh tampan, membuat para gadis yang semula sudah mengumpat, malah senyum-senyum.
Dari arah belakang, tangan Andin teracung dengan tinggi.
"Ada apa?"
"Jangan senyum gitu, Pak. Takutnya saya nekat mau jadi istri kedua bapak," selorohnya dan langsung mengundang gelak tawa sekelas.
Pak Oki berjalan ke bangku paling depan yang sejajar dengan papan tulis setelah mengambil spidol di atas meja. Namun, suara Andin terdengar lebih percaya diri lagi.
"Mundur lagi dikit, Pak."
Kening apak Oki yang lebar berkerut. "Kenapa emangnya?"
Andin malah tertawa dulu sebelum menjawab pertanyaan Pak Oki.
"Gantengnya Bapak kelewatan."
Gelak tawa meledak begitu saja, seolah lupa dengan nomor satu yang tadi dikatakan Pak Oki. Kebiasaan Andin memang, suka mengulur waktu.
Memang dasar kulit putih bersih Pak Oki, wajah dan telinganya tampak memerah karena malu setelah gombalan maut itu.
"Kalian ini. Sudahlah." Ia melirik arlojinya sekilas, lalu menghela napas panjang agar tawanya bisa terhenti.
"Pak, imbalan kita udah muji, terus gombal gitu, ulangannya lain kali aja. Terus pemberitahuan dulu, biar kita nggak kaget. Tanggung jawab, lho, kalau nanti salah satu dari kami ada yang serangan jantung karena kaget."
"Iya, Riza bener, Pak. Apalagi, soal dari Bapak bikin serangan jantung dadakan lagi. Di buku materinya apa, soalnya melebar ke mana-mana. Cukup doi aja yang sulit dipahami, pertanyaan Bapak jangan, deh."
Kedua cowok di depan Rihan, Riza dan Ande terus bersahutan. Membuat bibir Pak Oki mengulas senyum tipis sembari menggeleng kepala heran dengan tingkah mereka.
"Pak, orang baik pasti banyak yang cinta. Nah, kalau bapak mau dicintai sama kita-kita nih yang jumlahnya dua lima orang, ulangannya besok-besok aja, deh," seloroh Riza tak pantang menyerah sebelum mendapat jawaban.
"Gini deh, Pak." Andin menengahi setelah tadi jadi penonton lagi. "Kita vote. Banyak mana yang mau ulangan sama nggak mau."
Spontan ada dua puluh tiga tangan yang terangkat, sisanya dua ragu-ragu. Satu Syifa, gasis berwajah datar itu memang termasuk anak buah Pak Oki. Sering ikut olimpiade Biologi sejak kelas satu. Soal sesulit apa pun dilahap. Dan satu lagi, pria di pojok.
Semua orang berdecak melihat Rihan tampak ragu. Tangannya mengambang antara mau disimpan di meja atau ikut mengacungkan tangan.
"Han, lo kok," desis Riza tajam. Ia lalu berdecak seraya mengacak rambutnya frustrasi.
"Tuh, Pak. Banyak yang nggak mau ulangan hari ini," tandas Andin. Bibirnya tertarik lebar, alis yang tebal sengaja dinaik turunkan.
Wajah Pak Oki tampak berpikir. Matanya mengobservasi sekeliling dan melihat wajah murid-murid kelas XII IPA-1 memelas.
Setelah megembuskan napas pelan, Pak Oki mengalah. Ia mengembuskan napas pelan dan membuat seisi kelas bersorak kegirangan. Suasana berubah gaduh seperti pasar senen. Bahkan, Riza dan Ande langsung berdiri dan bertepuk tangan bak orang gila di jalanan.
"Gantinya, kamu Syifa yang presentasi materi hari ini. Terus, kalian buat enam kelompok kecuali Syifa. Satu orang tidak hadir, presentasi batal. Berganti jadi ulangan harian. Paham?"
Suara gaduh langsung redam dalam hitungan detik. Mata mereka mengerjap beberapa kali, mencerna pengumuman Pak Oki.
Setelah guru biologi itu keluar dan memerintah ketua kelas untuk mengambil infokus di TU, mereka langsung lunglai di kursi masing-masing seraya mengusap dada dengan pelan.
"Lolos dari Ulangan, masuk ke presentasi," lirih Asfia. Ia memijit keningnya memutar dan perlahan.
Hani mengangguk pelan dan menyandarkan kepalanya ke tembok. Tak lama, tubuhnya langsung berdiri dan berucap lantan, "Presentasi nanti, awas aja kalian pada nanya yang susah."
Dan untuk Asfia, mood-nya belum membaik. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di pangkuan Hani, membuat gadis itu terhenyak. Bukan hanya masalah dengan Pak Hendra, ada hal lain lagi yang menbuat kepalanya pening bukan main.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top