RA01-MOS
Rihan masih ingat di mana semuanya bermula. Perasaan ini yang semakin berakar jauh di dalam hati. Seorang gadis yang membuat dunianya jungkir balik, selalu senyum dalam diam seperti pengecut, bersembunyi di balik topeng yang ia buat.
Hari itu, hari kedua masa orientasi sekolah atau MOS. Rihan yakin dengan penampilannya pagi ini. Mengenakan pakaian SMP lamanya, tetapi ditambah kacamata tebal batang hitam dan tatanan rambut terkesan cupu. Langkah kaki Rihan terburu-buru dari gerbang sampai lapangan upacara yang sudah penuh dengan segerombolan murid baru SMA Alam Raya.
Bahunya di tepuk dari belakang ketika berjongkok di bawa ring basket demi mengatur napas. "Kamu ke depan!" Cara bicara pemuda itu begitu tegas diiringi wajah yang berkharisma.
Rihan menelan ludahnya kasar saat mengikuti langkah panitia tadi sampai berdiri sejajar dengan tiang berdiri. Ia gugup setengah mati sampai-sampai terus menunduk dan memaikan kedua kakinya.
"Lihat, Guys! Ini bukan contoh yang baik! Disuruh kumpul kapan, datengnya kapan!" teriak pria itu sembari mengedarkan pandangan yang membuat peserta MOS bergidik.
"Kamu!" Ia menoleh ke arah Rihan, masih setia menunduk. "Saya tanya. Disuruh ke sekolah pukul berapa?"
"Tu-tujuh, Kak," cicitnya.
"Oke, dan sekarang mau alesan apa, hah? Jalan macet? Telat bangun tidur? Basi tahu!"
Para peserta ada yang menatap Rihan iba, ada pula yang masa bodoh tak ambil pusing. Mata salah seorang gadis memicing ke arah papan dari kardus yang menggantung di leher Rihan.
"Kelompok ... anggur? Sekelompok sama gue?" Ia menunjuk dirinya sendiri, kemudian menoleh ke belakang. Ada sekitar enam orang berdiri di belakang, tetapi seharusnya ada tujuh, delapan termasuk dirinya. "Eh, iya. Kurang satu."
"Lo keliling lapangan dua puluh lima lapangan!" sentak pria itu tepat di depan wajah Rihan.
Mata gadis tadi langsung membulat. Gila! Dua puluh lima? Kalau dia kenapa-kenapa gimana? Kayak kasus tahun lalu di TV sampai ada yang meninggal. Mana gue ketua kelompok lagi. Lha, kok gue jadi mikir yang aneh, sih?
Ia sudah siap maju ke depan dengan kedua tangan mengepal selaras dengan garis rok. Namun tampak ragu, melihat panitia dari OSIS yang lain hanya diam di depan. Meski beberapa dari mereka menyunggingkan senyum sinis, ada juga yang datar.
"Kenapa lo masih nggak denger, hah?" teriak orang itu lagi, semakin membuat Asfia-gadis itu-muak. Apalagi, saat menoleh ke arah gerbang, tampak beberapa kakak kelasnya baru masuk dengan kaki jinjit seperti maling.
Rihan terhenyak mendengar sentakan dari seniornya. Ia tak bisa bicara apa-apa karena tak ada kuasa. Dengan segala rasa pasrah, ia pun berbalik dan baru dua langkah harus terhenti karena suara nyaring seseorang membelanya.
"Apa ini nggak keterlaluan, Kak?" teriak Asfia, seraya mengepalkan kedua tangan di belakang demi mengumpulkan kekuatan. Ia tidak bisa diam terus menerus.
Pria dengan nama Rangga di dada kirinya, mendekati Asfia. Sudut bibirnya terangkat sinis, nyaris membuat nyali adik kelas yang sok berani itu ciut.
"Lo mau jadi pembela dia, hah?"
"Kalau iya, kenapa?" Asfia menatap Rangga tak kalah berani. Sepintas, ia sempat mendegar suara bisik-bisik dari deretan belakang. Matanya pun memedar, ada yang menatap tak percaya dari kalangan OSIS.
Rangga berdecak seraya berkacak pinggang. "Ya udah. Lo juga ikut lari sama si cupu itu dua puluh lima keliling!"
"Oke, asal mereka juga ikut lari." Asfia menunjuk ke arah beberapa wanita yang berjalan mengendap-endap mendekati lapangan. Lalu terhenti saat menjadi tontonan sekarang.
"Apa hukuman telat berlaku buat kami saja? Sejauh yang aku tahu, mereka adalah panitia dan sepatutnya jadi contoh." Ia lalu menatap Rangga dengan rasa penuh kemenangan. "Dan Kak Rangga, sejauh yang aku tahu nggak ada namanya Rangga di susunan OSIS kemarin. Jadi, apa hak Kakak ini untuk menghukum? Wewenang apa?"
Oh, ayolah. Rangga tak menyukai dirinya menjadi pusat tertawaan orang-orang. Terlebih lagi, di depan adik kelasnya. Ia mendesis, matanya menatap tajam Asfia seakan hendak memangsa gadis itu.
"Kak Andre sebagai ketua OSIS aja, dia duduk di lapangan. Nggak banyak omong. Lagi pula, orang yang Kak Rangga hukum ini baru pertama kali telat, sedangkan yang aku lihat itu dari kemarin banyak banget dan nggak ada hukuman apa pun. Sama-sama siswa di sini, lho. Apa karena kami junior dan kalian semua ini senior?"
Rihan terkagum-kagum melihat pembelaan Asfia padanya. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri sebagai lelaki justru diam. Akan tetapi, kenapa hatinya malah menghangat? Ayolah. Ia bukan tipikal orang jatuh cinta pandangan pertama. Eh, tetapi ini bukan pertemuan pertama, melainkan hari kedua. Kemarin pun, yang Rihan tahu Asfia adalah sosok gadis tak banyak bicara, meski posisinya sebagai ketua grup.
"Lo ...." Mata Rangga memelotot tajam seolah membuat perhitungan. Ia sudah mengumpat dalam hati, meski ingin dikelurkan. Namun sayang, Rangga kehilangan kata-kata.
"Ngga, lo mundur, deh. Malu jadi pusat perhatian," bisik Andre.
Rangga terdiam sesaat menatap Andre, pria yang jauh lebih tinggi dan tampan darinya. Lalu, beralih lagi pada Asfia. "Urusan kita belum selesai. Lo lihat aja nanti seudah MOS," ancam Rangga, sesaat sebelum berbalik dan menjauh dari lapangan.
Semua orang tertegun. Membagi pandangan menjadi dua, pada Rangga juga Asfia yang tampak pias. Andre yang menyadari wajah tengang Asfia, tersenyum penuh arti.
"Kalian berdua bisa kembali ke barisan. Kita lanjutkan apel pagi yang sempat tertunda," ujar Andre.
Dan setelah itu, kalau boleh Asfia ingin terjun ke jurang paling dalam. Atau mungkin tenggelam ke dasar laut. Jujur. Ia takut dengan ancaman Rangga tadi. Ditambah lagi, cowok itu sempat menyeringai.
"Lo ngapain sih, Fi?" desis Hani. Ia meringis saat bayangan beberapa menit lalu terputar lagi.
Asfia menggeleng lemah. Tatapannya tertuju pada cowok di baris paling belakang seraya tersenyum kaku, lalu menghadap depan lagi. Keringat mulai bercucuran di kening. Selain karena cahaya matahari pagi, juga kegugupannya yang tak kunjung sirna.
***
Hal yang paling melegakan adalah berakhirnya penyiksaan siswa baru dan Rihan menikmati kebersamaan antara dirinya dengan Asfia. Meski Adis kerap sekali berkata pedas padanya, karena kelompok mereka selalu menjadi sorotan sejak kejdian dengan Rangga hari itu.
Terdengar suara mikrofon diketuk tiga kali, semua siswa baru bersorak kesenangan karena akhirnya hari-hari yang penuh dengan penyiksaan selesai juga. Papan nama mereka lambungkan ke udara, lalu diinjak-injak. Tetapi, dipungut lagi dan dibuang ke tempat sampah.
Kelompok anggur menepi ke tempat yang teduh, di bawah pohon ketapang depan perpustkaan. Pukul dua siang kali ini, panas matahari begitu menyiksa tenggorokan sampai kering. Angin pun yang berembus terasa panas, bukan sejuk.
"Asfia," panggil Rihan lirih.
Asfia yang tengah mengipas-ngipas lehernya dengan topi bola yang di belah itu menoleh. "Iya, kenapa?"
Rihan menggigit bibir bawahnya ragu. "Rihan? Eh, kita sekelas, kan?" seloroh Hani, gadis berawajah ke arab-araban.
"Masa? Kamu Mia satu juga, Han?" Asfia bertanya balik dan langsung diangguki.
"Jadi, lo mau ngomong apa? Bentar lagi gue mau balik."
Cowok itu menghela napas sejenak, kemudian berkata, "Aku ... aku mau bilang maaf sama makasih." Makasih karena udah bikin gue nyaman deket lo.
Sebelah alis Asfia terangkat. "Buat?"
"Hari itu," balas Rihan singkat.
Asfia mengulum senyum tipis. Wajahnya berubah gugup saat sosok pria tinggi berjalan mendekat dengan kedua tangan dimasukkan ke saku. Ia berdeham beberapa kali, menghindari tatapan Andre yang tertuju padanya.
"Eh, ada Kak Andre. Ada apa, Kak?" Hani yang pertanya bertanya. Ia cengengesan tidak jelas.
"Gue ada urusan sama Fia."
Gerakan tangan Asfia yang tengah mengipas-ngipas di leher, kembali terkulai di sisi badannya. Beberapa helaian rambut sengaja diselipkan ke belakang telinga saat Andre beralih menghadapnya.
"Ada apa, Kak?" tanya Asfia. Tangannya sudah terayun-ayun ke samping, bibir mengulas senyum tipis membuat hati Rihan mencelos.
"Lo mau jadi pacar gue?"
Mulut mereka langsung nganga dengan mata terbelalak. Asfia juga terdiam beberapa detik, jari tangannya menjentrik-jentrik di bawah. Kebiasaan deh, kalau di depannya ada orang ganteng.
"Gimana?"
"Terima aja, Fi."
"Iya, Fi."
Beberapa teman sekelompoknya mulai jadi kompor dengan suara berbisik. Sedangkan Rihan, tangannya mengepal di belakang, tertutupi ransel hitam. Gigisnya sudah menggertak menahan rasa yang tiba-tiba saja membludak. Marah, kesal, semua menumpuk di ubun saat kepala Asfia mengangguk yakin. Bahkan, bibir gadis itu tersenyum lebar.
Tampak cantik sekali di mata Rihan, tetapi sayang bukan untuknya. Cinta bertepuk sebelah tangan, sampai di tahun terakhir mereka sekelas, sekolah di SMA Alam Raya, ia masih memendam tanpa berani mengungkapkan. Meski hubungan Asfia dengan Andre berakhir sejak kelas X pun, gadis itu malah gencar menjadikan dirinya sebagai bahan olokan dengan memanggil calon suami.
***
Rihan terperanjat saat ada yang menepuk bahunya dengan lembut. Wajah cantik itu terlihat di matanya, membuat degup jantung menggila lagi.
"Hei, calon suami. Baca buku terus, mau nambah minus lagi matanya?"
Kursi sebelah yang kebetulan kosong, Asfia tarik ke belakang dan duduk di sana. Tangannya dijadikan penyangga kepala saat mengamati Rihan.
Asfia berdecak saat Rihan tak mengindahkan celotehannya. Malah membulak-balikan buku biologi setebal 400 halaman.
"Ulangan biologinya besok, Rihan. Lo sok rajin gini, sih." Asfia masih berbicara sendiri.
Lima menit berlalu dan hanya duduk menjadi penonton Rihan membaca buku, ia pun menarik objek perhatian pria itu dan menutupnya. "Calon suamiku sayang, jangan lebih pinter dari gue, ya."
Sebelum Asfia bangkit, ia mengedipkan sebelah mata dan mencolek dagu Rihan. Tak lupa, sebuah senyuman yang selalu membuat pria tinggi itu mabuk kepayang.
Sembari meraba-raba dada, matanya mengekori setiap langkah Asfia sampai duduk di bangki paling depan dekat pintu. Tempat di mana gadis itu dan teman-teman sejawatnya biasa berkumpul. Entah bergosip atau membicarakan hal yang tak penting menurutnya.
Rihan berdecak. "Dia aja jadiin gue becandaan, doang," lirihnya.
Tawa Asfia dan teman-temannya menguar, seolah tak ada beban.
"Mau sampai kapan lo baperin anak orang?" tanya Hana, teman satu kelompok MOS-nya dulu yang sekarang sekelas di XII MIA-1. Tempat di mana murid-muridnya memiliki nilai rata-rata tinggi.
Kepala Asfia menoleh ke pojok ruangan. Empat barisan dari pintu dan kursi paling belakang, tempat di mana Rihan duduk sekarang. Ia lalu menggeleng pelan.
"Nggak tahu. Gangguin dia itu udah masuk list hobi gue."
"Awas, nanti lo yang kena permainan sendiri," timpal Hana lagi dan Andin menyetujui.
Rambutnya yang hanya sebahu disibak ke belakang, badannya yang ramping menegak. "Lo pada tahu banget selera gue yang kayak gimana. Modelan Andre gitu."
Kali ini, Hani dan Andin berdecak dengan kompak. "Andre lagi. Nggak inget waktu dulu?"
"Iya, gue inget." Asfia langsung lunglai kala ingat hari itu, satu bulan setelah resmi jadian dengan Andre.
Karena membela Rihan hari itu yang katanya sok di mata kakak kelas, menjadikan dirinya bahan taruhan panitia OSIS. Dan parahnya lagi, biang semua itu adalah Rangga. Dendam banget kakak kelas salah satu most wanted kala itu.
Entah siapa yang mengirimkan foto Andre berduaan dengan gadis lain di depan halte dan Asfia terang-terangan melabrak mereka dan mengatakan semua kebenaran tentang taruhan. Meski kecewa, Andre tetaplah yang terindah.
Waktu kebersamaan memang sebentar, tetapi menciptakan kenangan yang banyak dan tak mungkin bisa dilupakan. Ia terlalu manis memperlakukan Asfia.
"Tapi, dilihat-lihat lagi. Si Rihan juga manis, lho." Ucapan Andin sukses mengundang gelak tawa Asfia. Ia sampai terpingkal-pingkal di kursinya.
"Lo bilang ... haha... dia manis." Mereka bertiga menoleh lagi ke arah Rihan. "Minus mata lo kayak dia," ujar Asfia, menjadi penutup karena Pak Tatang masuk dengan membawa buku bahasa Indonesia diapitan lengannya.
***
Hai, aku datang dengan work baru. Terus yang lama kemanain, zeyeng? Tenang, lagi semedi untuk cari alur yang cetar membahana. Haha
Kali ini, aku ambil genre teenlit. Kenapa? Nggak kenapa-kenapa, sih. Mau aja.
Semua naskah yang aku publish di sini, janji bakal ditulis sampai tamat. Ya, kapan? Nggak tahu. Huhu sering kegoda sama ide baru. Ide lama mandeg bosque 😭
Terakhir, jangan lupa vote sama komen sebagai bentuk penghargaan kalian sama penulis. ❤️
Ketemu lagi di part selanjutnya, 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top