TUJUH
Aku sedang nggak bersemangat banget. Apa kamu mau membagi kalimat positif untukku? Juga, dari skala 1 sd 10, kebahagiaanmu ada di level berapa? Buat menambah kebahagiaan, mungkin kamu bisa ikut giveaway di akun Instagram ikavihara, siapa tahu menang dan dapat buku yang bikin kamu bahagia :-)
Love, Vihara
(IG/Twitter/FB/TikTok ikavihara, Tokopedia/Shopee ikavihara, kumpulan bab esktra ada di karyakarsa.com/ikavihara)
***
Terlalu dini menilai apakah Lamar adalah sosok yang tepat untuk menjadi suaminya dan ayah anak-anaknya. Kertertarikan Malissa —sejak pandangan pertama—pada Lamar tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan calon suami. Mereka baru bertemu dua kali. Selama mereka bercakap-cakap, Malissa belum menyebut keberadaan si kembar. Sebab menurut Malissa, tidak perlu melibatkan si kembar, kalau tidak ada kejelasan masa depan hubungan di antara Malissa dan laki-laki itu.
Suami? Ayah? Malissa mentertawakan kebodohannya. Kemungkinan Lamar tertarik pada Malissa hanyalah 0,000001%. Bagaimana bisa Malissa berpikir sejauh itu.
Segala keperluan bayi diterima. Kecuali baju.
Malissa mengetik balasan. Selama ini Malissa tidak pernah menerima donasi baju. Karena menurut Malissa, itu hanya akan mendorong orang semakin konsumtif. Berpikir bisa beli baju sering-sering, tidak usah khawatir lemari penuh. Baju yang lama tinggal dikirim ke Toko Kita Bersaudara. Nope, Malissa tidak mau itu terjadi.
Jemari Malissa bergerak untuk memperbesar display foto Lamar. Professional portrait. Rambut Lamar pendek dan tertata rapi. Lamar mengenakan setelan berwarna hitam dan kemeja putih. Dua kancing teratas kemejanya terbuka. Kedua sikunya menumpu pada paha yang terbuka. Jemari tangan kanan dan kiri saling mengait di bawah dagu. Sepasang mata birunya menatap lurus ke depan. Ekspresi wajahnya gabungan antara ramah dan serius. Tampan. Tuhan benar-benar sedang dalam suasana hati baik saat sedang menciptakan Lamar.
Malissa mensyukuri pembicaraannya dengan Lamar selama makan malam. Yang memperkaya wawasan. Latar belakang Lamar berbeda dengan Malissa dan semua teman Malissa. Dari segi budaya—ayah Lamar berasal dari Swedia, latar belakang pendidikan dan pekerjaan—he is an engineer, dan sebagainya. Bicara dengan Lamar, walau hanya sesekali, sudah menjadi suatu anugerah yang tak ternilai.
Malissa menjatuhkan ponselnya karena kaget, saat benda itu bergetar. Beruntung ada karpet di bawah kakinya. Nama Lamar muncul di layar. Sebelum menerima panggilan itu, Malissa menarik napas berkali-kali dan menenangkan debar jantungnya.
"Halo...?" Sapa Malissa ragu-ragu. Bisa saja ini hanya butt call. Lamar tidak sengaja menduduki ponselnya dan tanpa disadari, nomor Malissa terpanggil.
"Hei." Suara Lamar terdengar jelas. "Apa aku mengganggu?"
Tengah malam pun, saat Malissa tidur nyenyak dan bermimpi indah, kalau Lamar mau mengganggunya, Malissa tidak akan keberatan. "Nggak ... aku lagi ... santai ... membaca."
Kalau laki-laki lain yang bertanya—seperti saat Malissa dua atau tiga kali dikenalkan kepada seseorang oleh kerabat atau teman—Malissa tidak akan menjawab membaca. Punya gelar doktor saja sudah dianggap mengintimidasi, apalagi lebih banyak menghabiskan waktu luangnya bersama buku. Tetapi Lamar berbeda. Dari percakapan saat makan malam itu, Lamar bilang juga suka membaca.
"Buku apa?"
"Romance." Here we go. Malissa akan menilai layak atau tidaknya seseorang menjadi temannya dari pandangan mereka mengenai genre romance.
Tetapi Lamar tidak mengatakan apa-apa.
"Romance itu genre yang bagus." Malissa memulai pembelaan, mewakili dirinya dan semua orang yang menyukai genre romance.
"I know. Apa ada yang pernah bilang nggak bagus?"
"Biasanya orang yang membaca romance dianggap nggak punya selera tinggi."
"Novel romance yang ditulis dengan baik, biasanya menitik-beratkan pada keberanian dan kemampuan seorang wanita dalam mengambil keputusan, terkait hidup dan cintanya. Kurang tinggi seberapa lagi?"
"Bagaimana kalau mereka menyebut novel romance ... menyebabkan wanita menjadi idealis, atau punya ekspektasi terlalu tinggi saat mencari pasangan? Karena tokoh-tokoh dalam novel romance dianggap terlalu sempurna?"
"Mungkin mereka membaca buku yang salah. Novel-novel yang pernah kubaca dan menurutku bagus, sering menceritakan tokoh utama yang pernah gagal, atau gagal berkali-kali bahkan, dalam hidupnya. Mereka memiliki trust issue, PTSD, dan lain-lain ... itu adalah bentuk ketidaksempurnaan. Apa kamu tahu bagian terbaik dari novel romance?"
"No?"
"Falling in love with the idea of love. Dunia ini membutuhkan banyak cinta. Salah satu cara untuk memahami cinta adalah dengan membaca buku-buku tentang cinta."
Wow. Malissa tidak akan bisa menyimpulkan sebaik itu. "Kamu pernah baca romance?"
"Tentu saja. Di rumah orangtuaku banyak buku, berbagai macam genre. Termasuk romance. Ini yang mau kutanyakan. Apa kamu juga menerima donasi buku?"
"Tentu saja. Itu yang paling penting. Terutama buku untuk anak-anak."
"Aku akan bawa sekalian nanti waktu giveaway."
***
Lamar datang bukan karena ingin bertemu Malissa. Bukan karena merindukannya. Tetapi penasaran ingin tahu seperti apa toko istimewa yang didirikan dan dikelola Malissa. Juga menyampaikan donasi dari beberapa anggota keluarganya. Sepanjang perjalanan Lamar terus mengulang-ulang alasan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri. Percakapan dengan Malissa melalui telepon waktu itu berlangsung selama dua jam. Ada banyak yang mereka bicarakan. Saat Malissa mengatakan sudah waktunya mereka istirahat, Lamar mendapati dirinya tidak rela mengakhiri sambungan. Mungkin karena faktor Lamar tidak punya teman akrab di Indonesia—sejak usia delapan belas tahun Lamar tinggal di Amerika—jadi kehadiran Malissa seperti oase di tengah gurun yang tandus dan gersang.
Pulang ke Indonesia adalah pilihan yang tepat. Seandainya sekarang Lamar di Amerika, berkenalan dengan wanita luar biasa seperti Malissa di sana, dan semua orang tahu, pasti Lamar akan dianggap tidak menghargai Thalia. Terutama dari teman-teman dan keluarga Thalia. Baru dua bulan Thalia meninggal, Lamar sudah makan malam dengan wanita lain.
"Kamu tahu, Lamar?" Kata Alesha seminggu setelah Lamar tiba di Indonesia. "Rasa sakit yang kamu rasakan berbanding lurus dengan besarnya cintamu untuknya. Kamu bisa sangat menderita karena kamu sangat mencintainya. Tetapi apakah untuk membuktikan cintamu kepadanya, kamu harus bertahan dalam sakit dan tidak mau mencari jalan untuk berhenti berduka?"
"It's too soon to date again."
"I won't ask you to date. I want you to relax. Karena saat kamu tenang, rileks, semuanya akan berjalan dengan mulus. Hidupmu akan mengalir. Fokuslah mengingat bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Bagaimana rasanya memiliki seseorang yang mendukungmu dan memerlukan dukunganmu. Bagaimana rasanya memberi perhatian kepada seseorang yang berarti bagimu dan dia membalasnya. Fokus pada rasanya, bukan fokus pada objeknya."
"Apa gunanya mengingat itu semua?" Kalau Thalia, pasangan Lamar dalam melakukan itu semua, sudah tidak ada lagi di sini. Tidak lagi bersamanya.
"Kamu akan menginginkannya lagi. Memiliki seseorang yang berarti bagimu."
Lamar tertawa kering. Mungkin karena mendengarkan saran Alesha, Lamar jadi menginginkan itu semua. Saat ini juga. Bersama Malissa. Tetapi Lamar tidak bisa menuruti kemauan hatinya. Kuburan Thalia belum kering. So, nope, no date. Malissa adalah temannya dan Lamar akan menjaga hubungan ini tetap berada di sana. Tidak bergerak ke mana-mana.
Saat GPS memberi tahu Lamar akan tiba di tujuan seratus meter lagi, Lamar memelankan mobilnya. Toko Kita Bersaudara berada di dekat kawasan padat penduduk. Ekonomi menengah ke bawah. Bangunan toko terdiri dari dua lantai dengan halaman—berpaving—yang luas. Lamar memarkirkan mobilnya dan turun sambil membawa kardus berisi susu dan perlengkapan lain dari kakak iparnya.
Malissa bergegas menyambut. "Hei. Makasih sudah datang. Masih ada lagi kardusnya?"
"Masih. Biar aku angkat sendiri nanti. Berat."
Malissa tertawa. "Menurutmu aku nggak kuat mengangkatnya?"
"Kamu kuat. Tapi aku nggak ingin kamu capek. Di mana aku harus taruh ini?"
"Di dalam."
Lamar mengikuti Malissa masuk ke toko. Dua tenda besar sudah terpasang di depan toko. Sepeda-sepeda berwarna cerah dengan berbagai ukuran terparkir rapi. Meja dengan cermin dan kursi-kursi—seperti yang terdapat di salon—mulai diatur. Sebuah meja panjang penuh dengan berbagai kebutuhan anak-anak. Tas sekolah, buku, sepatu, mainan, dan kudapan. Area dalam toko tidak kalah mengagumkan. Rak-rak tinggi dan beberapa lemari tertata rapi. Menyerupai toko serba ada.
"Ini apa?" tanya Malissa saat Lamar meletakkan kardus yang dibawanya. "Wow. Popok, susu bayi, bubur bayi, ah, semua saudara kita pasti akan senang menerima ini. Terima kasih banyak. Kamu bilang ini dari kakak iparmu? Nanti aku titip sesuatu ya. Setiap ada yang memberi donasi, kami juga menyerahkan kenang-kenangan. Oh, ini untukmu."
Lamar menerima kaus berwarna merah, khusus untuk relawan. Sama seperti yang dikenakan Malissa. Tanpa berpikir panjang, Lamar melepas kausnya dan menggantinya dengan kaus baru. "Kenapa?"
Malissa menatap dada Lamar dengan wajah memerah.
"No ... nothing ... kamu bisa membantu mengelap sepeda di sana?" Tanpa menunggu jawaban Lamar, Malissa berjalan cepat meninggalkannya.
What did I do wrong? Lamar mengerutkan kening tidak mengerti. Kenapa Malissa tiba-tiba menjauhi Lamar, seperti Lamar baru saja menyampaikan dirinya terinfeksi virus berbahaya yang mudah menular?
####
Hahaha Malissa T__T Apa yang kamu rasakan dapat rezeki nomplok seperti itu pagi-pagi? Ini nggak sepanjang biasanya, karena di naskah ini pas bagian *** segini panjangnya. Nanti aku make up minggu depan ya. Thank you.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top