SEBELAS

Kabar gembira nih. Cerita kakak pertama Lamar, Elmar Karlsson, dalam A Wedding Come True sudah bisa dipinjam dan dibaca gratis di apliksi IPusnas dari perpustakaan nasional. Dukung karyaku di sana ya. Kalau kamu sudah membaca dan mendapat manfaat, tolong rekomendasikan kepada temanmu yang lain. Atau, aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau membuatkan review-nya di media sosial. Dengan membaca di sana, aku tetap mendapatkan royalti dan kamu pun hanya perlu wifi untuk membacanya. Dan kesabaran. Karena perpustakaan, pasti ada antrean.

Oh ya, cerita Lamar ini yang kuunggah adalah naskah awal. Seperti yang kubilang di bab perkenalan. Jadi aku belum melakukan self-edit. Akan selalu ada kesalahan kecil. Biasanya aku nggak koreksi di Wattpad. Aku tahu kalian paham itu salah dan yang benar bagaimana.

Love, Vihara (IG/Twitter/FB/TikTok ikavihara, Tokopedia/Shopee ikavihara, WhatsApp 0831 5586 1228 kumpulan bab esktra ada di karyakarsa.com/ikavihara) 

***

"Oh, kakak iparku mau melahirkan. Suaminya sedang di luar negeri, berusaha kembali ke sini."

"Apa dia akan menjadi bayi pertama di keluargamu? Jadi kamu belum tahu prosesnya dan itu bikin kamu ... khawatir?"

"No. Ini bukan bayi pertama. Aku sudah punya empat keponakan. Tapi ... keponakanku yang akan lahir ini istimewa. Kakak iparku berjuang sangat lama untuk bisa punya anak." Bukan Lamar sedang membocorkan kehidupan pribadi seseorang. Tetapi cerita Renae sudah menjadi rahasia umum. Karena Renae menggunakan pengalamannya untuk membantu banyak wanita lain yang berada di posisi yang sama dengannya.

"Semua akan baik-baik saja." Malissa meyakinkan.

"Ya, aku tahu semua akan baik-baik saja. Renae ... kakak iparku ... terus dipantau dokter sejak awal kehamilan."

"Lalu kenapa kamu menarik napas berat sejak tadi?"

Kesedihan Lamar tidak ada hubungannya dengan kelahiran calon keponakan barunya. Tetapi memikirkan dirinya tidak akan pernah punya anak dengan Thalia, wanita yang dia pikir akan menjadi ibu bagi semua anak-anaknya. Selama tiga tahun bersama Thalia, Lamar selalu menjadikan Thalia—dan calon anak-anak mereka—sebagai faktor terbesar pengambilan keputusan dan pembuatan rencana masa depan. Sekarang setelah Thalia tiada, Lamar kehilangan arah. Hanyut. Tersesat. Hidupnya laksana kapal tanpa kemudi. Seperti kompas yang tidak bisa lagi membedakan selatan dan utara.

Bekerja dan tinggal di Amerika tidak lagi menarik bagi Lamar. Hell, Lamar kehilangan keinginan bekerja. Setelah menangis di tengah kantor yang sedang sibuk, karena menerima kabar buruk yang tidak pernah dia bayangkan ... Lamar tidak ingin kembali bertemu dengan orang-orang yang menyaksikannya pada kondisi terburuk dalam hidupnya. Sepanjang dia bekerja, tidak pernah sekalipun ada laki-laki yang ambruk dan menangis dalam perjalanan menuju ruang rapat. Oleh karena itu, pada saat cuti memakamkan tunangannya, Lamar mengirimkan surat pengunduran diri dengan alasan ingin fokus menata mental. Dua minggu kemudian, Lamar resmi menjadi pengangguran.

"Nanti malam ... apa kamu mau makan malam denganku?" Lamar tidak ingin sendirian pada tanggal kematian Thalia. Tidak ingin menangis lagi atau Thalia akan kecewa padanya.

"Aku ingin. Tapi ... aku nggak bisa pergi mendadak. Kalau kamu mau menunda besok malam atau lusa, mungkin aku bisa."

Masalahnya Lamar ingin pergi hari ini. Ingin memiliki teman untuk merayakan hidup Thalia. Tetapi penolakan Malissa ... hell, tidak seharusnya membuat Lamar kecewa. Sebaliknya, Lamar herus berterima kasih kepada Malissa. Karena dengan begini Lamar tidak perlu melibatkan Malissa dalam hidupnya yang carut-marut. Laki-laki yang tidak punya visi ke depan yang jelas seperti dirinya, tidak berhak mendapatkan wanita luar biasa seperti Malissa.

"Besok ... aku belum tahu ... keluargaku akan sibuk dengan anggota baru." Untuk kali ini, Lamar bersyukur, karena berhasil menahan diri untuk tidak menciptakan kesempatan berduaan dengan Malissa dan semakin mengenalnya. Semakin menyukainya.

Ponsel Lamar berbunyi dan Lamar menjawab pesan masuk dari Halmar, kakaknya. Lamar meminta Halmar untuk tenang, karena Renae baik-baik saja. Sedang bersiap melahirkan anaknya. Bahkan tadi Renae mengusir Lamar pergi, sambil bercanda bahwa Renae tidak ingin Lamar melihatnya dalam keadaan berantakan.

"Mungkin lain kali." Malissa tersenyum padanya.

Lamar menarik napas panjang sebelum bicara. "Lissa, aku sedang nggak siap untuk ... dekat dengan seseorang. Aku sudah bilang padamu aku pengangguran dan aku nggak bisa menawarkan apa-apa padamu...."

"Apa kamu baru saja bilang aku ... kegatelan?!" Malissa meloncat bangkit dari duduknya dan kini berdiri di hadapan Lamar, yang tidak berani menatap ke atas, tepat ke kedua bola mata Malissa. "Yang berusaha menarik perhatian setiap laki-laki yang lewat di depannya?! Apa aku terkesan sebegitu putus asanya, di umurku yang sudah lewat tiga puluh tahun ini aku masih sendiri?! Sampai kamu seenaknya menyimpulkan bahwa kenal denganmu adalah satu-satunya kesempatanku untuk mendapatkan suami?!"

"No, I...."

"Yes, you listen to me! Aku nggak pernah mendekatimu! Aku mengembalikan dompet ke rumahmu karena waktu itu aku nggak sempat menitipkan ke satpam atau siapa pun. Waktu ke rumahmu, aku berniat menitipkan dompet itu pada ayahmu. Setelah selesai urusan dompet itu, seharusnya kita bisa segera saling melupakan. Tapi kamu mengajakku makan. Apa saat itu ... kamu cuma basa-basi dan berharap aku menolak? Wow, betapa bodohnya aku ... hanya gara-gara sepiring makanan kamu menganggap aku tergila-gila padamu.

"Aku nggak mencari-cari kesempatan untuk ketemu kamu. Waktu aku menawari kamu datang ke acara giveaway, aku memang perlu relawan. Kalau menurutmu aku memanfaatkan itu untuk mendekatimu, seharusnya kamu nggak datang. Hari ini, kebetulan aku melihatmu di sini dan menyapamu. Tiba-tiba kamu mengajakku makan malam!

"Kalau kamu ingin tahu apa yang kupikirkan saat menerima ajakanmu untuk makan bersama, itu hanya karena aku senang punya teman baru. Kamu lihat sendiri, selama giveaway aku nggak pilih-pilih teman. Aku nggak pernah mengharapkan apa-apa dari temanku. Jadi kamu nggak perlu memikirkan penawaran ... apa pun itu maksudnya.

"Kamu nggak perlu repot-repot menolakku, karena aku nggak pernah ... nggak akan pernah menawarkan apa-apa padamu, selain pertemanan. Kukira kamu orang baik, Lamar. Tapi aku salah. Ternyata kamu nggak sebaik yang aku kira."

Nada terluka terdengar jelas pada dua kalimat terakhir Malissa. Betapa ironis. Niat Lamar adalah mengingatkan Malissa agar tidak menaruh harapan lebih pada pertemanan mereka, sebab Lamar tidak ingin menyakiti Malissa nanti. Tetapi Lamar justru melukai perasaan Malissa sekarang. Dengan kalimat yang tidak disusun dengan baik. Tidak dipikir dulu sebelum dikeluarkan. Saat Lamar mengerjapkan mata, hendak memperbaiki kesalahannya, Malissa sudah tidak ada di depannya. Pintu lift bergerak menutup, menelan Malissa di dalamnya.

***

Damned to hell! Tidak pernah dalam hidupnya—selama tiga tahun ini lebih-lebih—Malissa mengumpat dengan keras. Untuk menyamarkan suaranya agar tidak terdengar anak-anak, Malissa sengaja menjatuhkan wajan bekas menumis sayur ke bak cuci piring. Tujuh jam sudah berlalu sejak Malissa meninggalkan Lamar di ruang tunggu rumah sakit. Tetapi amarah di dalam hati Malissa tidak juga memudar. Seandainya kemarahan bisa dijadikan sumber energi, saat ini Malissa yakin dirinya sanggup berjalan keliling Indonesia sebanyak lima kali dan mengalahkan segerombolan harimau yang ingin memakan si kembar.

Tidak bisa dipercaya laki-laki yang cerdas dan logis seperti Lamar sembarangan berasumsi, dan menyuarakan asumsi itu, langsung di muka Malissa. Apa Lamar pikir dirinya adalah laki-laki paling sempurna di dunia? Laki-laki idaman semua wanita? Sehingga dia mencurigai motif setiap wanita yang berteman dengannya?

Hampir-hampir Malissa jatuh ke lubang yang sama. Menyukai laki-laki yang tidak jauh berbeda untuk kedua kali. Laki-laki yang menganggap setiap wanita yang menganggukkan kepala, atau tersenyum ramah, tertarik kepada mereka.

"Mama...!" Anna meraung, memutus rangkaian pikiran Malissa. Kalau tidak ada anak-anak yang selalu meneladaninya, Malissa mungkin akan memilih menghancurkan rumah untuk melampiaskan amarah. "Mama ... Andwe...!"

Dari aplikasi baby monitor yang berjalan di iPad di meja dapur, Malissa bisa mengetahui apa saja yang terjadi di ruang bermain. Anna menolak menyerahkan mobil pemadam kebakaran yang diinginkan Andre, tidak peduli ratusan kali Malissa mengingatkan agar mereka gantian. Karena kesal tidak juga mendapat giliran, Andre memukul Anna.

"Mama .... akit .... Mama...."

Malissa menghitung sampai sepuluh di dalam hati. Kalau Anna sampai ke sini, menemui Malissa yang sedang menyiapkan makan sore untuk mereka, Malissa akan bicara dengan mereka berdua. Tetapi biasanya, kedua anak itu tahu bagaimana menyelesaikan masalah.

Tidak lama kemudian, tangisan Andre terdengar. Setiap kali Anna bilang sakit, Andre bersimpati. Setelah menangis bersama, mereka akan kembali bermain seperti sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Nanti sebelum tidur, Malissa akan me-review apa saja yang terjadi hari ini. Siapa pun yang bersalah, harus meminta maaf. Setelah itu Malissa akan meyakinkan kedua anaknya bahwa Malissa tetap mencintai mereka walaupun Malissa sedang marah, bahwa mereka tetaplah sempurna walaupun berbuat salah.

"Anna, Andre, makan dulu!" Malissa meletakkan dua mangkuk berisi nasi, ayam kukus, dan sayur warna-warni—buncis, wortel dan jagung pipil—di atas kursi khusus milik si kembar.

Anak-anak berlari masuk dapur. Sudah tidak ada bekas tangisan di wajah Anna.

"Cuci tangan dulu, Sayang." Malissa mengingatkan.

Keduanya kembali berlari menuju wastafel dan naik ke bangku yang sudah siap di sana.

"Mama, nyanyi!" Pinta Anna saat menekan botol sabun.

"Wash, wash, wash your hands ... Let the bubbles do their dance ... Scrub, scrub, scrub a dub ... Now you're in the clean hands club...." Malissa menuruti sambil membantu mereka mencuci tangan.

Setelah anak-anak selesai mengeringkan tangan, Malissa menaikkan Anna dan Andre bergantian ke kursi. Malissa memberi kesempatan si kembar untuk makan sendiri terlebih dahulu. Kalau lebih banyak makanan yang berhamburan di lantai daripada yang masuk ke dalam mulut, Malissa baru menyuapi mereka.

"Makan wortelnya, Anna."

"Nggak suka!"

"Coba dulu satu. Andre juga."

Malissa duduk di seberang mereka, menikmati secangkir teh hangat. Berharap lavender kering yang diseduhnya bisa menenangkan hati yang yang tidak berhenti menggelegak. Kalau sebelumnya Malissa pernah menyukai Lamar, maka hari ini, Malissa berani bersumpah, rasa itu sepenuhnya sudah menghilang. Tidak akan pernah lagi Malissa mau berurusan dengan laki-laki seperti Lamar. Seperti mantan suaminya. Yang ke-GR-an hanya karena seorang wanita mau mengobrol dengannya. Pertemuan tadi, yang tidak disengaja itu, Malissa memastikan, akan menjadi yang terakhir. Kalau melihat Lamar di suatu tempat, Malissa akan berbalik dan berlari menjauh.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top