SATU
Deg-degan bab pertama. Sumpah hahaha. Tinggalkan komentar yang banyak buatku dong, supaya aku nggak cemas dan yakin melanjutkan XD Please, please, please buat menghibur hatiku. Jangan malu-malu, nanti aku balas.
Oh ya, teman-teman, hari Sabtu nanti, tanggal 12 Februari 2022, kalau kamu ada waktu kamu bisa bergabung bucinin dan ghibahin Elmar, Halmar, dan Lamar Karlsson--beserta pasangan dan dunia mereka--di zoom meeting. Pukul 19.30 WIB. Satu jam aja. Ghibahin tokoh fiksi supaya gak dosa hahaha. Kamu bisa isi formulir RSVP di linktr.ee/ikavihara atau klik link-nya lewat profil Wattpad/IG/Twitter-ku. Aku ingin kenalan sama kamu nih. Acaranya santai aja, nggak direkam dan nggak di-unggah, jadi private. Pengalaman yang dulu, banyak yg sambil tidur-tiduran hihihihi.
***
Seseorang tidak pernah tahu seberapa kuatnya mereka, hingga keadaan tidak memberi mereka pilihan, selain harus menjadi kuat. Hari di mana Malissa melahirkan anak kembarnya dan pada saat bersamaan menerima berita buruk sekaligus memalukan, hidup Malissa berubah. Detik itu juga Malissa tahu dirinya harus menjadi seorang orangtua yang tangguh, menjadi ibu sekaligus ayah, dan harus bisa membesarkan anak-anaknya sendirian. Hamil dan melahirkan saja sudah sangat melelahkan. Bagaimana saat kedua anaknya sudah bisa menangis minta makan dan ganti popok. Atau saat mereka remaja dan Malissa harus memastikan mereka bergaul dengan teman-teman yang tepat serta tidak mengakses konten-konten tidak baik di ponsel mereka? Pada saat itu, memikirkan itu semua, di ranjang rumah sakit, Malissa menangis ketakutan. Sendirian.
Malissa memijit pelipisnya. Lalu memejamkan mata, berusaha mengingat betapa kuat dirinya tiga tahun lalu saat melahirkan kedua anaknya, sampai denyutan di kepalanya hilang. Kalau saat itu Malissa bisa, sekarang pun juga sama. Suara si kembar, yang sedang menangis bersama-sama, membuat Malissa ingin berlari sejauh-jauhnya, seorang diri, meninggalkan anak-anak tak berdaya itu di sini. Di lokasi parkir supermarket. Tidak bisakah Malissa menikmati satu hari saja tanpa tantangan?
Semua orang tentu ingin hidup mereka berjalan sesuai rencana. Atau kalau tidak punya rencana, paling tidak sesuai dengan angan-angan. Dulu, tidak pernah sekalipun terlintas di benak Malissa bahwa di masa depan—sekarang—Malissa akan menjadi orangtua tunggal untuk anak kembar laki-laki dan perempuan. Bukan Malissa menyesali kehadiran anak-anaknya, satu-satunya—atau dua—hadiah terindah di antara pernikahannya yang berakhir dengan bencana. Tetapi ada masa di mana Malissa ingin mengibarkan bendera putih dan mengizinkan siapa saja untuk membawa pergi anak-anaknya. Dengan catatan harus dikembalikan saat mereka sudah berusia delapan belas tahun.
"Deanna, Deandre...." Malissa menatap anaknya putus asa. "Kalian berdua sudah besar. Mama ... Mama nggak kuat lagi menggendong kalian bersama-sama."
Setelah kepergian suaminya, Malissa selalu meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa melakukan apa saja. Sendirian membesarkan anak kembar? Menghadapi dua bayi yang rewel karena tumbuh gigi bersama-sama? Semua orang bisa melihat buktinya. Namun sekarang, saat salah satu anaknya agak demam dan yang lain menangis bersimpati pada kembarannya, Malissa baru tahu ternyata ada yang tidak bisa dia kerjakan sendiri. Mulai tidak bisa dia kerjakan sendiri. Mengangkat dua tubuh kecil, yang kian hari kian berat, dengan lengan kanan dan kirinya.
"Dengarkan Mama, Sayang." Malissa mencoba bicara pelan-pelan kepada si kembar yang masih duduk dan menangis di atas kereta belanja.
Beberapa orang terang-terangan memandang mereka. Mungkin berpikir Malissa adalah seorang ibu yang jahat, yang sengaja mencubit anak-anaknya.
"Ini mobil kita. Dekat kan? Mama cuma akan mengangkat kalian gantian masuk ke sana. Anna dulu, karena Anna sedang sakit. Lalu Andre, karena Andre kakak. Andre mau mengalah sama Anna kan? Sekarang Mama bawa Anna dulu ke mobil."
"Mamaaaaaaaaaaaa!!!" Anna dan Andre meraung bersamaan. Tidak mau dipisahkan.
Malissa menulikan telinganya.
Masalah tidak selesai ketika Malissa berhasil mentransfer si kembar ke kursi belakang. Mereka berdua tidak mau ditinggal. Walaupun hanya dua meter saja. Mengabaikan si kembar yang memanggil-manggil ibunya, Malissa memasukkan belanjaan ke dalam bagasi. Setelah menutup pintu bagasi, Malissa kembali memejamkan mata. Bisakah hari ini berjalan lebih buruk lagi? Tadi malam Malissa tidak bisa tidur, setelah telanjur terbangun karena Anna menangis tengah malam. Setiap kali merasa akan sakit, atau saat sakit, Anna tidak mau turun dari gendongan ibunya. Jadilah semalaman Malissa duduk memangku Anna di kursi goyang.
Pengasuh si kembar sedang pulang kampung—tampaknya akan mengundurkan diri—setelah mendapat kabar ayahnya terkena serangan jantung. Kedua orangtua Malissa sedang berada di tanah suci dan baru akan kembali sepuluh hari lagi. Ibu mertua Malissa sedang terkena flu berat dan tidak mungkin Malissa menitipkan Anna dan Andre di sana. Hari ini mereka perlu belanja kebutuhan sehari-hari dan Malissa sedang tidak bisa berpikir jernih, sehingga memutuskan membawa anak-anak pergi bersamanya.
"Okay, Little bunnies, let's go home and take a nap. Kita semua capek hari ini. Mama juga." Malissa menutup bagasi. Nanti saat anak-anak sedang tidur, Malissa juga akan tidur. Dan akan terus tidur walaupun anak-anaknya bangun. Terserah dunia mau berputar ke arah mana. "Ups." Kaki Malissa menginjak sesuatu saat hendak membuka pintu mobil.
Sebuah dompet hitam.
"Mamaaaaaa ... Mamaaaa!"
"Mama's coming, My Lil Bunnies." Malissa menyimpang dompet tersebut di tas dan cepat-cepat masuk mobil.
Pasti ada alamat di KTP dan Malissa bisa mengirimkan dompet nanti kepada pemiliknya nanti. Atau bagaimana cara mengembalikan dompet itu, Malissa akan memikirkan saat sudah di rumah. Saat si kembar sudah berhenti terisak dan tertidur pulas.
Biasanya, setiap kali tidak tahu lagi harus bagaimana untuk menenangkan anak-anaknya yang sedang menangis—dengan alasan apa pun; kecewa, marah, sedih, atau sekadar sedang menarik perhatian ibunya—Malissa memutar musik. Ada beberapa lagu yang terbukti—dari hasil uji coba yang dilakukan Malissa selama ini—bisa membuat anak-anaknya menjadi tenang kembali dan, kalau Malissa sedang beruntung, tertidur.
Lagu Babies Little Self mengalun pelan di dalam mobil, ditingkahi sisa-sisa tangis Andre dan Anna. Yang kian lama kian melemah.
"Andre dan Anna sudah bisa nyanyi ini belum? Nyanyi sama Mama ya." Malissa mulai bersenandung pelan. Tidak ada tanggapan apa-apa dari si kembar.
Lima menit kemudian, tidak terdengar lagi suara dar kursi belakang. Malissa mengembuskan napas lega. Sebentar lagi mereka berdua akan tertidur lelap.
Beberapa orang pernah bertanya kepada Malissa seperti apa rasanya menjadi orangtua tunggal. Lebih-lebih untuk dua anak di bawah lima tahun. Jawaban Malissa adalah, menjadi orangtua tunggal—ibu muda, dalam kasus Malissa—untuk anak yang dilahirkan bersamaan layaknya berjalan di atas seutas tali yang terbentang menyeberangi jurang. Jurang yang tidak terlihat sedalam apa dasarnya. Tidak hanya berjalan berjalan, seseorang juga harus menendang banyak bola di ujung kaki. Hati-hati dalam melangkah dan menjaga supaya tidak tergelincir dan masuk ke jurang saja tidak cukup. Mereka juga harus bisa mempertahankan agar semua bola tidak jatuh. Ada label pada bola-bola tersebut; pekerjaan, pengasuhan anak, kesehatan, kebersihan rumah, dan banyak lagi. Semua harus sampai dengan selamat di ujung sana.
Seolah melakukan itu semua belum cukup menantang, dari samping sisi dan kanan muncul berbagai macam gangguan. Yang membuat langkah goyah. Berupa orang-orang yang menyuruh Malissa segera menikah kembali—mumpung masih muda dan cantik, orang-orang yang mengkritik cara Malissa membesarkan anak, dan banyak lagi. Tetapi orangtua tunggal harus mengabaikan semua pengganggu, menatap lurus ke depan dan terus melangkah. Karena para orangtua tunggal tahu, jika mereka meleng sedikit saja, mereka akan kebilangan keseimbangan, tak lagi memijak tali, dan berakhir mati di dasar jurang.
"Aku nggak tahu harus gimana kalau aku nggak punya suami dan punya anak kembar." Sekali waktu salah satu rekan kerja Malissa pernah berkata.
Malissa hanya menjawab dengan senyuman saat itu. Tetapi di dalam hati, Malissa menyahut dengan kesal. Aku juga nggak tahu harus bagaimana, tapi inilah situasi yang kuhadapi sekarang dan aku nggak punya pilihan selain harus menjalaninya.
One foot in front of the other. Satu langkah di depan langkah sebelumnya. Hanya itu yang bisa dilakukan Malissa untuk melewati satu hari. Yang kadang terasa seperti selamanya. Setiap menit adalah keberhasilan. Malissa tidak punya bekal. Tidak ada yang mengingatkan agar Malissa mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu suaminya meninggal saat anak-anak masih bayi dan Malissa harus merangkap tugas ayah dan ibu.
Oleh karena itu Malissa menciptakan sebuah prinsip yang dia pegang teguh, terutama saat dia tidak tahu harus berbuat apa. Masa depan tidak harus ditentukan sekarang. Fokus saja pada hari ini. Jika hari ini berhasil dijalani, tidak menutup kemungkinan besok juga sama. Demikian juga dengan lusa. Dan hari selanjutnya.
Saat mobilnya sudah berhenti di depan rumah, Malissa tidak langsung mematikan mesin. Tetapi memilih memeriksa dompet hitam yang tadi dia temukan. Anak-anak sudah pulas di kursi belakang. Dari logo kecil di bagian depan bawah, Malissa bisa menebak merek dompet tersebut. Dan harganya. Montblanc. Lebih kurang lima juta rupiah. Tidak sembarang orang memiliki dompet seperti ini.
Sesuai dugaan Malissa, isi dompetnya juga menunjukkan tingkat kemampuan finansial sang pemilik. Ada banyak lembar uang di sana. Rupiah dan dolar Amerika. Juga tiga kartu kredit—satu berlogo American Express dan dua bank di Indonesia—semuanya dengan limit paling tinggi. Selain itu terdapat tiga kartu debit, SIM A, SIM C, dan KTP.
Lamar Roffe Karlsson. Malissa membaca nama yang tertera pada SIM. Kedengarannya seperti bukan nama orang Indonesia. Tetapi dia lahir di Indonesia. Usianya sama dengan Malissa, tiga puluh satu tahun. Tinggi badannya 190 centimeter. Wow raksasa. Pekerjaan hanya tertulis swasta. Foto di SIM-nya bagus. Tampan. Baru kali ini Malissa menemukan orang fotogenik di foto SIM. Biasanya, orang-orang yang foto di SIM atau KTP-nya tidak terlalu jelek, di dunia nyata mereka ganteng atau cantik. Kalau fotonya ganteng atau cantik, di dunia nyata sangat ganteng dan cantik.
Yeah, well, kenapa kalau memang dia sangat ganteng? Bisa jadi dia sudah menikah, bahagia bersama istri dan dua anaknya. Ah, ada satu cara untuk mengetahui itu. Malissa menarik KTP dari dalam dompet dan memeriksa status perkawinan.
***
Cerita Elmar: A Wedding Come True
Cerita Halmar: The Promise of Forever
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top