LIMA BELAS

Aku terlambat update karena mengerjakan proyek penting hehehe. Kalau aku nggak update sesuai jadwal, berarti ada beberapa kemungkinan: aku perlu waktu untuk diriku sendiri, aku sedang mengerjakan tugas dari editor dan nggak sempat ke sini, ikut lomba, dan lain-lain. Bukan karena aku lupa. Setelah beres urusan di dunia nyata, pasti aku akan ke sini :-) Seperti biasa, aku tunggu komentar kalian ya.

Love, Vihara(IG/FB/Twitter/TikTok ikavihara, WA 083155861228)

***

"It was a fool thing to say. I know you aren't that kind of person."

"Jadi kulkas itu sogokan supaya aku memaafkanmu?" Mata Malissa menyipit curiga.

"Bukan. Kulkas itu untuk menarik perhatianmu. Supaya kamu mau bicara denganku."

"Wow, Lamar," sindir Malissa. "Kalau semua laki-laki di dunia sepertimu, menarik perhatian wanita dengan perabotan rumah tangga, mereka nggak akan bisa masuk rumah. Rumah mereka pasti penuh."

"Aku menganalisis apa yang paling berarti untukmu dan apa yang kamu butuhkan. Jadi, apa aku dimaafkan?"

Malissa tidak mengatakan apa-apa. Hanya memandang lurus ke balik punggung Lamar. Well, apa ada yang salah dengan wajah Lamar, sampai Malissa enggan menatapnya, Lamar bertanya dalam hati. Semenjak makan malam pertama dengan Malissa dulu, Lamar menjaga kerapian. Rambut di kepala dan wajahnya tidak lagi panjang. Sampai Regan, keponakanan Lamar yang berumur lima tahun, bilang Lamar terlihat muda.

Lamar menarik napas panjang. Memutuskan untuk membuka sedikit mengenai masa lalunya. Yang belum berada jauh di belakang. Dengan begini, Lamar berharap, Malissa tahu Lamar sedang berusaha menyembuhkan luka. "Aku berhenti dari pekerjaanku dan pulang ke Indonesia karena ... calon istriku, di Amerika, meninggal. Sebulan sebelum pernikahan kami."

Kini Malissa sempurna menatap Lamar. Dengan mata terbelalak. "Oh, Lamar ... aku nggak tahu. I am sorry ... aku turut berduka cita. Pasti itu ... berat untukmu."

"I had had everything ... love, happiness, future ... and in a horrible second it was gone. Aku pernah berpikir untuk ikut mati saja."

"No, Lamar, no!" Malissa terkesiap. "Dunia ini lebih baik karena ada kamu. Jangan pernah berpikir begitu. Kamu harus hidup."

"Kamu nggak tahu, untuk mengakhiri rasa sakit, beberapa kali aku berniat menyebrangi Golden Gate dan meloncat ke bawah. Malam hari sebelum pemakaman, aku jalan-jalan di tengah malam, ke area yang paling ... dihindari orang di San Francisco, berharap aku dirampok, terjebak di dalam perkelahian antargeng, kena peluru nyasar saat ada pengejaran bandar narkoba ... aku sengaja mendatangi bahaya."

"Lamar...." Malissa meraih tangan Lamar di atas meja. "Jangan melakukan itu lagi. Dia pasti menginginkanmu terus hidup. Menjalani hidupmu dengan sebaik-baiknya."

"Aku sangat marah saat itu. Aku nggak tahu aku bisa semarah itu. You know ... waktu ibuku meninggal karena sakit, aku sangat sedih, nggak ada kata yang bisa mendeskripsikan rasanya kehilangan ibu. Tapi ... saat dia meninggal ... mendadak, aku sangat marah. Kepada Tuhan, kepada takdir, semua orang di dunia, diriku sendiri, kepada siapa saja.

"Pada saat itu, mati ... menurutku bukan hanya sebuah pilihan, tapi pilihan yang rasional. Selama beberapa hari aku hidup dengan rasa sakit yang tak tertahankan di dalam kepala dan dadaku. Aku merasa tidak akan ada obat untuk itu. Apa yang bisa mengakhirinya?"

Malissa meremas tangan Lamar lagi. "Terima kasih kamu sudah memilih hidup sampai hari ini. Jadi aku bisa bertemu dan kenal denganmu. Keluarga di toko juga berterima kasih padamu, karena kamu datang menjadi bagian dari kami."

"Berkat Alesha, kakak iparku. Dia menanyakan kabarku setiap satu jam sekali. Setiap malam dia menelepon dan hanya mengatakan dua kata saja; come home. And I did. Di sini, rasa sakit itu masih terasa. Tapi aku dikelilingi orang-orang yang mencintaiku. Aku ingin melihat Rainar lahir. Aku ingin melihat Kaisla menjadi remaja, punya pacar dan membuat pusing ayahnya. Aku ingin melihat Regan pergi ke ruang angkasa. Di Amerika aku kehilangan alasan hidup, di sini aku menemukan beberapa...." Lamar berhenti dan menatap dengan bingung wanita yang duduk di depannya. Sedari tadi Lamar bicara sambil menunduk. "Malissa, Oh, God. I am sorry. Aku nggak ada niat untuk membuatmu menangis. Jangan menangis, semua orang akan ... hei, nanti mereka pikir aku menyakitimu ... mencampakkanmu."

Malissa mengeluarkan sapu tangan dari tas dan menyusut air matanya. "Aku sedang membayangkan aku berada di posisimu. Maaf aku marah-marah padamu di rumah sakit waktu itu, Lamar. Ibuku selalu bilang untuk selalu berprasangka baik, bersikap baik kepada setiap orang yang kita temui. Mau orang itu marah pada kita, menghina kita, atau apa pun. Karena kita nggak pernah tahu perjuangan apa yang sedang mereka hadapi.

"Mungkin mereka nggak ingin marah padaku, tapi mereka sedang sangat sedih dan nggak bisa mencerna ucapanku dengan baik. Mungkin mereka nggak berniat menghinaku, tapi mereka nggak bisa menyusun kalimat yang benar saat bicara denganku, karena pikiran mereka sedang berada di tempat lain. Seharusnya aku menerapkan nasihat ibuku."

"Aku berharap kita bertemu tiga atau empat tahun lagi. Saat aku sudah bisa berdamai dengan semua ini. Kamu benar, Malissa, aku takut ... kalau aku sampai jatuh cinta padamu. You are making it easy to ... for me ... to falling in love again. Tapi bagiku, ini bukan saat yang tepat untuk memulai hubungan baru.

"Aku tahu itu nggak bisa dijadikan pembenaran atas ucapan yang ... keluar dari mulutku waktu itu. Tapi aku mengakui aku bicara tanpa berpikir. Ke depan aku akan lebih berhati-hati. Aku merasa sangat bersalah, nggak bisa tidur karena ingat aku sudah menyakiti hatimu."

"Berapa lama kalian bersama?" Kehangatan sudah kembali terpancar di sepasang mata indah yang kini menatap Lamar penuh perhatian.

"Sekitar tiga tahun. Semua seperti baru terjadi kemarin."

"Kamu mencintainya."

"Aku nggak akan menikah dengannya kalau nggak mencintainya. Kamu tahu, Malissa, kupikir Indonesia adalah tempat yang aman. Di sini nggak banyak yang tahu mengenai cerita itu. Teman yang akrab denganku hanya sedikit. Aku nggak akan ketemu siapa-siapa. Aku cukup hidup dengan kenanganku bersamanya. Tapi tiba-tiba kamu datang ke rumahku.

"Sejak pulang dari makan malam pertama kita, aku jadi bimbang. Kalau aku terus berteman denganmu, aku takut aku akan menyukaimu. Jatuh cinta padamu. Padahal seharusnya aku masih berduka, karena calon istriku belum lama meninggal."

Pramusaji mengantarkan makanan mereka dan mengatur semua di meja.

"Sorry, Malissa. Ini ... bukan kebiasaanku menceritakan penderitaanku kepada orang lain. Aku nggak ingin dikasihani. Tadi aku hanya ... hanya berharap kamu mengerti kenapa aku bicara begitu padamu waktu itu. But ... Kok aku harus kembali menyalahkankanmu? Sejak kita ngobrol sambil makan malam dulu, kamu membuatku nyaman. Kalau nggak ingat malu, aku sudah menceritakan penderitaanku saat kamu tanya kenapa aku menganggur."

"Kepada siapa saja kamu menceritakan itu semua, Lamar?"

"Nggak kepada siapa-siapa. Kamu ... heck." Lamar mengacak rambutnya frustrasi. "Kamu adalah seseorang dengan people skill paling baik yang kukenal. Kamu nggak perlu melakukan apa-apa. Cukup diam dan tersenyum, lalu semua orang akan menyampaikan rahasianya yang paling kelam padamu."

"Banyak orang bilang begitu. Aku pendengar yang baik." Malissa tersenyum. "Terima kasih kamu memercayakan cerita itu padaku. Aku menjaganya. Nggak akan ada orang yang tahu. Rahasiamu aman bersamaku. Apa kamu merasa lebih lega, setelah mengeluarkan apa yang kamu rasakan?"

"Yeah. Thanks to you."

"Kamu masih berharap kita bertemu tiga atau empat tahun lagi? Bukan sekarang?"

Lamar tertawa pelan. "No. Aku bersyukur kita bertemu sekarang. Walaupun aku nggak siap untuk jatuh cinta, untuk mencintai ... mungkin nggak akan siap untuk waktu yang lama ... tapi aku berharap kita bisa tetap berteman. Kalau kamu memaafkanku."

***

Ini akhir bab, jadi aku potong di sini, supaya enak. Nanti aku panjangin minggu depan.

Aku ada penawaran spesial untuk paket Savara+Bellamia, Rp 90.000 untuk 2 buku. Berlaku selama produk bisa di-check-out di Shopee/Tokopedia ikavihara. Jangan lupa buat baca bukuku di aplikasi iPusnas(gratis untuk 4 judul buku), aplikasi gramedia digital(Rp 45.000 baca ribuan judul fiksi), Google Play(Diskon 25.000 untuk pembelian ebook dengan harga di atas 50.000) dan toko buku seluruh Indonesia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top