ENAM BELAS

Banyak banget yang ngomporin Malissa hahaha kasihan banget dia :-))) Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya. Aku akan membaca dan membalasnya. 

Ikuti juga giveaway di akun instagram ikavihara, berhadiah buku The Promise of Forver(Halmar Karlsson dan Renae) plus booklet bab ekstra. Cari foto bertuliskan giveaway di halaman profilku. 

Cek juga penawaran menarik di Shopee/Tokopedia ikavihara.

Thank you.

Love, Vihara(Instagram, Twitter, FB, TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

Bagi Malissa, tidak ada kesempatan untuk bangun siang pada hari Sabtu. Mau akhir pekan atau tengah minggu, si kembar selalu bangun pukul enam pagi. Satu jam kemudian, Malissa mendudukkan anak-anaknya di booster seat di kursi belakang mobilnya. Tas berisi keperluan mereka menyusul setelahnya. Dua ransel kecil berbentuk hewan lucu—singa dan kelinci, masing-masing milik Andre dan Anna—yang ekornya bisa ditarik sepanjang satu setengah meter dan berfungsi sebagai safety harness, supaya anak-anak tidak bisa bergerak terlalu jauh dari tempat orang dewasa yang mengawasinya, tidak ketinggalan.

"Andre dan Anna, nanti mau ke mana sama Oma dan Opa?" tanya Malissa saat mobilnya bergerak meninggalkan rumah.

Kedua orangtua Bhagas sangat terpukul ketika anak semata wayangnya meninggal. Hingga hari ini pun, Malissa tahu, awan kesedihan belum juga menghilang dari dua pasang mata yang selalu menatap Malissa dengan penuh kasih sayang. Dalam waktu singkat, orangtua Bhagas seperti menua sepuluh tahun lebih cepat. Kalau bukan karena kehadiran dua cucunya, Malissa yakin mereka akan kehilangan alasan melanjutkan hidup.

Selama berbulan-bulan ibunda Bhagas mengurung diri di rumah—kadang-kadang di rumah Malissa, dengan alasan membantu merawat para bayi—karena tidak ingin bertemu dengan teman-teman atau saudara-saudaranya. Dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin bersusah hati. Sedangkan ayah Bhagas, pelarian yang dipilihnya adalah pekerjaan. Kematian Bhagas menjadi pemberitaan di mana-mana. Di media cetak dan televisi lokal dan nasional. Mertua Malissa tidak nyaman dan malu mendengar anaknya menjadi bahan pembicaraan dengan nada negatif.

"Lihat gajah!" Andre berteriak menjawab. "Hidungnya paaaaaanjang!"

"Hidung gajah namanya apa, Sayang?" Anak-anak akan pergi ke kebun binatang bersama kakek dan neneknya. "Namanya be-la-la-i. Andre dan Anna bisa coba?"

"Belai!" Anna menirukan.

"Hampir." Malissa menyeringai. "Andre? Hidung gajah namanya be-la-la-i."

"Belai!"

"Anna mau lihat apa di kebun binatang nanti?"

"Ping-in."

"Nggak ada pinguin di kebun binatang, Sayang. Karena pinguin hidup di...?"

"Es!"

"Iya, di kutub. Di negara yang dingin. Jadi nggak ada pinguin nanti di kebun binatang kita. Tapi ada banyak lagi hewan-hewan lain di sana. Kita main tebak-tebak suara hewan ya." Malissa menirukan suara kodok dan si kembar terkikik, sebelum ikut memperdengarkan suara kodok versi mereka.

Metode pengasuhan anak yang diterapkan Malissa, kebanyakan bersumber dari insting. Karena terlalu banyak membaca tips tentang mengasuh anak, di buku, blog, media sosial, dan lain-lain, mulai dari memilih popok kain atau sekali pakai hingga memilih sekolah, Malissa pusing harus mengikuti yang mana. Jadi Malissa memilih jalan yang pernah dilalui kedua orangtuanya dulu. Sebelum ada teknologi yang menginvasi seluruh aspek hidup—termasuk pengasuhan anak—dan buku-buku mengenai parenting tidak terjangkau kantong rakyat kecil. Insting ibu dalam diri Malissa hanya menyaran dua pokok saja. Nomor satu, anak-anaknya harus selalu percaya Malissa mencintai mereka. Kedua, Malissa selalu memastikan tiga hal utama tercakup dalam metode pengasuhan; care, discipline, and attention.

Kalau Malissa berpikir dia sudah siap menjadi ibu pada usia dua puluh delapan tahun, Malissa salah besar. Apalagi langsung menjadi ibu untuk dua orang anak sekaligus. Pada saat itu, tidak hanya mengurus dua orang bayi yang menggantungkan hidup kepadanya—satu-satunya orangtua yang tersisa—Malissa juga harus bergerak ke sana-sini. Ke beberapa bank dan mengurus semua tabungan, deposito, dan urusan keuangan lain almarhum suaminya. Juga mencari jejak semua harta suaminya, yang dibeli tanpa sepengetahuan Malissa.

Beruntung suaminya tidak cukup bodoh saat membeli mobil dan apartemen untuk selingkuhannya. Semuanya menggunakan nama Bhagas dan setelah Bhagas tiada, kepemilikan kembali kepada ahli warisnya, si kembar, yang masih diwakili Malissa. Bukan Malissa gila harta. Tetapi itu adalah hak anak-anaknya. Setelah tidak lagi bisa mendapatkan pelukan ayahnya, paling tidak si kembar nanti bisa sekolah setinggi-tingginya dengan nyaman dan tanpa kesusahan, memanfaatkan kekayaan peninggalan ayahnya.

"Kita sudah sampai." Malissa memarkir mobilnya di halaman rumah mertuanya.

"Liat gajah, Mama? Sekarang?" Di kursi belakang, kedua anaknya tidak sabar ingin segera pergi ke kebun binatang.

"Kita sarapan dulu sama Oma dan Opa. Gajah dan hewan lainnya juga harus sarapan dulu sebelum ketemu Anna dan Andre." Malissa menurunkan Anna dan Andre bergantian. Kemudian menyusul mereka ke dalam rumah, sambil membawa tiga tas.

"Selamat pagi, Ma, Pa." Malissa mencium pipi ibu mertuanya, lalu salaman dengan ayah mertuanya. "Tasnya anak-anak ada di ruang tamu."

"Duduk dulu, Sayang. Sarapan sudah siap. Anna, Andre, sini cuci tangan dulu." Ibu mertuanya membantu si kembar mencuci tangan di wastafel.

Di meja sudah tersedia dua mangkuk kecil berisi sereal dengan potongan stroberi untuk si kembar. Berbeda dengan di rumah, di sini anak-anak tidak duduk di highchair. Melainkan di atas tumpukan beberapa buku kedokteran milik kakeknya yang diletakkan di kursi. Ayah mertuanya menaikkan anak-anak ke singgasana dan memasang oto di leher mereka.

"Habis makan, kita kasih makan ikan." Ayah mertua Malissa memotivasi anak-anak.

Lima belas menit kemudian, tinggal Malissa dan ibu mertuanya duduk di dapur. Menikmati pisang rebus.

"Nanti kamu tidak usah jemput anak-anak, Lissa. Mama dan Papa akan mengantarnya ke rumahmu, sekalian jalan pulang dari kebun binatang. Tapi kalau kamu ada acara malam nanti, Mama dan Papa akan bawa anak-anak ke sini."

"Acara apa? Setiap malam juga di rumah. Tapi kalau Mama mau lebih lama sama anak-anak, nanti malam aku jemput mereka." Malissa menyeruput teh hangat dari cangkirnya.

"Anak muda ya biasanya malam mingguan."

Malissa tertawa. "Malam mingguan sama siapa? Teman malam mingguku ya anak-anak itu, Mama."

"Mungkin laki-laki yang makan siang sama kamu waktu itu."

"Laki-laki?" Yang mana? Malissa berpikir keras. Belakangan laki-laki yang makan siang dengannya ... hanya satu ... Lamar. "Dari mana Mama tahu aku...?"

Ibu mertuanya tersenyum penuh arti. "Mama hampir makan siang di sana juga. Sama teman. Ada urusan di dekat situ. Tapi tidak jadi, karena Mama takut nanti kamu harus menyapa Mama dan kamu kesulitan menjelaskan padanya."

"Dia donatur, Ma. Yang menyumbangkan kulkas. Aku sudah cerita ke Mama kan?"

"Apa kamu berpegangan tangan sama setiap donatur?"

"Kami berteman. Dan waktu itu ... dia sedang sedih. Jadi aku menghiburnya." Menurut Lamar, label terbaik untuk hubungan mereka adalah teman. Dan Malissa menyetujui. Lebih-lebih setelah mengetahui masa lalu Lamar. Menjalin hubungan dengan laki-laki yang masih berduka, karena kehilangan wanita yang dicintainya, bukanlah sebuah pilihan bijaksana.

"Siapa bilang teman dengan teman tidak boleh berkencan? Sebagian besar pernikahan di dunia ini berawal dari pertemanan." Ibu mertuanya mengisi ulang teh di cangkir Malissa. "Mama selalu berdoa supaya kamu bertemu laki-laki yang lebih baik. Yang mencintaimu dan anak-anak. Bhagas ... Mama mencintainya, selalu mencintainya, karena dia anak Mama.

"Tapi Mama tahu dia bukan suami yang baik. Kamu layak mendapatkan seseorang yang lebih baik darinya. Mama tidak tahu lagi ... seandainya Mama bisa mengingatkan Bhagas....

"Waktu dia cerita pada Mama bahwa ... dia bertemu wanita yang tepat untuknya, punya gelar doktor, dosen, cerdas, cantik kata Bhagas ... dan ... Bhagas ingin menikah dengannya. Mama bahagia. Apalagi setelah mengenalmu, tahu betapa baiknya kamu. Mama semakin setuju dengan pilihan Bhagas. Tapi setelah tahu apa yang dilakukan Bhagas padamu, Mama kecewa, Lissa. Sampai hari ini Mama kecewa. Mama ingin bisa menebus kesalahannya...."

"Mama." Malissa mendekati mertuanya dan memeluknya. "Apa yang terjadi nggak perlu lagi kita sesali. Mari kita berusaha fokus pada hal-hal positif dari kejadian itu. Kalau aku nggak menikah dengan Bhagas, aku nggak akan pernah kenal Mama dan Papa. Kalian sudah seperti orangtuaku sendiri. Kalau nggak menikah dengan Bhagas, nggak akan ada Anna dan Andre."

"Terima kasih, Lissa. Kalau kamu dan temanmu perlu waktu berdua, Mama dan Papa akan menjaga anak-anak. Tidak ada cara lain untuk mengetahui baik atau tidaknya seseorang, Lissa, selain berteman dengannya. Mengambil waktu untuk mengenalnya."

***

"Dia datang lagi." Leah menyikut lengan Malissa. "Makin hari makin ganteng aja. Gimana aku bakal percaya dia nggak menyukaimu, kalau dia pengen ketemu kamu melulu?"

"Dia ke sini bukan karena mau ketemu aku. Tapi karena dia perlu kegiatan. Aku menjelaskan padanya voluntary work itu banyak manfaatnya." Salah satunya meringankan beban perasaan. Dengan bertemu banyak orang yang membutuhkan bantuan, kita menjadi tahu semua orang di dunia ini menderita. Hanya saja bentuk penderitaannya berbeda-beda. Tidak akan pernah ada timbangan yang bisa menilai penderitaan mana yang lebih berat. Jadi tidak akan ada waktu mengasihani diri sendiri. "Jadi dia ke sini."

"That's the best kind of marriage. Where a man is your best friend as well your lover."

"Kok jadi pernikahan? Dan, sejak kapan kamu jadi ahli soal asmara?"

"Sejak dulu. Hei, walaupun aku nggak punya pacar, belum menikah, bukan berarti aku nggak punya pengetahuan mengenai itu ya."

"Aku nggak meragukan pengetahuanmu. Tapi aku meragukan apa itu bisa dipraktikkan."

"Itulah. Kamu praktikkan biar kita tahu hasilnya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top