DUA PULUH SEMBILAN
"Apa itu kunci pernikahan yang dicari orang? Mengungkapkan dan menunjukkan cinta dengan cara yang dikehendaki pasangan kita?" Ketika Malissa tidak lagi sempat memuji-muji Bhagas—sudah jelas bahasa cinta Bhagas adalah affirmation—pernikahan mereka berantakan. Walau bukan sepenuhnya salah Malissa. Bhagas juga tidak mau berusaha memahami Malissa. Menunjukkan kemesraan seperti ini? Malissa tidak ingat apa Bhagas pernah melakukannya.
Lamar tertawa. "Kalau dalam pernikahan, ada cara yang efektif untuk mengatasi kendala perbedaan bahasa. Cara yang sangat fundamental. Traditional. Primal. S-E-X."
Mendengar jawaban itu, kepala Malissa bergerak cepat. Kini wajahnya berhadapan dengan Lamar. "Kamu bercanda."
"Itu serius. Dalam bercinta ... melakukan hubungan suami istri ... setiap orang pasti menggunakan semua bahasa yang tersedia. Nggak hanya saling menyentuh, saat bercinta sepasang manusia harus saling me—"
"Aku nggak mau ngomongin itu sekarang. Di sini." Malissa memotong.
Sudah terlalu sering—iya, rutin setiap malam sebelum tidur—bayangan dirinya bercinta dengan Lamar menemani kesendiriannya. Lebih-lebih setelah Lamar menciumnya, Malissa merasa angan-angan saja tidak cukup. Malissa ingin itu semua bisa terwujud. Melakukannya dengan Lamar pasti akan berbeda dari yang pernah dilakukan Malissa bersama Bhagas. Lamar pasti bisa menjadikan Malissa wanita paling bahagia di dunia, karena kebutuhannya yang paling penting dan mendasar tidak hanya terpenuhi. Tetapi juga terpuaskan.
Malissa menggelengkan kepala. Kalau ingin bisa tidur malam nanti, Malissa harus menghindari topik pembicaraan berbahaya. Seks dan pandangan Lamar mengenai seks. Salah-salah Malissa bisa tidak sabar dan meminta Lamar untuk mempraktikkan.
"You are blushing. Apa kamu memikir—"
"Sssssh ... sudah mulai acaranya." Malissa mendesis.
Bagaimana pipi Malissa tidak bersemu merah, kalau Lamar berdiri di belakangnya dan memeluk perutnya? Bagian depan tubuh Lamar—yang masih terekam jelas visualnya di kepala Malissa setelah Lamar pernah membuka kaus di depannya—bergesekan dengan punggung Malissa. Imajinasi Malissa bergerak ke mana-mana. Membayangkan rasanya melarikan ujung-ujung jemarinya di seluruh permukaan kulit Lamar. Dari bahu yang lebar, ke dada yang bidang, lalu perutnya yang keras dan padat hingga ke pangkal paha.
Malissa akan mencoba membuat sentuhan yang bisa menggoda dan memantik gairah Lamar, agar Lamar membalas dengan cara yang tidak pernah diketahui Malissa. Mereka akan menyatukan ... Malissa menggelengkan kepala. Demi Tuhan, mereka sedang di tempat umum, kenapa bisa Malissa hampir mengerang.
Kepala Malissa tidak henti memberi perintah untuk melepaskan diri dari pelukan Lamar. Tetapi hati dan tubuh Malissa mengabaikan. Malam ini Malissa tidak ingin bernapas, berpikir, atau melakukan apa pun kecuali tersesat di dalam perasaan bahagia yang melingkupinya. Pelukan Lamar bagaikan selimut tebal yang bisa melindungi Malissa dari pahitnya kenyataan. Di sini, di dalam dekapan Lamar, tidak ada keragu-raguan, kekhawatiran, atau ketakutan. Yang ada hanyalah kebutuhan. Kebutuhan untuk terus bersentuhan. Terus menyampaikan perasaan.
Selama Malissa tidak melibatkan si kembar dalam hubungan ini, selama si kembar tidak mengenal Lamar dan akrab dengan Lamar, semua akan baik-baik saja. Lamar bukan orang yang tepat untuk Malissa, Malissa terus mengingatkan dirinya. Pada akhirnya kedekatan mereka akan berakhir. Mereka akan berpisah jalan, menuju masa depan berbeda. Tetapi saat ini Malissa tidak mau ambil pusing. Peduli setan mereka tak akan bersama selamanya, yang penting malam ini Lamar miliknya. Hanya miliknya.
Ruangan yang tadinya terang perlahan meredup. Menyisakan lampu-lampu berwarna kuning. Layar raksasa di belakang panggung menampilkan foto para personil band dan dari pengeras suara, nama-nama mereka diperkenalkan. Penonton berseru-seru ketika salah satu anggota, Jascha, menyapa dengan penuh semangat menggunakan bahasa Indonesia.
Bagi penonton yang berdiri jauh dari panggung, ada kamera yang merekam segala yang terjadi di panggung dan langsung menampilkannya di tiga layar besar—belakang, kanan dan kiri panggung. Benar-benar mengagumkan. Terakhir kali Malissa menonton konser adalah saat masih kuliah di Amerika. Sudah sangat lama sekali.
"Apa kamu sering nonton konser di Amerika?" Malissa mendongakkan kepala dan berteriak di wajah Lamar, supaya suaranya bisa didengar, di antara ingar-bingar penonton.
"Sering." Lamar menjawab di telinga Malissa. Hangat napas Lamar menyapu daun telinga Malissa, membuat jantung Malissa berdesir. "Yang terakhir kutonton bersama Thalia itu konser The Hu. Band folk rock dari Mongolia. Band pertama dari sana yang meraih peringkat satu Billboard untuk kategori penjualan lagu digital."
"Terima kasih kamu mengajakku nonton konser malam ini."
"Aku punya kelebihan tiket jadi...." Lamar tertawa, tidak melanjutkan kebohongannya, karena Malissa menyikut perutnya. "Ini kehormatan untukku. Mengenalkanmu pada sesuatu yang baru. Band yang belum pernah kamu dengar lagunya sebelum hari ini."
Lagu pertama yang dinyanyikan adalah Sleeping Child. Baru mendengar judulnya saja, pikiran langsung Malissa bergerak pada si kembar. Setiap malam, tidak pernah tidak, Malissa selalu membaca cerita pengantar tidur, membimbing mereka membaca doa, dan memastikan si kembar mendengar pernyataan cinta ibunya.
"If all the people around the world, they had a mind like yours, we'd have no fighting and no wars. There would be lasting peace on Earth...." Lamar bernyanyi di puncak kepala Malissa, mengikuti band di depan.
Cinta dan empati, dua hal penting tersebut bisa menghindarkan dunia dari peperangan dan permusuhan. Dua hal yang sedang diupayakan Malissa akan selalu dimiliki anak-anaknya dan dibawa ke mana pun mereka melangkah.
"I am gonna cover my sleeping child, keep you away from the world so wild...."
Bayangan Lamar sedang menggendong seorang bayi dan menyanyi lagu pengantar tidur—dengan suaranya yang merdu—bergerak di benak Malissa. Malissa mendesah pelan dan menyandarkan kepalanya di dada Lamar. Sangat seksi. There is something about picturing tiny baby cradled against the expanse of his rock-hard chest that stir something inside her.
"Suaramu bagus." Malissa baru tahu Lamar bisa menyanyi.
"Banyak yang bilang begitu. Ah, ini lagu favorit ayahku. Yang sering dinyanyikan untuk ibuku. Apalagi waktu ibuku sakit dan sebelum beliau meninggal...." Lamar mengeratkan pelukannya, seperti Lamar tidak akan sanggup berdiri kalau tidak memiliki pegangan, ketika intro lagu I'm Gonna Be Around terdengar. "Kadang-kadang Papa mengganti liriknya dengan bahasa Swedia. Karena Mama suka mendengar Papa bicara bahasa Swedia."
"Kamu pasti kangen sama ibumu. Umur berapa kamu waktu ibumu meninggal?" Malissa menyentuh punggung tangan Lamar yang menempel di perutnya. Kalau semua orang sibuk dengan ponsel mereka, merekam konser ini, Lamar dan Malissa, justru merefleksi perjalanan hidup mereka, berdasarkan lirik lagu yang sedang dibawakan.
"Dua puluh lima tahun."
"Seorang ibu selalu pergi terlalu cepat." Tidak peduli berapa pun usia seorang anak, jika ibu mereka meninggal, mereka akan merasa sang ibu pergi terlalu cepat.
"I am gonna love you till the end, I am gonna be your very true friend...." Lamar kembali bernyanyi, kali ini suaranya sedikit bergetar.
Mungkin Lamar teringat hari-hari terakhir ibunya. Bersama ayahnya. Atau lirik lagu ini mengingatkan Lamar pada Thalia. Sungguh, lagu ini seperti ditulis oleh orang yang memahami cara kerja sebuah pernikahan. Atau hubungan. Jika seseorang ingin pernikahannya bertahan dalam jangka waktu sangat lama, ia dan pasangannya tidak hanya dituntut untuk bisa menjadi kekasih yang baik, tapi juga harus bisa berteman baik.
Hal-hal yang bisa ditemukan di dalam persahabatan, hendaknya ada di dalam pernikahan. Kesenangan, dukungan, minat, kesetiaan, antusiasme, maaf, kepercayaan, dan lain-lain. Semua itu tidak dimiliki Malissa dalam pernikahannya. Karena Malissa dan Bhagas tidak bersahabat.
"Dengarkan ini, Mylissa," bisik Lamar di telinga Malissa.
Jantung Malissa berhenti berdetak saat Lamar tidak menyebut nama Malissa, melainkan My Lissa. Mungkin salah dengar, Malissa mengembuskan napas. Tidak pernah sekali pun Lamar menggunakan panggilan-panggilan kesayangan kepada Malissa. Karena memang kalian tidak ada hubungan apa-apa, sebuah suara di kepala Malissa menyahut.
Malissa menengadahkan kepala karena ingin melihat ekspresi Lamar. Menonton konser ada kekurangannya; mereka tidak duduk berhadapan sehingga Malissa tidak bisa menatap wajah Lamar dan mencari kesungguhan di sana.
"When you're alone 'cause I'm away, don't be sad, don't be afraid ... I'm gonna turn my thoughts to you, like I always do...." Lamar menyanyikan lirik lagu yang sudah dia hafal di luar kepala. Dalam remang mereka saling bertatapan. Salah satu tangan Lamar terlepas dari perut Malissa. Ibu jari Lamar bergerak di sepanjang bibir bawah Malissa. "I believe I've found a miracle in you...."
"Lamar...," bisik Malissa dengan suara parau. Dirinya tenggelam di mata Lamar. Oh, God, how she loves his eyes, so blue and intense they take her breath away.
###
Oh ya, kalau kamu membaca My Bittersweet Marriage(Afnan/Hessa), bab ekstra sudah kuupload di karyakarsa.com/ikavihara. Baca keterangan di sana. Jangan lupa baca buku-bukuku(tamat) di aplikasi iPusnas, gratis ya. Bisa juga dibaca di aplikasi Gramedia Digital Rp 49.000,- semuanya dengan Fiction Premium Package.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top