DUA PULUH LIMA
Karena aku tadi sedang memikirkan mantan suamiku, Malissa menjawab dalam hati, yang sikap dan pemikirannya jauh berbeda denganmu. "Aku nggak bermaksud membuatmu ... tersinggung. Aku cuma ... aku minta maaf aku bertanya seperti itu."
"Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu ya?"
"Aku tadi cuma mengingat hubunganku dengan ... seseorang ... dulu."
"Yang mana? Yang terakhir? Kamu sudah sendiri berapa lama?"
Kepada Lamar, Malissa tidak menyebut dirinya pernah menikah. Atau punya dua anak. Untuk apa juga, hubungannya dengan Lamar tidak akan berakhir di pelaminan. Mengenalkan si kembar kepada Lamar hanya akan membuat mereka patah hati, ketika Lamar harus pergi dari sini. Mungkin tidak lama lagi, setelah bosan menganggur di sini, Lamar akan kembali ke Amerika, atau melanjutkan petualangan ke negara lain.
"Tiga tahun lebih. Apa kamu pernah kenal seseorang yang narsis? Mengidap NPD, narcissistic personality disorder?" Malissa menata bantal dan duduk bersandar.
"Nggak pernah. Kenapa memangnya?"
"Aku pernah bersama seseorang yang diduga mengidap NPD. Setahun lebih." Diduga, sebab Bhagas tidak mendapat diagnosis resmi.
Dokter kandungan yang didatangi Malissa selama hamil, dan mendampingi Malissa setelah melahirkan, menyarankan agar Malissa menemui psikiater. Malissa mengidap post-natal depression. Akibat harus merawat dua orang bayi dan, pada saat bersamaan, kepala dan hatinya dipaksa memproses apa yang baru saja terjadi pada rumah tangganya. Pengkhianatan suaminya hampir-hampir membuat Malissa menyerahkan si kembar kepada orangtuanya, agar Malissa bebas menangis sepanjang waktu.
Tentu saja dokter kandungan—dan semua dokter di negara ini—mengetahui skandal perselingkuhan itu. Karena mereka mengenal Bhagas. Atau karena membaca koran. Dokter kandungan yang menangani Malissa merupakan salah satu teman baik Bhagas, yang sering mengundang Bhagas dan Malissa datang ke rumah mereka, makan siang atau malam bersama. Malissa memilih psikiater di rumah sakit berbeda, untuk menghindari bertemu langsung dengan para dokter, perawat, staf dan siapa saja yang mengenal langsung Malissa di tempat Bhagas bekerja.
Setelah yakin cocok dengan psikiater—dua kali Malissa harus berganti, mencari yang tidak menghakimi—dan menjalani beberapa sesi, Malissa menyerahkan ponsel rahasia milik Bhagas dan mengizinkan psikiater membaca pesan, melihat video dan foto, atau apa pun yang ada di sana. Karena Malissa sangat ingin tahu, sangat membutuhkan, alasan logis di balik pengkianatan Bhagas terhadap janji suci pernikahan mereka. Psikiater menemukan tanda-tanda suami Malissa mengidap NPD.
NPD tidak bisa dijadikan pembenaran atas tindakan Bhagas, yang melukai hati Malissa dan mempermalukan Malissa di hadapan seluruh warga kota. Malissa juga tidak akan menggunakan NPD untuk memaklumi dan memaafkan Bhagas, atas segala penderitaan yang ditanggung Malissa akibat perbuatan tak bertanggung-jawab yang dilakukan Bhagas di tahun terakhir hidupnya. Tidak. Sampai kapan pun, di mata Malissa, Bhagas tetap brengsek.
Seandainya saja Bhagas tidak memiliki NPD dalam dirinya, mungkin pernikahan mereka akan berbeda. Atau kalau Bhagas mendapatkan penanganan yang tepat untuk NPD-nya. Tetapi Malissa tahu kemungkinan kedua sulit diwujudkan. Bhagas pasti lebih memilih mati daripada mendatangi psikiater. Pandangan Bhagas untuk satu cabang kedokteran tersebut benar-benar sulit dipercaya bisa keluar dari bibir dokter.
Karena Lamar tidak mengatakan apa-apa, maka Malissa melanjutkan ceritanya.
"Orang dengan NPD dari luar terlihat kharismatik, extrovert, pintar membawa diri, pandai mengambil hati orang, tapi di dalam dirinya mereka sadar apa yang mereka tunjukkan kepada dunia luar adalah kepalsuan. Mereka selalu terlihat percaya diri, padahal di dalam membenci diri sendiri. Mereka nggak suka sendirian, karena ketika mereka sedang sendiri, topeng kepalsuan itu terlepas dan mereka bisa melihat dirinya yang sebenar-benarnya. Yang nggak mereka sukai itu. Dengan kepribadian palsu itu mereka mendapatkan banyak teman, banyak pacar, bahkan kesuksesan dalam karier."
Kehebatan Bhagas sebagai dokter tidak perlu diragukan. Tetapi pembawaan Bhagas yang berkharisma dan penuh percaya diri, menjadi pertimbangan terbesar bagi pasien dan keluarga pasien untuk memilih ditangani Bhagas.
"Aku termasuk salah satu dari ... beberapa wanita yang tertipu dengan pesonanya, kharismanya, kepercayaan dirinya. Orang dengan NPD itu. I remembered how charming he had been when we first meet, how polite. Dia seperti tulus mencintaiku. Aku nggak curiga dan menerima perasaannya begitu saja. Cara yang sama dia gunakan untuk mendekati wanita lain. Saat dia masih me ... bersamaku.
"He was very needy. Sering banget dia mengeluh aku nggak punya waktu untuknya. Padahal di antara pekerjaan kami yang sangat demanding, keluarga, teman-teman, semua sisa waktuku kuberikan untuknya. Tapi itu nggak pernah cukup."
Bahkan saat Malissa hamil, hamil dua anak Bhagas, anak yang hadir di kandungan Malissa karena kesepakatan mereka bersama, Bhagas mengatakan Malissa terlalu fokus pada bayi yang belum lahir hingga mengabaikan suaminya. Kritik lain dari Bhagas adalah gara-gara bayi yang belum lahir, Malissa tidak sempat merawat dirinya sampai Bhagas malu dilihat orang lain di luar rumah bersama wanita—istrinya—yang berantakan penampilannya.
"Kalau dia menjalani hari yang buruk, atau ada sesuatu yang nggak berjalan sesuai keinginannya, dia menyalahkanku. Gara-gara aku nggak begini, aku kurang begitu. It is always my fault, no matter how badly he screwed up." Malissa menarik napas.
Lagi-lagi ada beda antara Lamar dan Bhagas. Lamar tidak pernah mendominasi percakapan dan selalu mau mendengarkan tanpa menyela. Kalau Bhagas, Malissa harus mendengarkannya atau dia akan menuduh Malissa tidak suka padanya.
"Lamar, berapa kali dalam sehari kamu bertanya kepada almarhum tunanganmu, apakah dia berpikir kamu ganteng? Atau bertanya padanya, apa dia masih mencintaimu?"
"Never." Lamar menjawab dengan pasti. "Aku nggak pernah tanya. Tapi aku nggak pernah lupa untuk memujinya cantik, karena memang di mataku dia wanita tercantik di dunia. Setiap hari aku selalu mengatakan aku mencintainya. Walaupun cinta harus dibuktikan, tapi semua orang tetap senang mendengar pernyataan cinta, iya kan?"
"Kamu nggak pernah tanya, itu karena kamu yakin dia menilai kamu ganteng dan kamu yakin dia mencintaimu, kan?"
"Aku nggak tahu dia menganggapku ganteng atau nggak." Lamar tertawa. "Tapi karena dia nggak meninggalkanku, bahkan nggak sabar buat menikah denganku, aku menganggap itu sebagai tanda dia mencintaiku."
"Good. Orang dengan NPD nggak seperti itu. Dia sering bertanya kepadaku apa dia ganteng, lebih ganteng dia atau siapa, apa aku masih mencintainya seperti dulu saat pertama kami bertemu. Bersamanya itu melelahkan, sangat melelahkan, karena aku harus memujanya setiap waktu." Saat hamil, Malissa tidak punya waktu untuk menuruti ego Bhagas. Dari para selingkuhannyalah, Bhagas mendapatkan pemujaan itu. Tidak dapat dari yang pertama, Bhagas lari kepada yang kedua. Tidak dapat dari yang kedua, lari ke yang ketiga.
"Apa sekarang dia masih mengganggumu? Kurasa orang seperti itu nggak akan terima ditinggalkan. Dia harus menjadi orang yang mencampakkan."
"Dia nggak bisa lagi menggangguku." Setidaknya secara fisik. Tetapi secara psikologis, ceritanya lain lagi. "Karena dia meninggal duluan sebelum aku meninggalkannya."
"My God, Malissa, kenapa kamu nggak bilang padaku saat aku menceritakan tentang Thalia padamu waktu itu? Kalau kita punya pengalaman yang sama?"
"Pengalaman kita nggak sama, Lamar. Kamu marah kepada takdir karena merampok kesempatanmu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Thalia. Aku marah kepada takdir karena merampok kesempatanku untuk meninggalkannya. Aku ingin jadi orang yang berani keluar dari toxic relationship. Tapi itu nggak terwujud. Pada akhirnya tetap dia yang menang."
Malissa teringat saat dia membaca pesan yang dikirim Bhagas kepada selingkuhannya, yang iri karena Malissa diajak pergi ke Paris. Bhagas mengatakan hubungan seks di dalam pernikahan tidaklah menarik dan menantang seperti yang dilakukan Bhagas diam-diam di balik punggung istrinya. He was so sick.
Itulah kali pertama Malissa benar-benar merasakan sakitnya patah hati. Sakit yang teramat sangat. Setiap kata yang ditulis Bhagas selanjutnya bagaikan belati yang menusuk ulu hati. Karena Malissa belum tahu ada yang salah pada diri Bhagas—NPD—waktu itu Malissa berpikir dirinya adalah wanita yang tidak berguna, tidak menarik, tidak berharga, karena tidak bisa membuat suaminya betah di rumah, padahal mereka masih dalam masa pengantin baru.
"Kamu tetap menang, Malissa. Kamu bangkit dan kamu membangkitkan orang lain."
Malissa menarik napas lalu mengangguk, walaupun tahu Lamar tidak bisa melihatnya. Salah satu kebaikan dalam diri Lamar yang dikagumi Malissa. Lamar tidak pernah melakukan video call, kecuali mereka janjian lebih dahulu. Menurut Lamar, video call sama seperti bertamu. Lebih baik memberi tahu sebelumnya, supaya lawan bicara bisa siap-siap. Menyisir rambut, mengganti baju, dan sebagainya.
"Itulah kenapa aku tanya padamu, apa kamu nggak takut orang berpikir kamu nggak jantan. Karena dulu dia ... dia selalu mengelompokkan laki-laki ke dalam dua kategori. Laki-laki sejati adalah yang seperti dirinya. Menjalani pekerjaan yang nggak mudah, punya mobil-mobil mewah, motor besar yang gagah, rumah yang megah, memilih olahraga bela diri dan tinju. Sisanya ... dia akan menyebut laki-laki yang memelihara kucing, memasak, menjadi guru tari, perawat bahkan ... bukanlah laki-laki sejati."
"Aku nggak mau bicara yang buruk-buruk tentang orang yang sudah meninggal. Tapi untuk mantanmu, aku punya beberapa sebutan yang nggak pantas kamu dengar."
***
Pengingat lagi: Bulan depan Lamar dan Malissa akan bisa dibaca dengan cepat dan lengkap lewat buku dengan judul Right Time To Fall In Love, terbit lewat Elex Media. Preorder akan diadakan di Shopee/Tokopedia ikavihara. Paket preorder berisi: 1 novel bertanda-tangan dariku, 1 booklet bab ekstra dan 2 art print kutipan pilihan dari novel seperti foto di bab selanjutnya :-)
Love, Vihara(IG/FB/Twitter/TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top