DUA PULUH ENAM

Ada giveaway di Instagram ikavihara, berhadiah novel The Perfect Match. Terakhir menjawab malam ini ya, yuk ikut. Biar punya kesempatan kenalan sama Nalia dan Edvind :-D Oh, and don't worry, setelah cerita Lamar dan Malissa, nanti aku upload cerita lagi di sini. Yang tamat.

Love, Vihara(IG/FB/Twitter/TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

"Dia meninggal saat sedang selingkuh."

Lamar mengeluarkan serentetan umpatan kasar, Malissa masih bisa mendengar walau—tampaknya—Lamar sengaja menjauhkan ponselnya. "You've got to be kidding me!"

Kadang Malissa bertanya-tanya bagaimana Bhagas bisa mengatur jadwalnya sedemikian rupa. Menyembunyikan rahasia itu dengan begitu rapi. Seandainya Bhagas tidak meninggal, tidak akan ada yang mengetahui perselingkuhan itu.

"That's my ugly past. Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba aku menceritakan ini padamu. Tapi setiap kali aku berpikir untuk memulai hubungan, aku teringat dia."

"Sebelum aku, ada berapa orang yang mendekatimu?"

"Satu atau dua."

"Ada yang salah dengan semua laki-laki di kota ini."

"Setelah kejadian itu, aku mengurung diri. Menutup hati. Aku nggak pernah ke mana-mana. Sampai aku bikin aplikasi dan toko. Aku cuma keluar untuk urusan yang menyangkut dua hal itu. Selebihnya aku menghabiskan waktu di rumah. Membaca, menulis."

"Kalau begitu, gimana kalau kita latihan kencan? Supaya nanti ... walaupun mungkin kita nggak bisa bersatu, kita sudah tahu apa yang harus dilakukan saat ada seseorang yang tertarik pada kita? Sudah tahu harus membicarakan apa saat kencan?"

Malissa tertawa keras. "Wow, Lamar, kamu lebih licin daripada ular. Bisa banget mengambil kesempatan. Kalau cuma latihan, berarti tanpa ciuman? Iya, kan?"

"Dengan ciuman. Karena itu materi yang paling penting. Apa yang kamu bilang dulu, kiss me, and you'll know how important I am?"

"Kedengarannya seperti bukan latihan."

"Aku sudah menceritakan padamu mengenai Thalia. Semua orang di dunia ini pasti akan mengatakan terlalu cepat bagiku untuk kembali berkencan. Untuk mengambil keputusan terkait perasaan. Aku akan bisa memenuhi standar yang mereka tetapkan. Kalau nggak ketemu kamu.

"You are special, Malissa. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku tertarik. Sangat tertarik. Aku ingin mengeksplorasi segala kemungkinan yang bisa terjadi di antara kita. Sesuatu yang ... setelah Thalia meninggal aku yakini nggak akan pernah terjadi lagi pada diriku."

Malissa memejamkan mata. Laki-laki seperti Lamarlah yang dia inginkan. Yang nyaman menyampaikan isi hatinya. Tidak malu menceritakan apa yang dia rasakan. Tidak pura-pura kuat dan berani menunjukkan kelemahannya. Walaupun, kalau orang-orang seperti Bhagas dengar, Lamar akan dilabeli cengeng.

"Jadi, Lissa, apa kita akan latihan kencan?"

"I am not playing hard to get, Lamar. Aku nggak sedang jual mahal, jadi kamu nggak perlu menganggapku sebagai tantangan yang harus kamu taklukkan. Kamu nggak harus melakukan segala cara untuk bisa kencan denganku, seperti kamu mewujudkan cita-citamu yang lain."

"Wow!" Lamar berseru kagum. "Ini menakutkan, Malissa. Sangat menakutkan. Kamu lebih memahami diriku daripada diriku sendiri."

"Karena kita tipe orang yang sama. Kita berdua terlalu keras kepala untuk menyerah, begitu kita menetapkan suatu tujuan. Nggak ada alasan lain kenapa kamu, yang tadinya mewanti-wanti supaya aku nggak berharap banyak pada pertemanan kita, berubah menjadi sangat ingin mendapatkan satu kencan dariku. Selain karena insting kompetisimu terlalu tinggi. Begitu tahu ada tantangan di depanmu, kamu akan melakukan segala cara untuk menaklukkannya." Malissa kembali mengatur posisi duduknya. "Kalau kamu bilang kamu sudah bisa menerima kenyataan calon istrimu pergi untuk selama-lamanya dan kamu bisa memulai hidup baru, aku akan percaya."

"Kamu mau bilang 'tapi' di sini," kata Lamar dengan nada tidak suka.

"Tapi aku nggak bisa menjalin hubungan di atas ketidakpastian. Aku sudah menjelaskan alasan itu sebelumnya, kan? Saat kita bertemu terakhir kali. Salah satunya, ini sudah berapa bulan kamu di sini, Lamar? Sampai berapa bulan lagi sampai kamu kembali ke Amerika—

"I won't," potong Lamar. "Aku nggak akan kembali ke Amerika. Hidupku di sana sudah selesai dan aku memulai hidup baru di sini."

"Aku ingin menikah, Lamar. Paling lama aku mau pacaran mungkin satu tahun saja. Itu juga dengan seseorang yang kunilai memiliki pandangan yang sama denganku. Bahwa masa pacaran adalah masa saling mengenal dengan terbuka, masa memantapkan langkah untuk menuju tahap selanjutnya; pernikahan. Bukan hanya untuk bersenang-senang, atau kalau kamu bilang, hanya untuk latihan. Aku nggak punya waktu untuk itu."

"Aku nggak bilang aku nggak ingin menikah lagi. Aku nggak ingin menikah sekarang. Atau dalam waktu dekat. Bukan nggak ingin selama-lamanya."

"Masalahnya aku nggak bisa menunggu."

"Why not? Semakin lama kita bersama, semakin kita memahami satu sama lain."

"Aku memang bangga menyebut diriku wanita modern, tapi beberapa pemikiran tradisional masih kupertahankan. I like children. So much. Jadi aku ingin punya beberapa anak. Kalau kita pacaran sekarang dan menikah setahun kemudian, masih banyak kesempatan untuk punya anak."

"Jadi nggak ada jalan tengah untuk hubungan kita?"

"It's all or nothing. Kamu mau berkomitmen atau kita tetap berteman."

***

Dirinya terlalu banyak berimajinasi. Malissa menggelengkan kepala saat mendorong kereta belanja di salah satu lorong supermarket bersisian dengan ibunya. Laki-laki yang sedang berdiri di depan rak panjang berisi segala perlengkapan bayi bukan Lamar. Tetapi dari samping terlihat seperti Lamar. Malissa menyipitkan matanya. Iya, itu Lamar. Tanpa memberi tahu ibunya, yang berhenti untuk mengambil sampo—persediaan kalau si kembar perlu mandi di rumah neneknya—Malissa mendekati Lamar. Tidak salah lagi, laki-laki yang berdiri dua langkah di depan Malissa adalah Lamar.

"Lamar?"

Laki-laki itu menoleh dan saat melihat siapa yang memanggilnya, dia menyeringai. Seksi. Tetapi tidak membuat jantung Malissa meloncat melampaui bulan. Oh, God, dia bukan Lamar. Ini masih pagi, tapi kenapa Malissa sudah mempermalukan diri sendiri? Memang dari atas hingga bawah, dari kejauhan laki-laki di depan Malissa tampak seperti Lamar, tapi kalau diperhatikan dari jarak dekat ada perbedaan. Warna matanya sedikit berbeda. Kalah biru. Garis-garis tawa di sekitar mata laki-laki di depan Malissa lebih banyak. Tidak ada gurat kesedihan sama sekali di sana.

Laki-laki itu mengulurkan tangan, masih dengan tersenyum ramah. "Halmar. Kakaknya. Kenapa orang selalu salah, mengira aku Lamar, padahal aku lebih ganteng daripada Lamar?"

Malissa tertawa gugup dan menjabat tangan Halmar. "Malissa. Sorry, dari jauh tadi kukira Lamar. Jadi aku ... wow, ini malu-maluin...."

Halmar tersenyum menenangkan. "Aku akan menyebut ini keberuntungan. Lamar jarang punya teman wanita di sini. Tapi begitu punya, temannya ... antusias ... semangat sekali mau bertemu dengannya."

"Malissa?" Ibu Malissa kini berdiri di samping Malissa, meletakkan beberapa barang di kereta. Menatap Malissa dan Halmar penuh rasa ingin tahu.

"Kenalkan ini Halmar, Ma. Aku dan adiknya berteman." Malissa menjelaskan. "Halmar, ini ibuku."

Halmar bersalaman dengan ibunda Malissa. Masih dengan seyum memikat tersungging di wajahnya. Namun belum sempat Halmar mengatakan apa-apa, ponsel Halmar berbunyi.

"Senang ketemu kamu, Malissa. Semoga kita bisa ketemu lagi ya." Halmar menyimpan ponselnya dan bersiap mendorong kereta belanjanya. "Kalau aku nggak segera pulang, istriku bisa menjual anak kami karena capek sendirian menggendongnya. Colicky baby."

"Oh, selamat untuk kelahiran anak kalian." Jadi ini adalah kakak Lamar yang istrinya ditunggui Lamar di rumah sakit waktu itu, Malissa menyimpulkan.

Halmar mengangguk sekali lagi kepada mereka dan berlalu. Sama dengan Lamar, tampaknya Halmar juga nyaman dengan masculinity-nya. Hari Sabtu dihabiskan dengan belanja kebutuhan anak dan istrinya—ada satu pak maternity pads di keranjang Halmar—tanpa rasa risi. Malissa berani bertaruh, Halmar adalah tipe ayah yang antusias menyambut kehadiran anaknya. Kalau Bhagas dulu, selama Malissa menyiapkan kedatangan si kembar, dan memerlukan banyak barang seperti tempat tidur bayi, dan lain-lain, Bhagas mengatakan itu urusan perempuan.

Seandainya ibu Lamar masih hidup, Malissa ingin berteman dengan beliau. Mengunduh tips membesarkan anak laki-laki menjadi sosok yang mengagumkan.

"Sudah lama kamu kenal dengan adiknya?" Pertanyaan ibu Malissa membuyarkan pikiran Malissa. Mereka kembali berjalan menyusuri lorong.

"Beberapa bulan."

"Apa dia laki-laki yang baik?"

"Salah satu yang terbaik, Ma." Kening Malissa berkerut. "Gimana Mama tahu adiknya laki-laki? Apa tadi aku bilang?"

"Mama nggak tahu. Mama cuma menebak saja. Kalau tebakan Mama salah, kamu akan mengoreksi. Kalau dia mirip dengan kakaknya, berarti dia ganteng."

"Karena dia ganteng, aku harus hati-hati kan, Ma?"

Ibu Malissa menyentuh lengan anaknya. "Kamu nggak kapok menikah kan, Sayang?"

Malissa menggeleng. "Bukan menikahnya yang jadi masalah, tapi memilih laki-laki yang benar-benar baik dan mencintaiku, Ma. Nggak ada salahnya berhati-hati, kan? Karena sekarang aku nggak sendiri, ada si kembar juga."

Tidak semua laki-laki memiliki NPD di dalam dirinya seperti Bhagas. Lebih banyak yang tidak, Malissa yakin. Oleh karena itu Malissa tidak akan menggeneralisasi, bilang semua laki-laki brengsek hanya berdasarkan satu pengalaman buruk yang dialaminya.

"Jadi, kamu jatuh cinta pada ... siapa namanya?"

"Lamar. Mungkin akujatuh cinta sejak pertama kali melihatnya. Tapi sekarang kami hanya berteman,karena dia nggak merasakan yang sama." Karena Lamar mencegah dirinya jatuhcinta.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top