DUA PULUH EMPAT

Besok sudah 17 Agustus! Ikut acara apa nih buat memperingati kemerdekaan kita yang mahal harganya? Eh, bulan Agustus adalah bulan lahirku. Hehehe kalau kamu ada kelonggaran, mungkin kamu bisa berbagi doa/harapan/nasihat untukku?

Aku punya 2 pengumuman yang penting:

1) Besok, tanggal 17 Agustus ada diskon-diskon besar sampai 50%, kalau kamu mau membaca atau melengkapi koleksi bukuku. Diskon paket baca dan pembelian e-book single di aplikasi Gramedia Digital dan diskon pembelian buku cetak di Gramediadotcom. Aku akan mengunggah link dan terus memperbarui informasi di story Instagram ikavihara. Ceki-ceki di sana besok.

2) Right Time To Fall In Love akan terbit dan bisa dibaca secara utuh dalam buku. Diperkirakan terbit akhir bulan September. Dua minggu sebelumnya, aku akan mengadakan preorder dengan hadiah booklet bab ekstra 65 halaman--karena kita akan menengok kehidupan Halmar dan Elmar sekeluarga plus para sahabat. Ditambah 2 art print. Foto di bawah setelah cerita selesai. Buku kutanda-tangani dengan nama kamu masing-masing :-)

Aku masih belum diskusi dengan editor mengenai izin melanjutkan cerita di sini. jadi nanti aku akan kabarkan lagi hasil pembicaraan kami. Sementara itu aku akan tetap mengupdate, sampai terbit nanti.

Love, Vihara(IG/FB/Twitter/TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

Foto Lamar yang sedang menggendong Einstein adalah favorit Malissa. Seorang laki-laki gagah, tinggi, dan besar sedang memanjakan kucing kecil nan lucu adalah pemandangan yang sangat manis. Tangan seorang engineer yang kukuh dan keras ternyata bisa menghasilkan sentuhan yang sangat lembut. Diimbangi dengan hati yang penuh kasih. Senyum Malissa terbit membayangkan kelak Lamar akan menggendong bayi mungil yang lucu. Anak mereka.

Sudah lebih dari dua minggu Malissa tidak bertemu Lamar. Lamar tidak datang ke toko, meski donasi dari Lamar terus datang setiap minggu. Berupa uang. Seharusnya Malissa merasa lega karena Lamar tidak menjalankan misinya. Untuk bisa mendapatkan satu kesempatan kencan dari Malissa. Jadi Malissa tidak perlu repot-repot mencari cara untuk menolaknya. Tetapi tidak tahu kenapa, Malissa merasa ada yang kurang dari hidupnya, setelah Lamar menghilang tanpa berita.

Bukan perkara mudah meminta Lamar menyetujui agar mereka tetap berteman. Apalagi ketika Malissa tahu Lamar juga tertarik padanya. Hanya saja, mereka tidak memandang masa depan yang sama. Milik Malissa tentu didominasi pernikahan dan anak-anak. Sedangkan Lamar, Malissa tidak tahu apa persisnya, tapi yang jelas Lamar hanya mencari pelarian. Oleh karena itu Malissa harus menegaskan bahwa hubungan mereka tidak bisa naik status menjadi pacar. Atau Malissa akan menghadapi bahaya besar. Karena Lamar, tanpa mekukan apa-apa, sudah bisa membuat hormon-hormon di dalam tubuh Malissa menjadi kacau balau.

Hingga hari ini Malissa masih bertanya-tanya, apakah dirinya sedemikian kesepian, sangat haus akan kontak fisik dengan manusia dewasa—lawan jenis—sehingga sentuhan kecil dari Lamar bisa sampai membuatnya tak berdaya? Jawabannya, sepertinya iya, karena saat Lamar menciumnya waktu itu, tidak hanya nadi Malissa yang berdenyut kencang, tapi seluruh tubuh Malissa nyeri mendambakan apa yang pernah dia dapatkan dengan suaminya dulu.

"Can heterosexual men and women just be friends? Can you and Lamar just be friends?" Adalah retorika yang dilontarkan Leah saat Malissa menceritakan hasil pertemuannya dengan Lamar di E&E. "Sebelum kamu ciuman sama Lamar, aku akan jawab bisa. Tapi sekarang ... aku akan jawab nggak mungkin kamu dan Lamar bisa berteman, Lissa."

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini," bantah Malissa waktu itu. "Yang kamu bilang laki-laki dan perempuan nggak akan bisa berteman tanpa jatuh cinta, aku akan buktikan sebaliknya."

"Kalian saling menyukai. Lebih dari teman."

"Tapi aku akan membuat pertemanan kami menjadi mungkin." Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Malissa selalu percaya. Termasuk apa yang dikatakan orang—laki-laki dan wanita tidak mungkin bisa berteman tanpa jatuh cinta. Malissa akan membuktikan sebaliknya. Mau seberapa besar ketertarikan di antara mereka, Malissa akan membuat pertemanan dengan Lamar menjadi mungkin. Saat Malissa mengatakan tekadnya kepada Leah, sahabatnya itu menatap Malissa seolah Malissa baru saja mengatakan dirinya adalah perwujudan siluman kerbau.

"Kamu tahu kenapa friends to lovers banyak dipakai sebagai dasar pembuatan novel dan film?" Cecar Leah lagi. "Karena sudah banyak terjadi di dunia nyata, persahabatan laki-laki dan wanita berkembang menjadi cinta. Ada yang beruntung, keduanya sama-sama jatuh cinta. Ada yang cintanya bertepuk sebelah tangan."

"Kamu harus ingat, Lissa, persahabatan nggak pernah statis. Persahabatan bisa berubah, bisa tumbuh. Pepatah itu benar tahu. Ala cinta karena biasa. Mungkin kamu nggak tertarik pada seseorang saat pertama kali bertemu.

"Tapi begitu kamu berteman dengannya, menghabiskan banyak waktu dengannya, kamu semakin mengenalnya, kamu akan melihat dirinya dari sudut pandang berbeda. Kamu menemukan ternyata dia orang yang penuh perhatian, sabar mendengarkan kamu bicara, bisa membuatmu tertawa, menyukai anak-anak, macam-macam.

"Kalau kamu tahu kamu dan Lamar nggak berjalan menuju masa depan yang sama. Jangan berhubungan dengannya. Sama sekali. Mau sebagai teman atau apa pun. Kalau dia masih muncul-muncul juga di toko, minta Oma Shelly bilang padanya kuota relawan sudah penuh. Kamu nggak bisa setengah-setengah lagi menyikapi masalah ini. Karena kalau kamu melakukannya, Lissa, kamu akan patah hati."

***

Patah hati lagi. Hingga berbaring di tempat tidur, setelah menidurkan anak-anaknya tiga jam yang lalu, Malissa masih memikirkan apa yang pernah dikatakan Leah. Setiap kali membayangkan hari-hari saat patah hati, yang gelap dan sulit dilalui, Malissa bersumpah tidak ingin menikah lagi. Tidakkah satu kali patah hati cukup untuk tiap-tiap manusia? Jika sampai terjadi dua atau tiga kali, apakah sebuah hati tersebut masih akan bisa disusun menjadi utuh kembali? Tetapi pernikahan tidak melulu berakhir dengan rasa sakit, Malissa meyakinkan dirinya sendiri. Dari pernikahan, ada kemungkinan yang sangat besar seseorang bisa menemukan cinta sejati.

Malissa juga sadar, dirinya bukanlah seseorang yang dilahirkan untuk hidup soliter. Hanya setahun Malissa tahan berdiam diri, memutus komunikasi dengan hampir semua orang. Tahun berikutnya, Malissa memulai gerakan Selamatkan Makanan dan Toko Kita Bersaudara. Hanya dengan begitu Malissa tidak merasa sendirian walau telah meninggalkan dunia yang dulu dihuninya—bersama para dosen dan keluarga dosen, dokter dan keluarga dokter.

Namun untuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya, Malissa memerlukan kehati-hatian ekstra. Supaya sejarah tidak terulang. Paling tidak, satu tahun Malissa dan laki-laki itu harus pacaran dulu. Saling mengenal. Terserah kalau istilah itu tidak sesuai lagi untuk orang-orang seusianya. Kedua belah pihak harus memiliki tujuan yang sama di akhir masa penjajakan tersebut. Sama-sama ingin menikah.

Malissa berguling ke kanan, memeriksa ponselnya yang bergetar di meja di samping tempat tidur. Tidak perlu melihat pun semestinya Malissa tahu siapa yang meneleponnya di atas pukul sepuluh malam. Hanya ada satu orang yang melakukannya. Lamar. Hampir sebulan tidak ada komunikasi di antara Malissa dan Lamar. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, Malissa menerima panggilan itu. Bukan karena apa-apa, Malissa hanya ingin tahu kabar Lamar. Sebagai teman.

Malissa mendekatkan ponsel ke telinga, tanpa mengatakan apa-apa.

"Hei, Lissa." Suara dalam dan berat milik Lamar menyapa telinga Malissa. Memberikan kehangatan hingga ke sudut hati Malissa yang paling jauh. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Hanya karena mendengar suara Lamar saja, Malissa ingin menikah dengannya saat ini juga.

"Kamu nggak boleh menelepon temanmu malam-malam begini. Hampir tengah malam," cetus Malissa, tanpa menjawab sapaan Lamar.

"Kenapa?"

"Kenapa?!" Malissa meloncat duduk. "Menelepon seseorang hampir tengah malam, kamu nggak tahu artinya apa? Ini adalah kode 'aku sedang memikirkanmu, aku sangat merindukanmu dan nggak bisa menunggu sampai besok untuk mendengar suaramu'. Kalau kamu mau bicara dengan temanmu, lakukan saat siang hari. Biar nggak terjadi salah tanggap."

"Kamu nggak salah tanggap." Lamar menjawab dengan serius. "Aku memikirkanmu, aku merindukanmu dan nggak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mendengar suaramu."

Malissa mengembuskan napas lelah. Semua akan sempurna jika dirinya dan Lamar memiliki visi dan misi yang sama dalam hidup ini. Memang Lamar bilang suatu hari nanti mungkin Lamar ingin menikah. Garis bawahi kata mungkin. Bisa iya, bisa juga tidak. Sedangkan Malissa tidak bisa menjalani hubungan—pacaran—di atas ketidakpastian. Ada anak-anak yang harus dia pikirkan.

"Kamu juga sedang memikirkanku." Lamar terdengar seperti menuduh.

"Nggak ada undang-udang yang melarangku melakukan itu."

"Apa yang kamu pikirkan tentang aku?"

"Nggak ada undang-undang yang mewajibkanku memberitahukan isi pikiranku kepada siapa pun, termasuk objek yang kupikirkan."

Lamar tertawa. "Oke, aku kasih tahu apa yang kupikirkan. Aku memikirkan kamu datang ke sini dan aku memasak makan malam untukmu. Lalu kita main scrabble, yang dapat poin lebih rendah harus mencium yang poinnya lebih tinggi."

Giliaran Malissa terbahak. Kenapa Lamar selalu bisa membuat Malissa tertawa dan bisa membenamkan kembali rasa sepi yang tadi sempat menyeruak di hati Malissa, adalah sebuah misteri. Seandainya saja Malissa dan Lamar memiliki kesempatan untuk bercanda dan tertawa di akhir hari, bersama-sama, setiap hari setelah menidurkan anak mereka. Sebagaimana yang selalu diangankan Malissa tapi tak pernah terjadi di pernikahan pertamanya.

"Kamu memelihara kucing, kamu bisa masak dan suka main scrabble. Apa kamu nggak takut orang-orang berpikir kamu nggak jantan?" tanya Malissa setelah tawanya reda.

"Ibuku mewajibkan semua anaknya bisa memasak. Karena keterampilan itu berguna saat kami semua tinggal sendiri setelah lulus SMA. Menghemat uang paling tidak. Kalau masalah kucing, well, aku belum pernah memelihara hewan, nggak terpikir memelihara hewan. Tapi karena kucing itu darimu...." Lamar memberi jeda pada kalimatnya. "Seandainya kita nggak bisa ketemu lagi, paling nggak aku percaya apa yang pernah terjadi di antara kita nyata, karena ada Einstein sebagai buktinya.

"Bagiku semua ini terasa seperti mimpi. Calon istriku meninggal, aku nggak jadi menikah, aku pulang ke Indonesia, aku percaya hidupku sudah berakhir. Tapi tanpa kuduga, Tuhan mengirim seseorang ke depan pintu rumahku ... bukan seorang wanita sembarangan ... tapi wanita yang luar biasa ... aku mengaguminya dan aku menciumnya.

"And I am not insecure with my masculinity. Never. Kalau aku nggak ingin melakukan sesuatu, alasanku adalah aku nggak suka. Bukan karena aku menilai aktivitas itu terlalu feminin, girly, sissy, not manly. Memasak, merawat kucing, bermain scrabble, nggak akan bisa membuatku terlihat lemah atau nggak jantan."

"Dan mem-posting foto telanjang atau telanjang dada, otot kotak-kotak, dengan keringat menetes-netes, pakai hashtag real man, alpha male, manly semacam itu nggak serta-merta membuat kejantanan laki-laki naik. Satu derajat pun tidak."

"Kamu betul." Malissa setuju dengan Lamar.

"Kenapa tiba-tiba kamu membahas kejantanan? Apa kamu nggak mau kencan denganku gara-gara aku nggak berani naik tangga dan menyelamatkan Einstein? Kamu lebih suka dibayari makan di restoran bintang lima daripada dimasakkan oleh teman kencanmu?"

***

MENURUTMU LAMAR JANTANG NGGAK? :-D 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top