DUA

Dari level 1-10, kadar kebahagiaanmu hari ini ada di angka berapa? Eh, ada pertanyaan untuk dijawab di akhir bab ini ya :-) Kasih hadiah Lamar dan Malissa vote dan komentar dari kamu dong, biar mereka bahagia dan semangat.

Love, Vihara(IG/Twitter/FB/Twitter/TikTok ikavihara, WhatsApp 0831 5586 1228)

***

Belum kawin.

Malissa tertawa keras, demi mengalahkan teriakan riang di hatinya, lalu memasukkan kembali dompet tersebut ke dalam tasnya. Belum kawin bukan berarti laki-laki itu tidak punya pacar atau calon istri. Ganteng dan kaya. Sudah pasti berderet-deret wanita yang ingin mendapatkannya. Kalau Malissa tidak punya anak—dua lagi—Malissa akan ikut berjuang bersama mereka. Tetapi sekarang Malissa sedang tidak punya sisa waktu dan tenaga.

***

KEEP THE CHILDREN CLEAN AND FEED. THE REST WILL FALL INTO PLACE. Malissa memesan tulisan tersebut, beserta bingkainya, di sebuah toko bernama La Papeterie. Pemilik La Papeterie tersenyum penuh pengertian saat Malissa iseng bertanya, daripada Malissa membeli art print dengan tulisan bernada optimis, bagaimana kalau Malissa memesan sesuatu yang lebih realistis. Seminggu kemudian, Malissa dihubungi dan diberi tahu pesanannya sudah siap. Setiap kali duduk minum teh di dapur, Malissa menatap hiasan dinding tersebut. Tiap-tiap hari, yang paling penting adakah memastikan anak-anak mandi dan bajunya bersih. Serta perutnya kenyang. Kalau dua urusan itu beres, lainnya pasti bisa diselesaikan.

Malissa mendorong mundur kursinya saat mendengar pintu depan diketuk. Siang ini rencana Malissa untuk ikut tidur bersama anak-anak batal, karena ada tumpukan baju kotor yang harus masuk mesin cuci. Mungkin Leah, sahabat Malissa, mampir. Setelah pulang dari luar kota. Kebetulan. Malissa bisa memintanya menunggui anak-anak. Sementara itu Malissa akan mengantarkan dompet hitam itu kepada Lamar. Dan membuktikan sendiri apakah Lamar sama tampannya dengan yang dibayangkan Malissa.

Terakhir kali Malissa mencuci baju sambil membayangkan berkencan dengan laki-laki adalah dulu saat dia kelas satu SMA dan diam-diam menyukai ketua kelasnya. Baru terulang lagi hari ini. Parahnya, yang diangankan Malissa adalah laki-laki yang belum pernah dia temui.

"Papa?" Malissa terkejut melihat mertuanya di depan pintu.

Menurut ibu mertua Malissa tadi—dalam salah satu pesan—suaaminya sedang berada di rumah sakit. Ada pasien yang perlu dioperasi. Darurat.

"Mama meminta Papa ke sini. Menjaga anak-anak. Karena kamu mau belanja?" Ada tote bag besar di tangan mertuanya.

Belanja. Malissa sudah belanja, sambil membeli obat penurun demam tadi. Tetapi mertuanya tidak perlu tahu. Ini kesempatan untuk menghirup udara segar. Dan membuktikan dengan mata kepala sendiri apakah Lamar benar-benar seksi seperti yang dibayangkan Malissa.

"Terima kasih, Pa. Aku cuma perlu pergi sebentar saja." Nanti Malissa akan mampir ke pasar modern, membeli cabai atau apa, supaya kelihatan belanja.

"Lama sedikit juga tidak apa-apa. Kalau kamu mau jalan-jalan sebentar. Ke kafe atau ke mana. Kamu perlu istirahat, rekreasi." Ayah mertuanya masuk ke rumah, meletakkan tote bag di sofa ruang tamu dan duduk di sana.

Malissa bergegas mengambil tas dan kunci mobil. "Kalau ada apa-apa, Papa telepon aku ya. Aku akan langsung pulang."

Ayah mertuanya melambaikan tangan. "Tidak akan ada apa-apa."

Seandainya saja almarhum suami Malissa bisa meneladani ayahnya. Menjadi suami dan ayah yang bertanggung-jawab. Malissa masuk mobil dan duduk sebentar di sana. Mengingat perjalanan hidupnya yang ... tidak. Ini bukan waktu yang tepat untuk memutar kembali masa lalu. Malissa akan menemui Lamar sebentar lagi dan Malissa harus berada pada suasana hati paling baik. Mengingat pernikahan yang hanya berumur satu tahun hanya akan membuat semangatnya hilang. Dengan satu tangan Malissa menurukan visor, tangan lainnya mengambil sisir dan lipstik dari dalam tas. Penampilannya hari ini tidak terlalu menyedihkan untuk seorang ibu yang sedang kelelahan seperti dirinya.

Alamat yang tertera di KTP Lamar tidak jauh dari sini. Hanya perlu waktu lima belas menit saja menuju ke sana. Dulu Malissa, saat masih punya suami, juga tinggal di lingkungan mewah seperti Lamar. Walaupun rumah yang ditempati Malissa tidak sebesar rumah-rumah di kompleks tempat Lamar berada. Rumah yang dibeli almarhum suami Malissa—yang lebih tua delapan tahun darinya—adalah hadiah pernikahan untuk Malissa. Hadiah yang mengundang decak kagum setiap orang yang kenal dengan mereka.

Malissa menikah dengan Dr. Bhagas Shadian Darmono Sp.BTKV. Seorang dokter bedah toraks dan kardiovaskular yang sangat terkenal dan banyak dicari orang dari berbagai penjuru negeri ini. Gelar Bhagas didapat setelah menempuh pendidikan lebih kurang lima tahun di Duke University, North Carolina, Amerika Serikat. Penghasilan Bhagas sebagai dokter ahli termasuk tertinggi di negara ini.

Setelah Bhagas meninggal, Malissa menjual rumah tersebut dan memilih pindah ke rumah yang lebih kecil. Yang lebih sederhana tapi membuat Malissa lebih bahagia.

Saat mobil Malissa berhenti di depan pagar besi tinggi berwarna hitam, sesuai nomor yang tertulis di KTP Lamar, seorang satpam mendekatinya dan bertanya apa keperluannya. Malissa menyampaikan dia ingin menemui Lamar dan sudah janjian. Memang bohong, tapi Malissa harus melakukannya daripada tidak diizinkan masuk. Setelah pagar terbuka, Malissa memarkirkan mobilnya di halaman yang luas. Tamannya tertata indah.

Di teras rumah yang sangat megah, atau Malissa harus menyebut ini istana, seorang laki-laki berbadan tinggi besar dengan rambut yang memutih—atau keperakan—menutup buku yang sedang dibaca dan berdiri. Dengan senyum ramah menyambut Malissa. Lamar versi tiga puluh tahun lagi? Ayahnya? Kalau ayahnya saja setampan ini, bagaimana dengan anaknya?

Malissa berdiri mematung. Mungkin datang ke sini adalah keputusan yang salah. Bisa-bisa Malissa tidak bisa tidur setiap malam setelah bertemu laki-laki yang membuatnya terpesona namun tidak mungkin bisa dia miliki. Out of her league.

Jangan tertipu dengan wajah tampan, Lissa. Apa kamu sudah lupa apa yang terjadi sebelum ini? Pada pernikahanmu? Bhagas tampan. Cerdas. Kaya. Tapi dia tidak hanya menyakitimu. Dia juga mempermalukanmu. Mencoreng nama baikmu. Sebuah suara terdengar di kepala Malissa.

"Selamat siang." Malissa menyapa laki-laki di depannya. Mungkin sebaiknya Malissa menitipkan saja dompet milik Lamar kepadanya. Setelah mendengar pendapat di kepalanya tadi, Malissa jadi tidak ingin berurusan dengan laki-laki. Lebih-lebih yang tampan. "Saya ingin mengembalikan dompet. Milik Lamar. Tadi saya menemukan di parkiran supermarket."

"Lamar ya?" Senyum laki-laki itu semakin lebar. Dan hangat. "Tunggu sebentar. Lamar ada di dalam. Ah, silakan duduk dulu."

"Oh, nggak ... saya cuma mau...." Malissa tidak melanjutkan kalimatnya, karena orang yang diajak bicara telanjur berjalan cepat masuk ke rumah. Istana. Karena tidak mungkin kabur dari sini tanpa pamit—atau ibu Malissa, kalau tahu, akan mengomel karena Malissa tidak sopan—Malissa duduk di kursi kayu di teras. Sambil memperhatikan bunga-bunga mawar aneka warna yang tengah bermekaran.

Merasa ada yang mengamati, Malissa menoleh ke arah pintu. Seraut wajah kecil menyembul di sana. Manis sekali dengan kacamata kecil bertengger di hidungnya yang mungil.

"Halo." Malissa tersenyum dan menyapa.

Gadis cilik itu terkikik dan berlari masuk ke dalam, sambil berteriak memanggil ibunya.

Suara langkah kaki kembali terdengar. Tetapi bukan Lamar atau ayahnya. Melainkan wanita—seusia ibu Malissa—yang datang membawa nampan berisi dua gelas jus, sepiring buah-buahan—sudah dikupas dan dipotong—serta setoples biskuit lalu meletakkan semuanya di meja di samping Malissa.

Mata Malissa melebar melihat makanan tersebut. Rencana Malissa hanya akan bicara dengan Lamar selama satu menit saja. Bukan seharian.

"Mas Lamar masih ada telepon." Wanita itu memberi informasi. "Biasanya agak lama. Silakan, sambil menunggu." Tanpa menunggu jawaban dari Malissa, wanita itu berbalik.

Agak lama itu berapa lama? Satu jam? Malissa menyesal kenapa nekad memenuhi rasa penasarannya untuk melihat langsung wajah Lamar. Kalau Malissa meminta ayah mertuanya mengantar dompet ini, sekalian beliau pulang, pasti beliau mau.

Ya sudahlah, tidak perlu disesali. Mumpung Malissa ada waktu luang dan dia sedang duduk di teras yang dikelilingi taman yang asri, ada kudapan di sampingnya tanpa harus repot-repot menyiapkan, lebih baik Malissa membaca buku. Selalu ada buku di dalam tasnya. Kalau tiga puluh menit lagi Lamar tidak muncul di hadapan Malissa, Malissa akan meninggalkan dompet hitam itu di meja ini.

Setelah membaca sepuluh halaman, Malissa menutup bukunya untuk mengambil gelas berisi jus jeruk. Namun begitu menyadari dia tidak lagi sendirian, ada seseorang yang duduk di kursi di samping kanan meja, gelas tersebut tergelincir dari tangannya.

"Hati-hati." Dengan sigap seseorang itu—Lamar, menurut perkiraan Malissa—menangkap gelas tersbut dan meletakkan kembali di meja.

Ada tumpahan jus menggenang di meja dan menetes ke lantai, tapi siapa yang peduli? Saat ini Malissa tidak bisa memikirkan apa-apa karena terpaku menatap Lamar yang kembali duduk di tempatnya. Kalau Malissa pernah berpikir di dunia ini tidak ada laki-laki yang lebih tampan daripada Bhagas, Malissa mengakui dirinya salah. Lamar sepuluh kali lipat lebih memesona. Kehadiran Lamar sulit diabaikan. Jika Lamar berada di sebuah ruangan berisi seribu orang, Lamar akan tetap mencuri perhatian. Kuat dan berotot kukuh, dengan bahu yang lebar untuk bersandar. Rambut hitamnya agak panjang—terlalu panjang menurut selera Malissa—melewati kerah kausnya dan menutupi telinganya. Berantakan dan seksi. Dengan penampilan seperti itu, Lamar tampak seperti orang berusia dua puluhan. Terlihat muda sekali.

Malissa mengerang dalam hati. Saat ini dirinya, yang sebaya dengan Lamar tapi tidak tidur semalaman, pasti tampak sepuluh tahun lebih tua dari umur yang sesungguhnya. Kalau Bhagas saja, yang menikah dengannya, meinggalkannya karena menilai Malissa jelek, kenapa Malissa membayangkan laki-laki seperti Lamar akan tertarik padanya?

Lamar menoleh ke kanan. Begitu mata mereka beradu pandang, Malissa semakin tidak bisa berkata-kata. Sepasang mata biru menatap Malissa penuh tanda tanya. Penuh rasa ingin tahu. Atau penuh penilaian. Malissa tidak bisa menerjemahkan. Karena sibuk menenangkan detak jantungnya.

***

Pertanyaan untukmu: Kalau kamu sudah baca cerita Elmar(A Wedding Come True) dan Halmar(The Promise of Forever) lalu membaca dua bab Lamar(Wrong Time To Fall in Love), menurut pendapatmu siapa yang terbaik di antara ketiganya? Yang terganteng dalam bayanganmu? :-D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top